Pages

Wednesday, December 9, 2009

Satu Dasawarsa Yang berbeda

Terharu., ketika membaca secarik surat elektronik yang ditulis oleh seorang ibu yang amanah, yang telah memiliki satu orang anak yang terkenal pintar menulis,serta telah mengikat janji dan mengarungi hidup bahagia bersama suaminya selama satu dasawarsa.


Sedih..., ketika membaca surat elektronik lainnya, yang ditulis juga oleh seorang ibu yang setia. Namun bedanya, ibu ini dianugrahi tiga orang anak yang istimewa, dan sama seperti ibu yang pertama, ibu yang kedua ini pun telah menempuh satu dasawarsa bersama orang tercintanya.

Saya begitu sedih sampai berlinang air mata, karena ibu ini memiliki anak-anak yang istimewa, satu orang putra yang sungguh aktif, label Attention Deficit Disorder (ADD) disandang anak pertamanya itu, anaknya ini mengalami gangguan dan kesulitan untuk memusatkan perhatian.



Anak yang kedua autis berat, sungguh pengakuan yang jujur. Sebab di dunia autisme, tidak ada yang berat atau ringan, semuanya sulit diatasi. Hanya anak yang ketiga, menurut si ibu yang tidak menyandang label apapun, ini berarti pertumbuhannya sehat, sehingga anak ini tumbuh menjadi anak yang aktif dan kritis.

Saya kemudian menjadi kaget dan tambah bersedih, ketika kemudian membaca lanjutan curahan hati si ibu ini. Si ibu bercerita, di suatu tengah malam yang temaram, suaminya berkata bahwa dirinya bosan terhadap kehidupan rumah tangga yang dijalaninya. Suaminya juga berkata telah jemu terhadap perkawinannya. Dan ingin menggapai kembali cintanya yang pudar di makan waktu, seperti di masa-masa yang lalu.

Untungnya sang istri sangat sabar, dan saya pikir ia pasti seorang istri yang solehah, ia tidak langsung menuduh, apalagi curiga kepada suaminya. Ia malah senang suaminya mengutarakan kata-kata itu langsung padanya, dan tidak pada wanita lain.

Ia melihat pada dirinya sendiri, dan merasa gagal membina rumah tangga yang penuh cinta. Ibu yang baik ini kemudian bertanya dalam suratnya,kira-kira jalan apa yang harus ditempuhnya, untuk menghidupkan kembali pernikahannya.

Membaca tulisan itu, hati saya terus larut dalam kesedihan yang begitu rupa. Saya teringat ibu yang ketiga, istri saya di rumah. Seorang mantan aktivis kampus, yang kini dunianya hanya berkutat dalam dunia, yang tak punya masa depan, banyak orang bilang.

Saya lalu teringat kiprahnya selama ini, mendampingi saya dan anak saya Tita, yang juga terdiagnosa autis, ditambah lagi kini si kecil baru saja hadir didunia. Semuanya tetap tak berubah, meski tanpa seorang asisten di rumah. Ia mampu membuat rumah tangga saya teratur dengan baik. Saya selalu hampir menangis bila sampai di rumah sore harinya, karena kemampuannya membenahi situasi rumah menjadi lebih baik.

Saya sangat sedih belum mampu memberikan yang terbaik bagi kehidupannya. Sering kali ia masih dalam keadaan lusuh, masih sangat terasa tetesan keringatnya yang belum kering, kala memeluk tubuhnya sepulangnya saya dari kantor. Walaupun begitu, saya merasa ia adalah wanita tercantik di dunia, yang mampu memberikan ketenangan dan keyakinan bagi suaminya, bahwa kami berdua mampu mengatasi segalanya dengan baik.

Buat saya, tak perlu menghidupkan kembali suasana penuh cinta pada pernikahan saya, karena melihat perjuangan istri saya selama ini, cinta saya padanya tak pernah padam, senantiasa bergelora, mudah-mudahan Allah menjaganya.

Sungguh..., menjelang delapan tahun perkawinan kami, yang ada hanya rasa bersalah yang senantiasa menghantui diri ini, serta rasa syukur kehadirat illahi rabb, betapa beruntungnya saya memiliki seorang istri, ibu dari anak-anak saya tercinta yang begitu baik dalam menjalankan amanah ini. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah gantikan kemuliaan dan kesabarannya itu kelak, di surganya Allah.

Untuk membuktikan bahwa saya begitu berhutang budi padanya, saya sedikit membantu kesulitannya selama ini. Bila sore menjelang, atau hari libur di akhir pekan, saya sering ikut cuci piring, mengepel lantai, kadang juga menjemur pakaian, ditambah lagi urusan menjaga si kakak, yang hiperaktifnya masih terlihat.

Tidak terlalu membantu memang, tetapi itu sangat diperlukan untuk tetap memelihara semangatnya, serta untuk menunjukkan bahwa saya bersamanya, meski waktu saya lebih banyak di luar rumah.

Itu juga sebagai bukti, bahwa saya ikut menanggung beban berat yang disandangnya selama ini. Bila ulah si kakak tak mampu saya tangani, dalam arti emosi saya mulai naik, maka istri yang mengatasinya. Dan untuk meredakan emosi biasanya saya akan menggendong si kecil yang belum lama lahir, karena melihat wajah si adik yang lucu ini, biasanya emosi saya langsung reda.

Banyak tetangga bertanya, dan menatap heran, ketika saya mampu menggendong bayi mungil saya yang belum lama lahir, Rasya Hafidzan. Menjemurnya di bawah matahari, juga menina bobokannya di beranda rumah. Itu ternyata karunia Allah yang saya syukuri, bahkan Rasya sering tertidur di pangkuan saya bila saya ada, meski setelah itu siku tangan saya tak mampu diluruskan, akibat terlalu lama menggendongnya. Lagu "Naik-naik ke puncak gunung" adalah lagu kesukaan Rasya menjelang tidur.

Sungguh ternyata saya yang ditakdirkan menjadi laki-laki ini kerepotan menangani semua pekerjaan rumah tangga. Tapi subhanallah, istri saya, yang tenaganya lebih kecil dari saya, mampu menangani semuanya di saat saya di luar rumah. Karena itu semua, manalah bisa saya mengucap bosan padanya. Bila ucapan itu sampai terlontar dari bibir saya, mudah-mudahan tidak akan pernah, sungguh biarlah Allah yang langsung menghukum saya sebagai suami yang tak tahu diri.

Akhir January 2005
(Seorang Suami yang terinspirasi oleh 3 Bunda : Bunda Tita, Bunda Yang Setia, dan Bunda Faiz)

Dwinu Panduprakarsa

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback