(info kesehatan) Artikel KlinikNet -
Tim peneliti Technological and Profesional Skills Development Project (TPSDP) Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang telah menemukan sebuah vaksin kontrasepsi baru dengan memanfaatkan bovine (protein) zona fellucida 3 (BZP3) yang berperan sebagai perseptor atau penerima sperma ketika berlangsungnya proses fertilisasi.
Ini kabar gembira buat para pengguna alat kontrasepsi. Tim peneliti Technological and Profesional Skills Development Project (TPSDP) Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang telah menemukan sebuah vaksin kontrasepsi baru dengan memanfaatkan bovine (protein) zona fellucida 3 (BZP3) yang berperan sebagai perseptor atau penerima sperma ketika berlangsungnya proses fertilisasi. "
Saat disuntikkan, protein ini membentuk antibodi yang bersifat mengikat oocyle atau sel telur," kata Prof Dr Sutiman B Sumitro, ketua Tim Peneliti kepada Tempo News Room, Rabu (18/12/2002).
Menurut Sutiman, setelah diuji coba di binatang, vaksin ini terbukti aman dan tidak mempunyai efek samping. Penggunaannya harus menggunakan konsep imunisasi secara kontinyu. Vaksin ini mampu bertahan 5-6 bulan sejak pertama kali diberikan. Artinya, dengan kisaran dosis 4,6 microgram atau 1,2 miligram per milimeter, pasien baru bisa hamil lima sampai enam bulan lagi.
Ide dasar penelitian ini mengacu pada proses pembuahan sel telur. Dengan menggunakan delapan kelinci dan tikus yang pernah melahirkan satu kali sebagai hewan percobaan, penelitian dilakukan mulai tahun 1996.
Saat sperma melakukan proses pembuahan sel telur, sperma pertama kali akan diterima oleh protein yang namanya zona fellucida yang merupakan reaksi biokimiawi. "Sperma mempunyai potein yang berada di kepala. Demikian juga sel telur. Kedua protein ini kemudian bersentuhan," ujar Sutiman.
Persentuhan ini, ungkap Sutiman, mengakibatkan terjadinya fusi antara membran spotozoa dan sel telur dimana kepala sel telur masuk, sementara ekornya ditinggal di luar. Kontak awal ini merupakan reaksi awal dari proses terjadinya fertilisasi masuknya kepala sperma ke dalam sel telur. "Kita berpikir jika misalnya proses ini di blok, maka proses fertilisasi masuknya kepala sperma ke sel telur tidak akan terjadi."
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara menghambat yang aman dengan tidak menganggu sistem yang lain. Setelah melalui berbagai uji coba,maka ditemukanlah caranya. Yakni dengan mengikat protein sel telur agar protein sperma tidak bisa bersentuhan dengan sel telur. Penyebabnya karena tempat persentuhan tersebut sudah dipakai oleh si pengikat.
Siapa yang bisa mengikat protein sel telur tersebut? Jawabannya ditemukan. Antibodi namanya. Antibodi ini dikembangkan dari protein yang ada di sel telur atau protein receptor. Mekanismenya, protein pada sel telur kelinci diambil dan diinjeksikan pada tikus. Hal yang sama juga dilakukan pada sel telur tikus yang kemudian disuntikkan pada kelinci dan sapi. "Harus dari hewan jenis lain," kata Sutiman.
Anti bodi inilah, ujar Sutiman, yang kemudian disuntikkan lagi pada sel telur hewan percobaan. Karena antibodi adalah protein yang selalu diproduksi untuk mengikat protein asing, maka ketika disuntikkan, antibodi akan mengikat protein. "Antibodi inilah yang memblok protein yang ada di sel telur sehingga sperma tidak bisa berikatan dengan sel telur."
Pengambilan protein dilakukan dengan memecah sel telur untuk mengoleksi zona fellucida, yaitu membran yang mengelilingi sel telur. Zona fellucida tersebut lantas diisolasi protein melalui metode elektro forensis. Dengan metode ini, tim berhasil memisahkan empat faksi pendukung glico protein. Salah satunya yang kita sebut zona fellucida 3 yaitu reseptor untuk sperma.
Zona fellucida 3 inilah yang disuntikkan kepada hewan-hewan percobaan. Penyuntikan ini dilakukan untuk menghasilkan antibodi terhadap zona fellucida 3 yang kemudian dipakai sebagai vaksin kontrasepsi. Hasil percobaan sungguh menakjubkan. Pada bulan keempat, dua dari delapan ekor kelinci bunting kembali.
Demikian juga yang dialami oleh tikus. Setelah diselidiki, ditemukan bahwa pada bulan keempat, otiter antibodi atau antibodi yang diproduksi oleh dua tikus dan kelinci sudah rendah sehingga tidak mengeblok sel telur.
Tak hanya itu, hingga enam bulan setelah diberi vaksin zona fellucida 3,hewan percobaan tidak mengalami efek apapun. "Folicule genetik juga berjalan normal," tutur Prof. Dr. Sutiman.
Percobaan selanjutnya dilakukan terhadap kera. Binatang ini juga mengalami hal yang serupa dengan tikus dan kelinci. Bagaimana dengan manusia? "Antibodi ya diambilkan dari manusia, sedangkan antigen baru bisa diambilkan dari hewan," jawab Sutiman sambil mengingatkan bahwa timnya masih akan menyempurnakan vaksin ini sebelum dicobakan terhadap manusia.
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
11 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback