(true story)
Kecelakaan
Musim panas tahun 1971 menandai akhir dari masa kehidupanku bersama lbu. Umurku belum genap 11 tahun, namun secara umum aku tahu seperti apa hukuman yang bakal aku terima dari ibu. Melanggar batas waktu yang ditentukan lbu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, aku diganjar hukuman tidak makan - sekalipun hanya satu saja dari pekerjaan itu yang kulanggar batas waktunya, sementara semua pekerjaan lainnya kuselesaikan tepat waktu, tetap tak ada makan untukku.
Kalau aku memandang lbu atau salah satu dari anak-anaknya tanpa seizinnya, aku diganjar hukuman tempelengan. Kalau aku ketahuan mencuri makanan, Aku tahu lbu akan mengulangi hukuman-hukuman yang pernah ia lakukan atau merancang sebuah bentuk hukuman baru yang cuma dia yang tahu.
Bisa dikatakan lbu tahu apa yang sedang dilakukannya, sementara aku pun bisa mempersiapkan diri terhadap kemungkinan tindakan yang akan diambil lbu selanjutnya. Bagaimanapun, aku siaga setiap saat dan mempersiapkan seluruh badanku setiap kali lbu berurusan denganku.
Memasuki awal bulan juli semangat hidupku meredup. Makanan nyaris menjadi khayalan. Bahkan sisa-sisa sarapan pagi pun aku jarang mendapatkannya. Sekeras apa pun aku bekerja menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, tidak pemah ada makan siang yang kudapat. Aku memperoleh sedikit makan malam tiga hari sekali.
Pada suatu hari di bulan Juli, segala sesuatu berawal seperti hari-hari lainnya. Pada waktu itu aku sudah tiga hari tidak makan. Sekolah sedang liburan musim panas, jadi kesempatan mencuri dan mendapat makanan tidak ada. Setiap saat makan malam, seperti biasa aku duduk di bawah tangga,dengan posisi tangan di bawah pantat, sambil mendengarkan suara suasana "keluarga ini" yang sedang makan malam.
Saat itu lbu mengharuskan aku duduk di atas tanganku dengan kepala mendongak, seperti posisi "tawanan perang". Untuk kali itu aku biarkan kepalaku menunduk, sambil setengah bermimpi aku adalah salah satu dari mereka-salah satu anggota "keluarga ini". Aku pasti tertidur waktu itu, sebab tiba-tiba aku terbangun oleh suara gerarn Ibu, "Bangun! Cepat naik!"
Deretan kata pertarna dari perintah lbu langsung membuat kepalaku tegak,aku berdiri, lalu bergegas naik. Aku berdoa agar malam itu aku mendapat sesuatu, apa saja, yang bisa mengganjal perutku yang kelaparan.
Baru saja aku mulai menyingkirkan peralatan makan dari meja makan dengan secepat kilat, lbu sudah menyuruhku ke dapur. Kutundukkan kepala ketika ia menyerocos tentang batas waktu yang ticlak boleh kulanggar. "Kau punya waktu 20 menit! Terlambat satu menit, satu detik, maka kau akan kelaparan lagi! Mengerti?"
"Ya, Bu."
"Lihat aku kalau aku sedang bicara padamu!" bentaknya.
Kuturuti perintahnya, pelan-pelan kudongakkan kepalaku. Saat kepalaku tegak, kulihat Russell seclang berayun-ayun di kaki kiri lbu. Tampaknya ia sama sekali tidak terganggu oleh suara lbu yang keras dan tajam. la memandangiku dengan sorot mata yang dingin. Sekalipun pada waktu itu usianya baru empat atau lima tahun, Russell sudah menjadi "Nazi kecil" bagi Ibu, yang mengawasi setiap tindakanku, memastikan bahwa aku tidak mencuri makanan sedikit pun.
Kadang kala ia mengarang cerita yang kemudian dipercayai Ibu, dan dengan demikian ia bisa melihat aku dihukum. Tentu saja semua itu bukan salah Russell. Aku tahu Ibu sudah menanamkan kesan buruk mengenai diriku di kepalanya. Bagaimanapun, aku mulai tidak menganggap dirinya sekaligus membencinya.
"Kau dengar aku?" teriak lbu. "Lihat aku kalau aku sedang bicara padamu!" Waktu kulihat, lbu baru saja menyambar pisau daging dari rak dan berteriak, "Kalau kau tidak menyelesaikan tugas-tugasmu tepat waktu,kubunuh kau!"
Ancamannya tidak mempengaruhi aku. Sudah hampir seminggu ini lbu terus-menerus mengeluarkan ancaman yang sama. Bahkan Russell pun tidak terpengaruh mendengarnya - terus saja ia berayun-ayun di kaki lbu seakan-akan sedang naik kuda poni yang gemuk. Tampaknya lbu tidak puas dengan taktik barunya itu sebab ia terus saja menyerocos, sementara jarurn jam bergerak terus, menghabiskan batas waktuku.
Aku berharap lbu menutup mulutnya dan membiarkan Aku terus bekerja. Mati-matian aku berusaha menepati batas waktu yang ditetapkan lbu. Begitu besar keinginanku untuk mendapat sesuatu yang bisa dimakan. Aku tak tahan kalau harus tidur satu malam lagi tanpa makan.
Kelihatannya ada sesuatu yang tidak beres. Betul,betul tidak beres! Sepenuhnya kupusatkan pandanganku ke arah lbu. la mulai mengayun-ayunkan pisau daging di tangan kanannya. Aku juga tidak terlalu takut dengan sikap lbu ini, sebab ia pernah juga bersikap seperti itu.
"Mata", kataku pada diri sendiri. "Lihat matanya". Maka kulihat matanya, yang tampak seperti biasanya juga. Tetapi naluriku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Menurutku ia tidak akan memukulku, tapi toh tubuhku mulai menegang.
Ketika kurasakan diriku semakin tegang itulah, aku tahu apa yang tidak beres itu. Karena gerakan berayun-ayun yang dilakukan Russell di kaki ibu, juga karena gerakan lengan serta tangan ibu yang menggenggam pisau, tubuh ibu semakin keras bergoyang ke depan dan kebelakang. Sempat terpikir olehku bahwa lbu akan jatuh.
lbu berusaha menyeimbangkan posisinya dengan menarik Russell dari kakinya, sementara ia terus saja membentak bentakku. Saat itulah badan lbu bagian atas limbung, seperti kursi goyang yang berayun tak terkendali. Saat selanjutnya, aku tak lagi memperhatikan ancaman-ancaman lbu tetapi aku mulai membayangkan perempuan yang mabuk itu bakal jatuh dengan wajahnya lebih dulu membentur lantai.
Kuperhatikan wajah lbu dengan sungguh-sungguh. Dari sudut mataku, samar-samar kulihat sebuah benda melayang dari tangannya. Tiba-tiba ada rasa sakit yang perih tepat di bagian atas perutku. Aku berusaha tetap berdiri, tetapi kedua kakiku tak mampu tegak, dan semuanya jadi gelap.
Saat sadar kembali, ada rasa hangat yang mengalir dari dadaku. Beberapa saat kemudian baru aku tahu di mana aku berada. Aku didudukkan di atas toilet. Aku menoleh ke arah Russell yang mulai bernyanyi, "David's going to die. The Boy's going to die". Kualihkan pandanganku ke arah perutku.
Sambil berlutut, lbu tampak tergesa-gesa menempelkan kain perban kasa tebal pada suatu tempat di bagian perutku yang mengeluarkan darah berwarna merah gelap. Aku mencoba mengatakan sesuatu. Aku tahu semua ini adalah kecelakaan.
Aku ingin memberitahu Ibu bahwa aku memaafkannya,tapi aku merasa sangat pusing sehingga tak mampu berkata-kata. Berkali-kali kepalaku lunglai ke depan, dan aku selalu mencoba menegakkannya kembali. Aku kehilangan pedoman waktu, lalu kembali tak sadarkan diri.
Saat aku sadar, lbu masih berlutut, membalutkan kain ke sekeliling dadaku agak ke bawah. la terampil dalam bidang ini. Dulu, ketika Ron,Stan, dan aku masih kecil-kecil, Ibu sering berkata bahwa ia tadinya bercita-cita menjadi perawat, sampai akhirnya ia bertemu Ayah. Setiap kali ada kecelakaan di rumah, lbulah yang paling menguasai keadaan.
Sedikit pun tak pernah kuragukan kecakapan lbu dalam hal merawat. Aku tinggal menunggu dibawa lbu ke rumah sakit dengan mobil. Aku yakin ia akan melakukan itu. Tunggu saja. Aku merasakan kelegaan yang ganjil.
Aku yakin bahwa semua hukuman yang selama ini kuterima berakhir sudah. Hidup bagai seorang budak tentulah keliru, dan semua itu sekarang sudah berakhir. Bahkan Ibu tidak bisa menyangkal hal itu. Aku merasa kecelakaan itu telah membebaskanku.
Ibu membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk mengobati dan membalut lukaku. Dalam. sorot mata lbu tidak tampak rasa sesal telah melukai anaknya dengan pisau. Menurutku mungkin Ibu menunjukkan rasa sesal itu dengan mencoba menenangkan diriku, bahkan caranya berbicara denganku terasa tenang.
Sambil memandangku tanpa emosi, lbu berdiri, mencuci tangannya, lalu berkata padaku bahwa aku diberi waktu 30 menit untuk menyelesaikan tugas mencuci perkakas makan. Aku menggeleng, sambil mencoba memahami apa yang barusan dikatakannya. Beberapa saat kemudian,sikap lbu menjadi jelas. Sama seperti kejadian yang menyebabkan tulang lenganku patah beberapa tahun sebelumnya, lbu tak akan mengakui kejadian tersebut pernah terjadi.
Aku tak sempat mengasihani diri sendiri. Waktu terus berjalan. Aku berdiri, terhuyung beberapa saat, lalu berjalan ke dapur. Pada setiap langkah, rasa sakit menjalar dari bagian rusukku, darah merembesi T-shirtku yang lusuh. Begitu sampai di bak cuci piring, aku menyandarkan. tubuh dan terengah-engah seperti anjing tua.
Dari dapur aku bisa tahu bahwa Ayah ada di ruang keluarga, membaca koran. Aku menarik napas panjang, sakit sekali rasanya. Aku berharap bisa pergi dari dapur dan berjalan ke tempat Ayah berada. Dalam keadaan seperti ini, rupanya aku menarik napas terlalu dalam sehingga aku terjatuh.
Baru kusadari bahwa aku harus menarik napas pendek pendek. Lalu aku berjalan ke ruang keluarga dengan susah payah. Di ujung kursi panjang di ruangan itu duduklah Ayah, pahlawanku. Aku yakin Ayah akan menegur lbu, lalu membawaku ke rumah sakit. Aku berdiri di depan Ayah,menunggunya membalik koran dan melihatku. Dan ketika akhirnya ia membalik korannya, dengan susah payah aku berkata, "Ayah... I... I... lbu menusukku".
Ayah bahkan tidak mengangkat alis matanya, apalagi menoleh. "Kenapa?" tanyanya.
"Dia bilang, kalau aku tidak menyelesaikan tugas mencuci perkakas tepat pada waktunya, dia... dia akan membunuhku".
Waktu seakan berhenti. Dari balik koran aku bisa mendengar napas Ayah yang jadi berat. la menelan ludah, lalu berkata, "Ya... kau ah... kau lebih baik kembali ke dapur dan menyelesaikan tugasmu mencuci piring." Kujulurkan kepala ke depan, seolah-olah ingin mendengar lebih jelas ucapannya.
Aku tak percaya apa yang baru saja kudengar. Ayah pasti menangkap kebingunganku sebab ia lalu melipat korannya, dan kudengar suaranya meninggi,"Astaga! Apakah ibu tahu bahwa sekarang kau berada disini sedang bicara dengan aku?
Kau lebih baik kembali ke dapur dan selesaikan cucian piringmu. Astaga. Kita tidak perlu melakukan apa-apa yang bisa membuatnya lebih marah lagi! Aku tak mau bertengkar malam ini..." Ayah berhenti bicara sebentar, mengambil napas panjang, lalu berbisik, "Begini: kembalilah ke dapur ,dan selesaikan tugasmu mencuci piring.
Aku bahkan tidak mau dia tahu bahwa aku menyuruhmu, mengerti? Ini rahasia kita berdua. Kembalilah ke dapur, dan selesaikan tugasmu mencuci piring. Ayo. Lekaslah, sebelum dia memergoki kita berdua. Sana!"
Aku kecewa berat. Ayah bahkan tidak melihat ke arahku. Menurutku paling tidak ia bisa menurunkan korannya untuk melihat sorot mataku, maka ia pasti tahu-ia pasti akan bisa merasakan sakitku, merasakan betapa aku membutuhkan pertolongannya.
Tetapi, seperti biasanya, aku tahu Ibu mengendalikan Ayah dan mengendalikan semua persoalan yang terjadi di rumah ini. Aku dan ayah sama-sama tahu aturan main "keluarga ini"- kalau kami tidak mengakui sebuah persoalan, persoalan itu memang tidak pernah ada. waktu aku berdiri termangu di depan Ayah itu, kulihat tetesan darahku menodai karpet keluarga ini.
Aku mendambakan gendongan Ayah, yang kemudian membawaku pergi dari situ. Aku bahkan membayangkan Ayah membuka kemejanya untuk memperlihatkan siapa dia sesungguhnya, lalu terbang ke angkasa seperti Superman.
Aku meninggalkan ruangan itu. Rasa hormatku terhadap Ayah hancur sudah. gambaran Ayah sebagai juru selamat ternyata palsu. Rasa marahku terhadap Ayah lebih besar daripada terhadap ibu. Kuu ingin bisa terbang, tetapi rasa sakit yang kurasakan mengembalikan aku pada kenyataan.
Kucuci peralatan makan secepat mungkin, tergantung kondisi tubuhku saat itu. Kalau kugerakkan lengan bawahku, bagian atas perutku t,erasa amat sakit. Kalau aku melangkah ke samping, sekujur tubuhku terasa sakit. Betapa lemahnya aku, tenagaku nyaris hilang semua. Begitu batas waktu yang ditetapkan lbu lewat, lewat juga peluangku mendapat makanan.
Saat itu yang kuinginkan cuma berbaring dan menyerah saja, tetapi janji terhadap diriku sendiri yang kubuat beberapa tahun sebelumnya menahanku. Ingin kutunjukkan kepada "Perempuan Jahat Itu' ia bisa mengalahkan aku hanya bila aku mati, dan aku telah berketetapan-hati untuk tidak menyerah-menyerah pada kematian pun tidak.
Sambil mencuci peralatan makan itu aku belajar sesuatu mengenai keadaanku-kalau aku berdiri berjinjit dan menyandarkan pelan-pelan badan bagian atasku ke pinggiran tembok cucian piring, rasa sakit di bagian bawah dadaku agak berkurang; Aku tidak sering-sering bergerak ke kiri ke kanan tapi beberapa peralatan makan kucuci sekaligus, setelah itu baru Aku membilasnya sekaligus juga.
Setelah semua perkakas itu kukeringkan, sampailah pada tahap, yang mencemaskan-semua perkakas itu harus kutaruh di lemari dapur, padahal letak lemari dapur itu di atas kepalaku. Rasa sakit yang sangat pasti akan timbul kalau aku mencoba meraih lemari itu.
Sambil memegang sebuah piring kecil di satu tangan, kujinjitkan kakiku setinggi mungkin dan tanganku berusaha mencapai lemari itu untuk menaruh piring kecil tadi. Hampir saja berhasil. Tapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh usahaku itu sedemikian hebat, sehingga aku ambruk.
Pada saat itu baju yang kukenakan sudah penuh darah. Waktu aku berusaha berdiri, aku merasakan tangan Ayah yang kuat membantuku. Aku menepiskannya. "Berikan piring itu kepadaku", katanya. "Biar aku yang membereskannya. Lebih baik kau ganti baju saja".
Kutinggalkan dapur tanpa sepatah kata pun. Kulirik jam di dinding-hampir satu setengah jam waktu yang kugunakan untuk menyelesaikan tugasku itu. Waktu tertatih-tatih menuruni tangga menuju basement, tanganku mencengkeram erat pegangan tangga. Bisa kulihat dengan jelas darah merembesi baju yang kukenakan, bersama setiap langkahku.
ibu menyusulku turun. Di bawah tangga ia menyobek bajuku. Ia melakukan itu selembut mungkin, tetapi selain itu ia tetap bersikap, dingin. Bagi ibu, yang saat itu ia lakukan bagiku semata-mata "tugas" yang harus ia kerjakan. Dulu, aku pernah melihat lbu merawat binatang dengan sikap yang jauh lebih hangat daripada sikapnya terhadapku saat itu.
Karena badanku lemah, aku rebah ke badan lbu saat ia mengenakan aku T-shirt tua dan longgar. Bagaimanapun aku tetap mengira. lbu pasti memukulku. Ternyata tidak. la malah membiarkan aku beristirahat sejenak di pundaknya. Setelah itu lbu mengatur posisiku di bawah tangga itu,lalu meninggalkan aku.
Tak lama kemudian ia kembali, membawakan aku segelas air. Cepat-cepat kuteguk air itu. Setelah kuhabiskan air digelas itu, lbu berkata bahwa ia akan memberikan aku makan beberapa jam lagi, setelah keadaanku membaik. Sekali lagi ibu mengucapkan itu semua secara monoton, sama sekali tanpa emosi.
Kulihat sekilas langit California beranjak malam. lbu berkata aku boleh bermain di luar, di depan garasi, bersama kedua saudaraku. Pikiranku sedang tidak jernih. Perlu waktu agak lama bagiku untuk memahami apa yang baru saja dikatakan lbu. "Ayo, David. Ikutlah bermain bersama mereka", desaknya. Dengan bantuan lbu, aku berjalan tertatih-tatih kehalaman luar di depan garasi.
Kedua saudaraku memandang ke arahku,tetapi mereka lebih tertarik dengan kembang api yang mereka nyalakan untuk memperingati Fourth-ofJuly, hari kemerdekaan Amerika. Beberapa saat kemudian kurasakan sikap lbu terhadapku semakin lembut. la memegang bahuku, sementara kami melihat kedua saudaraku sedang membentuk angka delapan dengan kembang api mereka.
"Kau mau kembang api juga?" Tanya lbu. Aku mengangguk: ya. la memegang tanganku sambil berlutut untuk menyalakan kembang api yang kupegang. Sejenak sempat aku mengingat wangi parfum yang dulu dipakai lbu. tetapi lbu sudah lama juga tidak lagi memakai parfum atau mengenakanmake up.
Meskipun sedang bermain bersama kedua saudaraku, aku tak bisa menepis pertanyaan yang muncul dalam benakku tentang lbu. "Mengapa sikapnya terhadapku berubah?" "Apakah ia mencoba berbaikan denganku?" "Apakah hari-hariku di basement sudah berakhir?"
"Apakah aku sudah boleh bergabung lagi sebagai keluarga ini? aku tak peduli. Kedua saudaraku menerima kehadiranku, dan ada rasa persahabatan serta kehangatan bersama mereka - suatu perasaan yang kukira sudah hilang selamanya.
Kembang apiku mati. Kualihkan pandanganku ke matahari musim panas yang semakin terbenam. Lama sekali rasanya Au tidak melihat matahari terbenam. Kupejamkan mataku. Kucoba menikmati dan menyerap kehangatan sinarnya sepuas mungkin.
Untuk sesaat rasa sakit, rasa lapar, dan.rasa sedih menjalani kehidupan yang pahit hilang. Aku merasa begitu hangat. Aku merasa hidup. Kubuka mataku. Aku berharap bisa mengecap seluruh keindahan saat itu, di situ, yang tak mungkin kualami dua kali. Sebelum tidur, lbu memberiku minum dan menyuapi aku makan. Aku merasa seperti hewan lumpuh yang sedang dirawat agar sembuh. Tapi aku tak peduli.
Di basement aku berbaring di dipan tuaku. Aku mencoba tidak memikirkan rasa sakitku. Tidak bisa. Rasa sakit itu menjalari seluruh tubuhku. Akhirnya, rasa amat lelah mengalahkan rasa sakit. Aku tertidur juga. Beberapa kali aku bermimpi malam itu. Aku terbangun, berkeringat dingin.
Kudengar suara yang menakutkan di belakangku. Itu lbu. la membungkuk, mengompres dahiku dengan secarik kain dingin. la berkata bahwa aku demam tinggi. Aku tidak menanggapi perkataannya karena aku merasa lelah dan lemah sekali. Yang terpikirkan olehku cuma rasa sakitku. lbu kemudian masuk ke karnar tidur saudara-saudaraku yang berada di bawah, letaknya dekat basement. Aku merasa aman karena aku tahu lbu di dekatku, menjagai aku.
Ah tertidur lagi. Bersama tidur yang melelahkan itu muncul mimpi yang menakutkan. Turun hujan lebat yang airnya sangat panas dan berwarna merah. Aku basah kuyup oleh hujan itu. Kucoba membersihkan darah dari badanku, tetapi dengan cepat badanku jadi merah lagi oleh darah.
Paginya, saat terbangun, kulihat tanganku berlepotan darah kering. Kaus yang kukenakan menjadi merah di bagian dada. Di beberapa bagian wajahku kurasakan juga ada darah kering menempel. Lalu kudengar pintu karnar ticlur di belakangku terbuka. Aku menoleh, kulihat lbu berjalan kearahku.
Aku berharap mendapat simpati dari lbu seperti yang kurasakan sernalarn. Tetapi harapanku itu kosong belaka. lbu tak mernberiku apa-apa. Dengan nada suara datar, lbu menyuruhku untuk membersihkan diri dan mulai melakukan semua pekerjaan rurnah tangga yang biasa kulakukan. Saat kudengar langkah-langkahnya menapaki tangga, aku sadar tak ada yang berubah. Aku tetap anak badung di keluarga ini.
Tiga hari setelah "kecelakaan" itu badanku masih saja demarn. Bahkan minta sebutir aspirin kepada lbu pun aku takut, apalagi Ayah sedang ditempat kerjanya. Aku tahu, lbu sudah kembali ke dirinya yang sebenarnya. Aku menduga demamku itu karena luka yang kuderita.
Waktu itu luka terbuka di bagian atas perutku sernakin lebar dibandingkan keadaannya dimalam kejadian. Agar tidak ketahuan lbu, pelan-pelan aku pergi ke tempat cucian di garasi. Kuambil kain paling bersih dari turnpukan pakaian rombengku. Kain itu kubasahi secukupnya dengan air dari keran di situ.
Kemudian aku duduk. Kemejaku yang merah, basah, dan lengket karena darah kugulung ke atas. Perlahan kuraba lukaku, dan aku tersentak ke belakang karena kesakitan. Kutarik napas panjang, lalu pelan-pelan sekali kupencet luka terbuka itu. Sakit sekali rasanya, sampai-sampai aku terjatuh ke belakang, harnpir pingsan.
Ketika kuperhatikan lagi lukaku,ada bagiannya yang berwarna kuning-keputihan. Aku tidak tahu hanyak mengenai hal-hal seperti itu, tetapi aku tahu bahwa lukaku mengalami infeksi. Aku berdiri, bermaksud naik ke atas untuk minta tolong lbu membersihkan lukaku. Ketika sudah setengah berdiri, aku berhenti.
"Tidak!" kataku pada diri sendiri. "Aku tidak butuh pertolongan perempuan jahat itu".
Pengetahuanku lumayan soal pertolongan pertama untuk membersihkan luka, jadi aku merasa percaya diri untuk melakukannya sendiri. Aku mau jadi penguasa atas diriku sendiri. Aku tak mau mengandalkan lbu atau memberinya peluang lebih besar lagi untuk menguasai diriku.
Kubasahi lagi kain yang tadi kupakai lalu kudekatkan ke lukaku. Aku berhenti sejenak sebelurn menyentuhnya, ragu-ragu. Tanganku gemetar karena takut membayangkan rasa sakit yang bakal kurasakan. Aku menangis.
Aku merasa seperti bayi, dan aku tidak suka bersikap seperti bayi. Lalu aku berkata pada diriku sendiri, "Menangis berarti mati. Nah, rawat lukamu sendiri". Aku tahu lukaku tidak akan membuatku mati, jadi kupaksa diriku untuk mengalahkan rasa sakitnya.
Aku cepat-cepat bertindak sebelum niatku lenyap. Kusambar selembar kain lagi, menggulungnya, dan menggigitnya. Perhatianku kuarahkan sepenuhnya ke jempol dan telunjuk tangan kiriku yang kugunakan untuk memencet serta membuka lukaku. Lalu kubersihkan nanah dengan kain di tangan kananku.
Proses itu kuulangi beberapa kali sampai sebagian besar nanah bersih dari luka itu dan darah mengalir deras. Aku tak kkuat menahan rasa sakitnya. Karena mulutku sudah kusumbat kain, jeritanku jadi teredam. Aku merasa seolah-olah sedang bergelantungan pada sebuah tebing. Saat semuanya selesai, air mata mengalir deras sampai membasahi kerah bajuku.
Aku khawatir lbu memergoki aku tidak duduk di bawah tangga seperti perintahnya, maka kubereskan segala sesuatunya, lalu berjalan tertatih-tatih sambil sesekali merangkak ke kaki tangga-ke tempat dimana seharusnya aku berada. Sebelum mengambil posisi duduk di atas tangan, kuperiksa bajuku; cuma sedikit darah yang menodai kain rombeng pembalut lukaku.
Aku meniatkan diri untuk menyembuhkan luka itu. Entah bagaimana, aku merasa yakin luka itu pasti sembuh. Sungguh bangga aku terhadap diriku sendiri. Kubayangkan diriku seperti jagoan dalam cerita komik, yang berhasil mengatasi banyak situasi yang tidak masuk akal dan tetap hidup.
Beberapa saat kemudian, sambil duduk di atas tangan, kepalaku lunglai ke depan-aku tertidur. Aku bermimpi terbang menggantang udara. Mimpi itu berwarna indah dan sedemikian hidup. Aku mengenakan mantel tak berlengan berwarna merah... akulah Superman.
_______________________________________________
indo community
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
11 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback