Pages

Friday, November 27, 2009

a child called "it" (4)

(true story)

Perjuangan untuk Bisa Makan
Pada musim panas, setelah peristiwa "dibakar di kompor , sekolah menjadi satu-satunya harapanku untuk melarikan diri. Kecuali pada suatu saat ketika kami mernancing, kejadian antara aku dan lbu tidak menentu, atau smash and dash-lbu menyerangku, lalu aku terbirit-birit ke tempat terkucilku di basement.

Bulan September kegiatan sekolah mulai lagi dan itu menggembirakan.Aku mendapat baju baru, juga wadah bekal makan siang baru yang masih mengilat. Tetapi karena lbu menyuruhku mengenakan pakaian yang sama setiap hari sekolah, pada awal oktober pakaianku sudah jadi kumal,

Sobek di beberapa bagian dan berbau tak sedap. lbupun seakan tak peduli dengan memar-memar dan luka-luka pada wajah serta lenganku. Kalau ada orang bertanya tentang memar dan luka itu, aku harus memberi orang itu jawaban-jawaban yang sudah ditentukan oleh lbu.

Sejak saat itu lbu sudah "lupa" memberiku makan malam. Sarapan pun nyaris aku tak dapat. Kalau sedang bernasib baik, aku diizinkan menghabiskan sereal yang tersisa dari sarapan kedua saudara laki-lakiku-itu pun dengan syarat semua tugas rumah tangga sudah kuselesaikan sebelum berangkat sekolah.

Pada malam hari aku begitu lapar sampai-sampai aku bisa mendengar perutku berkeriuk-keriuk. Aku tidak bisa tidur dengan perut yang amat lapar di malam hari. Aku bergolek saja, mataku nyalang, satu-satunya yang kupikirkan cuma makanan. "

Mungkin besok aku dapat jatah makan malam", aku berkata pada diriku sendiri. Berjam-jam kemudian baru aku merasa setengah tertidur, khayalanku melulu pada makanan. Paling sering aku memimpikan hamburger yang besar dengan aneka isinya. Anganku sering kali begini: dengan bangga kuraih hamburger yang besar itu, lalu melahapnya.

Dalam anganku, hamburger itu sedemikian nyata—dagingnya yang tebal berminyak, juga irisan kejunya yang tebal, semuanya begitu padat. Saus bumbunya melimpah, meleleh keluar karena tergencet daun selada dan tomat. Hamburger itu serasa sudah dekat sekali, maka kubuka mulutku, siap melahapnya.

Tak terjadi apa-apa. Berkali-kali kucoba lagi dan lagi bahkan dengan segenap perasaan, tetap tak kurasakan secuil pun hamburger khayalanku yang lezat itu. Aku selalu menyerah dan terbangun. Perutku terasa semakin kosong dan bolong. Bahkan dalam mimpi pun, tak bisa kupuaskan rasa laparku.

Sejak bermimpi makan enak, aku mulai mencuri makanan di sekolah. Mencuri makanan berarti aku harus secepat mungkin menelan makanan yang kucuri agar tidak ketahuan - campuran perasaan itulah yang membuat perut kosongku seperti dipilin-pilin. Biasanya, aku mencuri makanan sebelum pelajaran dimulai, saat teman-teman sekelasku sedang bermain di halaman sekolah.

Biasanya aku berjalan mepet ke tembok luar ruang absensi murid,lalu sengaja kujatuhkan wadah bekal makanku di sebelah wadah bekal makan temanku, lalu aku berlutut sedemikian rupa sehingga tak seorang pun tahu bahwa aku sedang menguras isi dari wadah bekal makan siang itu.

Pada awalnya beberapa kali usahaku mencuri berhasil mulus. Namun beberapa hari kemudian beberapa murid sadar bahwa isi wadah bekal makanan mereka hilang. lalu dalam waktu singkat semua teman sekelasku membenci aku.


Guruku melaporkan ulahku kepada kepala sekolah, yang kemudian meneruskan laporan itu kepada lbu. Begitu seterusnya. Kepala sekolah melaporkan ulahku kepada Ibu, lalu ibu menambah jumlah pukulannya untukku sekaligus mengurangi jatah makanku di rumah.

Setiap Akhir minggu, sebagai hukuman atas perbuatanku mencuri makanan,Ibu tidak memberiku makan. Pada hari minggu malam mulutku selalu berair setiap kali merencanakan usaha pencuran yang tidak mungkin ketahuan.


Salah satu rencana itu adalah mencuri dari wadah bekal makan murid-murid kelas lain, karena mereka tidak begitu kenal aku. Setiap Senin pagi aku menghambur keluar dari mobil Ibu, langsung menuju salah satu ruang kelas satu yang bukan ruang kelasku untuk mencuri makanan dari wadah makanan murid-murid kelas itu. Sama seperti sebelumnya, usaha-usaha awal berhasil mulus. Dan sama seperti sebelumnya, dalam waktu singkat pun kepala sekolah tahu siapa pelaku pencurian-pencurian itu.

Di rumah, hukuman ganda - kelaparan karena tidak diberi makan dan pukulan bertubi-tubi karena mencuri makanan - terus berlanjut. Sejak saat itu, aku bukan lagi anggota keluarga, Aku tidak diizinkan menggunakan sernua fasilitas yang digunakan keluarga. Aku tinggal di rumah itu, tetapi aku dianggap bukan apa-apa.

lbu bahkan tidak lagi menggunakan namaku; ia menggunakan sebutan "anak itu". Aku tidak diizinkan makan bersama keluarga, tidak diizinkan bermain dengan saudara-saudaraku, tidak diizinkan nonton televisi. Aku dilarang masuk rumah kecuali disuruh. Aku tidak boleh memandang atau berbicara dengan siapa pun.

Sepulang dari sekolah aku harus selalu mengerjakan segala macam pekerjaan rumah tangga atas perintah lbu. Ketika segala macam pekerjaan rumah tangga itu selesai, aku langsung turun ke basement--disitu aku berdiri, siap sedia setiap saat dipanggil untuk membereskan meja makan setelah keluargaku selesai makan malam serta mencuci semua piring dan gelas kotor. Aku sudah diperingatkan dengan tegas bahwa kalau aku ketahuan duduk atau berbaring di basement, maka aku akan dihukum berat. Aku menjadi budak lbu.

Tinggal Ayah satu-satunya harapanku, dan ia berusaha sedapat mungkin menyelundupkan sisa-sisa makanan untukku. Ayah mencoba membuat ibu mabuk, dengan harapan minuman beralkohol itu membuat suasana hati ibu senang. Ayah meminta lbu untuk tetap memberiku makan.

Ayah bahkan berusaha membuat kesepakatan dengan lbu, bahwa ia akan memberi lbu apa pun asalkan lbu mau bersepakat. Segala bentuk usaha Ayah sia-sia. ibu tetap bergeming. Kalaupun ada perubahan, itulah keadaan mabuk, yang membuat lbu semakin ganas. lbu jadi mirip monster.

Aku tahu segala usaha Ayah untuk menolongku itu mengakibatkan ketegangan antara dirinya dan lbu. Cekcok tengah malarn mulai terjadi di antara mereka. Dari tempat tidur, aku bisa mendengar mereka bicara semakin cepat dengan nada semakin tinggi. Pasti mereka berdua sama-sama mabuk,dan aku bisa mendengar dari mulut lbu teriakan kata-kata yang tak sepantasnya diucapkan.

Apa pun masalah yang memicu pertengkaran diantara Ayah dan lbu, pada akhirnya akulah yang mereka pertengkarkan. Aku tahu Ayah mencoba menolong, namun tetap saja aku ketakutan. Aku tahu Ayah pasti kalah, dan itu selalu membuatku lebih menderita keesokan harinya.

Saat pertama kali orangtuaku cekcok, lbu akan masuk mobil dan mengemudinya dengan gila-gilaan. Lalu, tidak sampai satu jam, ia sudah kembali ke rumah. Esok harinya mereka berdua bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku selalu merasa amat berterima kasih setiap kali Ayah bisa menemukan alasan untuk pergi ke basement dan menyelundupkan sepotong roti untukku. la selalu berjanji padaku untuk selalu berusaha.

Sikap Ayah berubah ketika cekcok antara dirinya dan Ibu semakin sering. Setiap kali habis cekcok di tengah malam, ayah mengemas pakaiannya, lalu pergi ke tempat kerja, dan tidak pulang selama beberapa hari. Setelah ayah pergi, ibu dengan kasar menarikku dari tempat tidur, menyeretku kedapur.

Sementara aku berdiri dengan ketakutan dan masih masih mengenakan piyama, lbu memukuliku bertubi-tubi. Salah satu caraku untuk bertahan adalah menjatuhkan diri ke lantai seolah-olah aku tidak lagi kuat berdiri. Cara itu berhasil, tapi tidak lama. lbu selalu menarik kedua kupingku agar aku berdiri, lalu berteriak di wajahku selama beberapa menit.

Selalu begitu, dan setiap, kali napasnya berbau bourbon. Pada malam-malam tersebut, masalahnya selalu sama: aku merupakan alasan yang menyebabkan lbu dan Ayah bertengkar. Kadang aku merasa begitu letih,sehingga kaki-kakiku terasa gemetaran. Pelarianku hanya menatap lantai dan berharap Ibu akan segera mengakhiri penyiksaannya.

Ketika aku naik ke kelas dua, Ibu mengandung anaknya yang keempat. Guruku, Miss Moss, semakin hari semakin menaruh perhatian khusus atas diriku. Awalnya Miss Moss bertanya mengapa aku kurang memperhatikan pelajaran di kelas. Aku berbohong. Aku mengatakan kalau aku nonton televisi sampai larut malam. Kebohonganku kurang meyakinkan.

Guruku terus bertanya mengapa aku sering mengantuk di kelas, bahkan menanyakan juga soal kondisi bajuku dan luka-luka serta memar-memar di sekujur tubuhku. Ibu sudah mengajari aku bagaimana harus menjawab pertanyaan seperti itu, maka aku tinggat mengatakan apa yang diajarkan Ibu itu kepada guruku.

Beberapa bulan kemudian perhatian Miss Moss terhadap diriku justru semakin besar. Akhirnya pada suatu hari ia memutuskan untuk melaporkan keprihatinannya atas diriku kepada kepala sekolah. Pak kepala sekolah tahu bahwa akulah si pencuri makanan, maka ia memanggil Ibu.

Sesampainya aku di rumah hari itu, situasinya bagiku bagai ada orang yang baru saja menjatuhkan bom atom di situ. Ibu jadi lebih kejam lagi. Dalam kemarahannya yang meledak, Ibu berkata bahwa ada seorang guru "Hippie" yang menuduhnya menyiksa anak sendiri.

1bu berkata bahwa esok harinya ia bermaksud bertemu Pak kepala sekolah untuk menjelaskan tuduhan-tuduhan yang keliru atas dirinya itu. Pada hari itu, ketika Ibu selesai dengan luapan kemarahannya, hidungku dua kali berdarah dan satu gigiku tanggal.

Siang keesokan harinya, sepulang sekolah, aku lihat Ibu tersenyum-senyum, seolah-olah ia menang undian. Ibu bercerita padaku bagaimana ia berdandan rapi untuk bertemu Pak kepala sekolah, dan ia menggendong bayi Russell pada saat pertemuan itu.

Ibu menceritakan penjelasannya kepada pak kepala sekolah bahwa David adalah anak yang daya khayalnya sangat besar, bagaimana David sering kali melukai dirinya sendiri untuk menarik perhatian orang sejak adiknya yang bernama Russell lahir.

Bisa kubayangkan bagaimana ibu memperlihatkan sikap lemah lembut dan penuh kasih terhadap Russell untuk merebut hati pak kepala sekolah. Di akhir pertemuan tersebut, ibu berkata kepada pak kepala sekolah bahwa ia sangat senang bisa bekerja sama dengan pihak sekolah.

Ibu juga menambahkan bahwa pihak sekolah bisa meneleponnya kapan saja setiap kali David berulah. lbu berkata bahwa staf sekolah pun sudah diberitahu untuk tidak menggubris ceritaku yang ngawur tentang anak yang sering dipukuli oleh ibunya dan tidak diberi makan. berdiri di pojok dapur pada hari itu, mendengarkan bualan ibu kepada Pak kepala sekolah membuat diriku merasa hancur dan merana.

Dari sikapnya saat menceritakan pertemuannya dengan Pak kepala sekolah, aku bisa merasakan betapa rasa percaya diri Ibu semakin besar, dan itu kurasakan sebagai ancaman bagi hidupku. Ingin rasanya aku bisa menghilang, dan pergi untuk selamanya. Ingin rasanya aku tidak lagi pernah berhadapan dengan manusia.

Pada musim panas tahun itu, keluarga kami berlibur ke Russian River. Sekalipun hubunganku dengan Ibu baik-baik saja pada saat liburan itu,perasaan takjub sekaligus hormat kepada lbu yang dulu selalu muncul dalam diriku setiap kali berlibur, hilang sudah.

Bermobil keliling tempat liburan de ngan riang gembira bersama keluarga, menikmati sosis frankfurter panggang, dan mendongeng, semua itu tinggal kenangan. Kami lebih sering tinggal dalam cabin. Bahkan kami jadi jarang sekali menikmati Johnson's Beach, padahal dulu itu kami lakukan setiap hari pada saat berlibur.

Ayah mencoba membuat suasana liburan itu lebih menyenangkan dengan mengajak kami bertiga ke tempat bermain prosotan yang baru di situ. Russell, yang ketika itu baru belajar berjalan, tinggal di cabin bersama ibu. Pada suatu hari, ketika ROn, Stan dan aku sedang bermain di cabin tetangga, ibu datang ke halaman depan cabin tetangga itu, lalu berteriak memanggil kami untuk segera kembali ke cabin kami.

Begitu sampai dicabin kami, aku dimarahi lbu karena, katanya, suaraku berisik sekali ketika bermain. Sebagai hukuman, aku tidak diizinkan ikut bersama Ayah dan kedua saudara laki lakiku bermain di tempat prosotan. Aku duduk disebuah kursi di pojok dalam cabin.

Aku gemetar karena takut, dan dalam hati aku berharap terjadi sesuatu yang membuat Ayah dan kedua saudara laki-lakiku tidak jadi pergi ke manam-ana. Aku tahu lbu diam-diam punya suatu rencana. Begitu Ayah dan kedua saudaraku berangkat bermain, lbu mengeluarkan sebuah popok yang sudah kotor oleh kotoran serta air kencing Russell.

lbu mengusapkan popok kotor itu ke wajahku. Aku berusaha tetap duduk diam, sebab aku tahu kalau aku bergerak, aku akan mendapat perlakuan yang lebih buruk lagi. Wajahku tetap kutundukkan. Aku tidak bisa melihat lbu yang berdiri di depanku, tetapi aku bisa mendengar desah napasnya yang berat.

Setelah memperlakukan aku seperti itu-yang bagiku rasanya lama sekali-lbu berlutut di sebelah kursi tempaku duduk, lalu dengan suara pelan ia berkata, "Makan ini".

Aku terkejut. Kutegakkan kepalaku, tapi tak kupandang mata lbuku. "Tidak mau!" kataku dalam hati. Seperti semua kejadian sebelumnya, menolak perintah lbu berarti kesalahan besar. lbu menempelengi aku. Dengan erat kupegang kursi tempatku duduk, berusaha untuk tidak jatuh, sebab bila aku jatuh aku takut lbu akan menginjakku.

"Kubilang makan ini!", bentaknya dengan suara tertahan.
Taktik kuubah : aku mulai menangis. "bikin dia mengendur", pikirku. Aku mulai menghitung dalam hati, mencoba berkonsentrasi. Waktu adalah satu-satunya kawanku. Tangisanku ditanggapi Ibu dengan pukulan-pukulannya ke wajahku, dan ia baru berhenti memukulku saat ia mendengar Russell menangis.

Aku merasa senang meskipun wajahku berlepotan kotoran.Kupikir, aku bias menang. Kubersihkan kotoran di wajahku dengan tangan, lalu mengibaskannya sehingga berceceran di lantai kayu. Kudengar lbu bernyanyi lembut untuk menenangkan Russell, dan aku membayangkan adikku itu ditimang-timang dalam pelukan lbu. Aku berdoa supaya adikku ini tidak tertidur lagi. Sebentar kemudian nasib baikku lenyap.

Masih dengan wajah tersenyum, lbu kembali menghampiri lawannya yang sudah kalah. la mencekal kerah belakang bajuku, lalu menyeretku kedapur. Di atas meja dapur kulihat satu lagi popok yang penuh kotoran. Baunya membuat perutku mual. "Nah, sekarang kau harus memakannya!" kata lbu.

Pada saat itu sorot mata lbu sama dengan sorot matanya dulu ketika ia mau membakarku di atas kompor gas di rumah. Tanpa menggerakkan kepala, mataku mencari-cari Jam dinding sebab setahuku ada jam didinding dapur itu. Tak berapa lama, aku tahu letak jam dinding itu.


Tanpa jam itu, aku. merasa tak berdaya. Aku tahu bahwa aku harus memusatkan perhatianku pada sesuatu agar bagaimanapun juga aku bias menguasai situasi. Sebelum mataku menemukan jam dinding itu, tangan lbu mencengkeram tengkukku. Sekali lagi ia berkata, "Makan ini" Kutahan napasku.

Bau sekali kotoran itu. Aku mencoba memusatkan perhatianku kebagian atas popok yang ada di hasapanku. Rasanya lama sekali waktu berlalu. Ibu pasti bisa menebak rencanaku. lbu menekan tengkukku sehingga wajahku jatuh di atas popok kotor itu. Ibu menggesek-gesekkan kepalaku ke kiri ke kanan di atas popok kotor itu.

Aku. sudah bersiap diri. Ketika. kepalaku ditekan ke bawah, kututup mataku erat-erat, dan kututup mulutku erat-erat. Hidungku yang terlebih dulu menyentuh popok kotor itu. Aku merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari hidungku. Kucoba menahan darah yang mengalir dari hidungku dengan menarik napas.

Ketika itu kulakukan, ada kotoran yang ikut masuk ke hidung bersama darah dan napas yang kutarik. Kucoba menahan dorongan lbu dengan menekankan tanganku ke pinggiran meja dan meronta ke kiri kekanan. Tapi lbu terlalu kuat bagiku. Tiba-tiba saja lbu melepaskan aku.


"Mereka pulang! Mereka pulang!" katanya terkesiap. Ibu menyambar kain lap, dan melemparkannya kepadaku. "Bersihkan wajahmu", lbu memerintah dengan suara pelan, sambil mengelap kotoran berwarna cokelat dari meja.


Kubersihkan Wajahku sebersih mungkin tapi tidak bisa segera mengeluarkan kotoran yang masuk ke hidungku. Tak lama kemudian ibu menutup hidungku yang berdarah dengan serbet dan menyuruhku duduk di pojok ruangan. Aku duduk terus di situ sepanjang sore dan malam itu. Masih tercium olehku bau kotoran yang masuk ke hidungku.

Keluarga ini tak pernah lagi ke Russian River.
Pada bulan September aku masuk sekolah lagi dengan pakaian yang kukenakan sepanjang tahun lalu dan wadah bekal makan siang berwarna hijau yang sudah rombeng. Aku adalah anak yang sungguh memalukan.

Setiap hari ibu membekali aku menu makan siang yang itu-itu juga: dua tangkup roti isi selai kacang dan beberapa potong wortel. Karena bukan lagi anggota keluarga ini, aku tidak diizinkan ikut station wagon keluarga kesekolah. lbu menyuruhku berlari ke sekolah. la tahu bahwa aku j adi tidak punya waktu untuk mencuri makanan milik teman-teman sekelasku.

Di sekolah tak seorang murid pun mau berteman atau berurusan denganku. Di saat istirahat makan siang, ketika. aku memakan roti isi selai kacang bekalku, kudengar teman-temanku menyanyikan lagu-1agu ejekan. Yang paling sering aku dengar begini: "David the Food Thief '-David si Pencuri makanan, dan "Pelzer-Smellzer"-Pelzer si Bau. Tak seorang murid pun mau ngobrol atau bermain bersamaku. Aku merasa sendirian.

Di rumah, sambil berdiri berjam-jam di basement, waktuku habis untuk mencari-cari cara mendapat makanan. Kadang kala Ayah mencoba menyelundupkan sisa-sisa makanan untukku, tapi itu jarang berhasil. Aku jadi yakin bahwa kalau mau bisa hidup terus aku harus mengandalkan diriku sendiri.

Habis-habisan sudah aku mencoba segala cara untuk mendapat makanan di sekolah. Semua murid menyembunyikan wadah bekal makan siang mereka, atau menguncinya di dalam lemari kelas. Semua guru dan Pak kepala sekolah tahu siapa aku, dan mereka mengawasi aku dengan ketat. Boleh dibilang tak ada lagi kesempatan bagiku untuk mencuri makanan di sekolah.

Akhirnya aku merancang suatu cara yang mungkin akan berhasil. Semua murid tidak diizinkan meninggalkan tempat bermain pada saat istirahat makan siang. Itu berarti tidak seorang murid pun akan mengira bahwa aku akan pergi dari situ. Rencanaku begini: aku pergi diam-diam dari tempat bermain, lalu lari ke toko penjual makanan dekat sekolah, lalu di took itu aku akan mencuri kue, roti, chips, atau apa saja yang bisa kucuri.


Dalam angan-anganku, rencana itu sudah aku pertimbangkan masak-masak. Esok paginya, kuhitung jumlah langkahku ketika berlari dari rumah kesekolah supaya nanti bisa kujadikan hitungan pada saat berlari ke took yang kutuju. Beberapa minggu kemudian, aku sudah mendapat semua hal yang perlu kuperhitungkan.

Satu-satunya hal yang rasanya belum aku miliki adalah keberanian untuk mencoba melakukan rencana itu. Aku tahu aku butuh waktu lebih banyak untuk menempuh jarak dari sekolah ke toko yang kutuju karena jalannya menanjak, jadi aku menyediakan waktu 15 menit. Perjalanan sebaliknya--dari toko ke sekolah-lebih gampang, jadi aku menyediakan waktu 10 menit. Semua itu berarti aku cuma punya waktu 10 menit di toko itu.

Setiap hari, saat berlari ke sekolah dan pulang dari sekolah, aku selalu berusaha berlari lebih cepat dan lebih cepat lagi. Memompakan tenaga kesetiap langkahku seolah-olah aku ini pelari maraton. Hari-hari berlalu dan rencanaku semakin bulat, rasa laparku pun berubah menjadi mimpi disiang bolong.

Khayalanku muncul setiap kali aku mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sambil menggosok lantai kamar mandi, aku mengkhayalkan diriku sebagai pangeran dalam kisah The Prince and the Pauper. Sebagai pangeran, aku tahu aku bisa menghentikan peranku yang mirip pembantu rumah tangga kapanku aku mau.

Di basement aku berdiri tegak dengan mata tertutup, membayangkan diriku adalah pahlawan dalam cerita komik. Tetapi khayalanku selalu terputus oleh rasa amat lapar yang tiba-tiba menyerang, dan pikiranku kembali lagi kepada rencana mencuri makanan.

Sekalipun yakin bahwa rencanaku tak akan ketahuan, Aku takut sekali metakukannya. Selama beberapa kali istirahat makan siang kucoba mengumpulkan keberanian untuk melaksanakan rencanaku, tetapi selalu gagal. Selalu saja ada yang berkata dalam diriku bahwa aku pasti tertangkap atau perhitungan waktuku tidak tepat.

Setiap kali terjadi kebimbangan seperti itu dalam diriku, perutku berkeriuk-keriuk witis,seakan-akan mengatai aku "pengecut". Akhirnya, setelah beberapa hari lagi aku tidak juga diberi makan malam dan perutku hanya terisi oleh sedikit saja sisa sarapan, aku memutuskan untuk melaksanakan rencanaku.


Beberapa saat setelah bel istirahat makan siang berbunyi, aku lari secepat kilat sepanjang jalan menuju toko-jantungku berdebar cepat,paru- paruku serasa pecah karena kekurangan udara. Ternyata waktu yang kuperlukan untuk sampai ke toko itu hanya setengah dari waktu yang kuperhitungkan. Waktu aku berjalan di antara rak-rak di toko itu,rasanya semua orang memandangi aku.

Dalam pikiranku, orang-orang itu sedang membicarakan seorang anak yang bau dan penampilannya kumuh. Saat itulah aku langsung sadar bahwa niatku mencuri di toko itu pasti gagal sebab aku tidak memperhitungkan penampilanku. Semakin aku mencemaskan penampilanku, semakin perutku serasa terpilin oleh rasa takut.

Sikapku malah jadi kaku, tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak lagi bias memusatkan perhatian pada waktu. Yang aku pikirkan cuma saat-saat ketika aku kelaparan. Mendadak, tanpa berpikir apa pun, kusambar barang pertama yang kulihat di rak di dekatku, dan langsung berlari keluar toko,berlari sekencang mungkin ke sekolah. Di tanganku ada sekotak graham crackers, yang kugenggam erat-erat.

Sambil berjalan melalui halaman sekolah, kusembunyikan sebungkus kue itu di balik bajuku, di bagian yang tidak ada lubangnya. Kemudian kue itu kupindahkan ke keranjang sampah di dekat kamar kecil, kusembunyikan disitu, di bawah tumpukan sampah.

Setelah agak sore aku minta izin kepada guruku untuk pergi ke kamar kecil. Niatku adalah menikmati kue yang tadi aku curi. Hampir tak tahan aku untuk langsung menikmatinya. Ternyata keranjang sampah itu sudah kosong-penjaga kebersihan sekolah sudah mengosongkan tempat sampah itu. Sia-sia sudah kerja kerasku selama ini.

Hari itu aku gagal, tetapi beberapa kali usahaku di kemudian hari berhasil. Sampai pada suatu hari, kusembunyikan hasil kerja kerasku disebuah meja di ruang absensi, dan kecsokan harinya aku dipindahkan ke sekolah lain. Dipindahkan ke sekolah lain tidak membuatku kecewa, tetapi kehilangan makanan yang berhasil kucuri membuatku merana.

Pindah sekolah berarti kesempatan baru untuk bisa mencuri makanan dari bekal teman-teman sekelasku yang baru. Bukan cuma itu, kegiatan mencuri makanan di toko tetap bisa kulakukan seminggu sekali. Ketika berada dalam toko, kalau suasananya membuat perasaanku tidak enak, aku tidak mencuri apa pun.

Bagaimanapun, seperti biasanya, pada akhimya aku tertangkap basah juga. Pemilik toko memanggil ibu. Di rumah, aku dipukuli habis-habisan. Ibu, juga ayah, tahu mengapa aku mencuri makanan, tetapi lbu tetap tidak memberiku makan. Semakin besar doronganku untuk makan, semakin keras usahaku untuk mencuri makanan dengan rencana yang lebih matang lagi.

Sehabis makan malam, lbu biasa membuang sisa-sisa makanan ke dalam sebuah tempat sampah kecil. Kemudian ia memanggilku ke atas-selama keluarga ini makan malam, Aku berdiri di basement, menunggu dipanggil untuk mencuci piring gelas dan membersihkan ruang makan.

Sambil mencuci piring gelas, aku bisa mencium bau sisa-sisa makan malam di tempat sampah kecil itu. Ketika ide itu muncul untuk pertama kalinya, aku merasa mual. Tetapi semakin lama kupikirkan, sepertinya tidak apa-apa juga kalau kulakukan. Cuma itulah satu-satunya harapanku untuk mendapat makanan.

Kuselesaikan tugas mencuci piring gelas itu secepat mungkin,lalu membuang sampah ke tong sampah di depan garasi. Saat melihat sisa makanan di tempat sampah kecil itu, mulutku berliur. Sambil membuang sobekan kertas atau. puntung dan abu rokok, dengan hati-hati kupungut sisa makanan yang kelihatannya masih bagus, lalu kulahap dengan cepat.

Seperti biasanya, rencana baruku untuk mencuri makanan kandas karena Ibu selalu bisa mengetahuinya. Selama beberapa minggu, aku tidak memakan sisa-sisa makanan yang sudah dibuang di tempat sampah. Tetapi ketika perutku terasa amat sakit karena kelaparan, aku pun mulai lagi mengais-ngais sisa makanan di tempat sampah itu.

Pernah aku melahap sisa daging dari tempat sampah itu. Beberapa jam kemudian aku terbungkuk-bungkuk karena perutku sakit sekali. selama seminggu aku terserang diare. waktu aku sakit itu, Ibu memberitahu aku bahwa ia sengaja menyimpan daging itu selama dua minggu di lemari es, bukan di freezer, sehingga daging itu membusuk. Ibu lalu membuangnya ke tempat sampah, karena ia tahu persis aku pasti akan memungutnya.

Untuk selanjutnya, Ibu selalu menyuruhku membawa tempat sampah itu kepadanya. Sambil tiduran di sofa, Ibu memeriksa tempat sampah itu sebelum aku membuang isinya. Ibu tidak pernah tahu bahwa sisa-sisa makanan sudah aku bungkus dengan kertas sedemikan rupa dan aku benamkan ke bawah tumpukan sampah.

Aku yakin Ibu tak akan sudi jari-jari tangannya jadi kotor karena harus mengais-ngais sampah sampai ke tumpukan bawah. Maka, untuk beberapa waktu lamanya usahaku itu berhasil.

Tampaknya Ibu tahu bahwa dengan cara tertentu aku bisa memperoleh makanan, maka ia menyiramkan amonia ke dalam keranjang sampah. Setelah itu aku tidak lagi mengais sisa makanan dari keranjang sampah rumah, dan mulai memikirkan cara baru untuk memperoleh makanan di sekolah. Setelah ketahuan mencuri makanan dari wadah bekal makan siang murid-murid lain, ideku selanjutnya adalah mencuri makan siang beku di kantin.

Aku mengatur waktu sedemikian rupa, sehingga sesaat setelah mobil pengantar persediaan makan siang yang dilakukan selesai menurunkan antarannya di kantin, pada saat itulah aku minta izin guruku untuk buang air kecil. Aku mengendap-endap menuju kantin, menyambar beberapa bungkus makanan beku, lalu secepat kilat masuk ke kamar kecil.

Aku sendiran disitu.Kulahap makanan dingin yang kudapat dengan tergesa-gesa, sehingga nyaris aku tersedak. Setelah perutku terisi, aku kembali ke kelas dengan perasaan bangga: aku bisa memberi makan diriku sendiri.

Saat berlari pulang, satu-satunya yang kupikirkan adalah mencuri makanan dari kantin esok harinya. Beberapa menit kemudian, lbu mengubah niatku itu. la menarikku ke kamar mandi lalu meninju perutku begitu kerasnya sampai-sampai Aku terbungkuk.

Sambil menyeretku dan menghadapkan wajahku ke toilet, lbu menyuruhku menyodokkan jariku ke tenggorokanku. Aku meronta. Kucoba siasatku, yakni mulai menghitung, ketika wajahku mengarah ke lubang toilet, "Satu... dua..."

Tidak sampai tiga. Lbu memasukkan jari-jari tangannya ke mulutku, seolah-olah ia mau menarik perutku keluar dari tenggorokanku. Aku meronta-ronta tak karuan. Akhirnya lbu melepaskan aku, tetapi dengan satu-satunya syarat: aku mau memuntahkan isi perutku di hadapannya.

Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kupejamkan mata ketika gumpalan-gumpalan daging berwarna merah meluncur dari tenggorokanku ketoilet. Ibu cuma berdiri di belakangku, berkacak pinggang, dan berkata,"Suclah kuduga. Ayahmu harus tahu ini" Badanku menegang, bersiap-siap menerima pukulan-pukulan Ibu yang pasti datang, tetapi ternyata tidak terjadi apa-apa.

Beberapa detik kemudian, aku berpaling. lbu suclah tidak ada di situ. Tapi aku tahu, semua ini belum selesai. Tak berapa lama kemudian lbu masuk lagi ke kamar mandi, membawa sebuah mangkuk kecil, lalu menyuruhku memungut makanan yang baru sempat tercerna sebagian, yang tadi kumuntahkan ke dalam toilet, untuk ditaruh dimangkuk yang ia bawa.

Karena ketika peristiwa itu terjadi ayah sedang pergi keluar rumah suatu keperluan, lbu merasa perlu mengumpulkan bukti untuk diperlihatkan kepada Ayah ketika ia sampai di rumah nanti. Pada malam itu juga, setelah aku selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, Ibu menyuruhku berdiri dekat meja dapur sementara ia dan Ayah berbicara di kamar tidur.

Mangkuk berisi sisa-sisa hot dog yang tadi kumuntahkan ke toilet ditaruh di depanku. Aku tak tahan melihatnya,jadi kupejamkan mataku dan berusaha membayangkan diriku tidak di rumah ini. Tidak lama kemudian lbu dan Ayah bergegas ke dapur. "Lihat ini,Steve", kata Ibu dengan nada tinggi, sambil menunjuk ke mangkuk didepanku. "Kau mengira anak ini sudah berhenti mencuri, bukan?"

Dari raut wajah Ayah, aku bisa bilang bahwa ia sudah tidak tahan lagi dengan laporan "Lihat apa yang dilakukan anak ini sekarang" yang tak habis-habisnya. Sambil memandang ke arahku, Ayah menggeleng tak setuju dan seperti kehabisan akal ia berkata, "Roerva, kalau begitu kau tinggal memberi anak ini sesuatu yang bisa dimakan, bukan?"

Cekcok kata-kata yang semakin meninggi berlangsung di depanku dan,seperti biasa, lbu menang. "MAKAN? Kau ingin anak ini makan, Stephen? Boleh, anak ini akan MAKAN! Dia bisa makan ini" lbu mengatakan itu dengan berteriak sambil menunjuk ke mangkuk di depanku, lalu bergegas ke kamar tidur.

Lalu dapur menjadi sepi sekali, sampai-sampai aku bisa mendengar napas Ayah yang tertahan. Dengan lembut dipegangnya bahuku dan berkata,"Tunggu di sini, tiger. aku akan coba membantumu". beberapa menit kemudian ia kembali ke dapur, setelah mencoba membujuk Ibu untuk membatalkan tuntutannya. Wajah Ayah tampak semakin muram, dan aku langsung tahu siapa yang menang.

Aku duduk di kursi. Lalu dengan tangan, kuambil muntahan "hot dog" dari mangkuk itu. Tetesan kental ludah jatuh dari antara jari-jari tanganku ketika aku menyuapkan muntahan hot dog itu ke mulutku. Sewaktu mencoba menelan muntahan itu, aku menangis lirih.

Aku berpaling pada Ayah, yang berdiri sambil memandangiku dan memegang segelas minuman. La menganggukkan kepalanya, menyuruhku menghabiskan isi mangkuk itu. Aku tidak percaya Ayah berdiri saja di situ sementara aku memakan isi mangkuk yang menjijikkan itu. Saat itulah aku menyadari hubungan aku Ayah yang semakin lama semakin jauh.

Aku mencoba menelan muntahan itu tanpa merasakannya. Tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram tengkukku. "Kunyah!" lbu memerintah sambil menggeram. "Makan! Habiskan semua!" katanya sambil menunjuk ke ludah kental di mangkuk dan tanganku. Badanku semakin mengerut di kursi yang kududuki.

Air mata mengalir deras ke pipiku. Setelah semua isi mangkuk itu. masuk ke mulutku, aku berusaha keras untuk menelannya. Lalu aku masih harus berusaha sekuat-kuatnya untuk menahan agar apa yang sudah kutelan tidak lagi keluar dari tenggorokanku.

Tak sekejap pun kubuka mataku sampai aku benar-benar yakin bahwa perutku tidak menolak "makanan kantin" itu. Ketika aku benar-benar membuka mataku, kupandangi lagi Ayah. Orang yang dulu membantuku, kini cuma berdiri mematung sambil melihat anaknya makan sesuatu yang anjing pun tak sudi memakanya.

Setelah kujalani hukuman menghabiskan muntahan hot dog itu, lbu, yang mengenakan jubah tidur, masuk lagi ke dapur dan melemparkan setumpuk koran bekas kepadaku. la memberitahu aku bahwa koran-koran bekas itu adalah selimut tidurku, dan lantai di bawah meja dapur adalah tempat tidurku mulai malam itu.

Lagi, kupandang Ayah sepintas-ia bersikap seolah-olah aku tidak ada di situ. Aku merangkak ke bawah meja dapur,tidur meringkuk dengan pakaian yang kupakai sekolah, menyelimuti badanku dengan koran bekas - rasanya aku ini tikus dalarn kurungan. Kupaksakan diriku untuk tidak menangis di hadapan lbu dan Ayah.

Berbulan-bulan aku tidur di bawah meja, di sebelah tempat tidur kucing peliharaan keluarga ini. Ternyata koran-koran bekas itu berguna juga sebagai selimut sebab kertasnya menahan panas tubuhku, sehingga aku merasa tetap hangat. Sampai akhirnya lbu berkata padaku bahwa aku tidak lagi pantas tidur di dalam rumah, maka aku disuruh pergi ke basement.


Tempat tidurku ganti lagi-sebuah dipan lipat berkain tua yang biasa dipakai tentara. Supaya tetap, hangat,Aku mencoba mendekatkan kepalaku ke gas heater. Namun setelah kedinginan beberapa malam, ternyata menjaga tubuh agar tetap hangat adalah berbaring meringkuk, dengan telapak tangan diselipkan di bawah ketiak dan melipat kaki sehingga talapak kaki menempel ke pantat.

Kadang kala aku terbangun , di tengah malam, lalu mencoba membayangkan bahwa aku ,ini benar-benar manusia yang sedang tidur dengan selimut elektrik yang hangat dan yakin bahwa aku baik-baik saja karena ada orang yang mencintai aku. Angan-anganku itu berhasil, tapi hanya untuk waktu sebentar saja, sebab malam yang begitu dingin selalu membawaku kembali kepada kenyataan.

Aku tahu tak seorang pun bisa membantuku ini-guruku tidak, saudara-saudara kandungku tidak,bahkan Ayah pun tidak. Aku sendirian, dan setiap malam aku berdoa memohon Tuhan menganugerahi aku kekuatan lahir batin. Di basement yang gelap pekat, aku berbaring di dipan lipat berkain tua, menggigil kedinginan sampai akhirnya jatuh ke dalam tidur yang melelahkan.

Suatu ketika, dalam angan-anganku di tengah malam itu,muncul gagasan untuk mengemis makanan dalam perjalanan ke sekolah. Sekalipun lbu terus memintaku "untuk muntah" setiap sore sepulangku dari sekolah, aku piker makanan yang kutelan pada pagi hari tentunya sudah tercerna dengan baik.


Maka, begitu mulai berlari ke sekolah, aku berlari lebih cepat lagi daripada biasanya supaya aku punya waktu lebih untuk "mengemis makanan". Rute perjalananku ke sekolah berubah, karena aku harus memilih rumah atau tempat yang menurutku bisa kumintai sedekah makanan.

Biasanya aku akan bertanya kepada setiap wanita yang membuka pintu rumahnya apakah mereka kebetulan melihat atau menemukan wadah bekal makan siang di dekat situ. Kebanyakan usahaku itu berhasil. Dari cara para wanita itu memperhatikanku, aku bisa bilang bahwa mereka merasa kasihan padaku.


Demi menjaga agar orang-orang yang kumintai sedekah tidak tahu siapa diriku sebenarnya, aku memakai nama palsu. Selama beberapa minggu usahaku berhasil, sampai pada suatu hari aku mendatangi sebuah rumah yang pemiliknya ternyata kenalan ibu.

Bualanku, "aku kehilangan bekal makan siangku. Maukah ibu memberiku penggantinya?", yang selama ini selalu terbukti ampuh,hancur berantakan. Bahkan sebelum meninggalkan pekarangan rumahnya, aku tahu ia akan menelepon lbu.

Pada hari itu di sekolah aku berdoa agar dunia ini hancur. Di kelas,dalam kegelisahan karena rasa takut, aku tahu lbu sedang berbaring disofa, nonton televisi, dan semakin mabuk ' sambil memikirkan sebuah tindakan yang akan dijatuhkannya atas diriku begitu aku sampai dirumah-nya dari sekolah.

Saat berlari pulang dari sekolah sore itu, kedua kakiku terasa berat, seperti diikat pada bongkahan semen beton. Dalam setiap langkah, aku berdoa agar kenalan lbu tadi pagi tidak menelepon lbu, atau ragu-ragu bahwa yang ia lihat tadi pagi bisa jadi anak lain yang mirip aku. Langit di atas kepalaku biru, dan aku bisa merasakan hangatnya sinar matahari di punggungku.

Begitu sampai di rumah lbu, aku menengadah lagi untuk melihat matahari, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah aku masih bisa melihatnya lagi kapan-kapan. Perlahan-lahan kubuka pintu depan, melongok ke dalam, baru masuk, dan langsung menuruni tangga ke basement. Aku sudah membayangkan lbu bergegas ke basement, lalu memukuliku di situ. Tapi lbu tidak muncul.

Setelah mengganti pakaian sekolah dengan pakaian kerja, pelan-pelan Aku naik ke dapur, lalu mencuci semua peralatan makan yang kotor. Karena tidak tahu di mana kira-kira lbu berada, telingaku dengan sendirinya berfungsi sebagai antene radar yang mencoba menemukan keberadaan Ibu. Selama mencuci peralatan yang kotor itu, bulu kudukku berdiri.

Tanganku gemetar. Aku tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku. Akhirnya kudengar juga lbu keluar dari kamarnya, berjalan melalui ruang tengah, menuju dapur. Kualihkan pandanganku ke luar jendela, sepintas saja. Bisa kudengar tawa dan jeritan senang anak-anak yang sedang bermain. Kupejamkan mata sekejap sambil berkhayal aku sedang bermain bersama anak-anak itu. Muncul rasa hangat dalam diriku. Aku tersenyum.

Jantungku serasa berhenti mendadak ketika kurasakan napas Ibu ditengkukku. Piring yang sedang kupegang terlepas, tapi aku sempat menangkapnya sebelum menyentuh lantai. "Gesit juga kau ya?" desisnya. "Kau bisa berlari cepat sehingga sempat mengemis makanan.

Jadi... kita akan lihat nanti segesit apa kau sebenarnya." Dengan sendirinya aku menegangkan badanku, bersiap menerima pukulan lbu. Ternyata Ibu tidak memukul. jadi kupikir ia akan pergi dan nonton televisi lagi, tetapi ternyata tidak juga. Ibu tetap berdiri amat dekat di belakangku,memperhatikan setiap tindakanku. bisa kulihat sosok Ibu dari pantulan kaca jendela. Ternyata lbu juga rnelihat ke arah arah yang sama, dan pantulannya memperlihatkan ia tersenyum padaku. Hampir saja aku kencing di celana.

Selesai mencuci peralatan makan yang kotor, aku membersihkan kamar mandi. lbu duduk di tepi toilet, sementara aku membersihkan bak mandi. Saat aku menggosok lantai kamar mandi sambil merangkak, pelan-pelan lbu berdiri di belakangku. Aku mengira ia akan berjalan ke arah depan lalu menendang wajahku.

Ternyata tidak. Selama mengerjakan tugasku, rasa penasaranku semakin besar. Aku tahu lbu pasti memukulku, tapi aku tidak tahu bagaimana ia akan memukul, kapan, di mana. Lama sekali rasanya membersihkan kamar mandi itu sampai selesai. Ketika akhirnya selesai juga tugas itu, kedua kaki dan tanganku gemetar karena takut lbu menyerang secara tiba-tiba.

Satu-satunya yang kupikirkan saat itu hanya lbu. Setiap saat punya keberanian, aku berusaha melihat lbu, yang membalas pandanganku dengan senyum, dan berkata, "Lebih cepat lagi,young man. Nanti kau harus bisa bergerak jauh lebih cepat lagi".

Sampai saat makan malam, tenagaku habis karena menahan rasa takut. Harnpir saja aku tertidur sambil menunggu perintah lbu untuk membereskan meja makan dan mencuci peralatan makan yang kotor. Berdiri sendirian dibasement, perutku terasa tak karuan. Ingin sekali aku berlari ke atas,mau memakai kamar mandi.

Tapi tanpa perintah lbu, aku tak diizinkan melakukan apa pun-aku seorang tahanan. "Mungkin begitulah rencana Ibu untukku", begitu pikirku. "Mungkin Ibu ingin agar aku meminum air kencingku sendiri". Pada mulanya, pikiran seperti itu kurasakan kasar sekali.

Bagaimanapun, aku harus bersiap-siap menerima apa pun yang akan diperbuat lbu terhadapku. Semakin keras aku menduga-duga apa yang bakal lbu lakukan terhadapku, semakin habis tenagaku. Tiba-tiba terbersit sesuatu di otakku: Au tahu kenapa tadi lbu mengikutiku terus. Ia ingin aku terus-menerus merasa tertekan, dengan membuat aku tidak hisa memperkirakan kapan atau di mana ia akan menyerangku.

Belum sempat aku memikirkan suatu cara untuk mengalahkannya, Ibu berteriak memanggilku keatas. Di dapur lbuberkata padaku bahwa hanya kecepatan cahayalah yang bisa menyelamatkan diriku, maka ia menyarankan agar aku menyelesaikan tugasku mencuci peralatan makan yang kotor secepat kilat.

"Yang jelas,"katanya. mendesis, "tak perlu kukatakan lagi padamu bahwa kau tak akan mendapat makan malam, tapi jangan khawatir sebab aku punya sesuatu untuk mengobati rasa laparmu".

Setelah tugasku malam itu selesai, lbu menyuruhku menunggu di basement. Aku berdiri dengan menempelkan punggungku ke dinding yang keras, sambil mencoba menerka rencana yang akan lbu lakukan terhadapku. Aku tak tahu. Keringat dingin membasahi tubuhku, seakan-akan merembes keluar dari tulang-tulangku.

Aku merasa begitu lelah, sampai-sampai aku tertidur sambil berdiri. Ketika kurasakan kepalaku lunglai ke depan, aku langsung menegakkannya lagi, aku pun terbangun. Sekeras apa pun usahaku untuk ticlak tertidur, Aku tak marnpu menahan kepalaku yang berayun-ayun naik turun seperti gabus di air.

Waktu itu aku merasakan jiwaku meninggalkan badanku, dan aku merasa seperti melayang. Aku merasa seringan kapas,sampai tiba-tiba kepalaku terjatuh lagi ke depan, membuatku hangun. Lebih baik begitu daripada aku terlelap.

Karena kalau ketahuan aku tertidur bisa mengakibatkan sesuatu yang mengerikan, maka kualihkan perhatian dengan mendengarkan suara mobil yang lewat di depan rumah atau melihat melalui jendela lampu merah berkelap kelip dari pesawat terbang yang melintas di langit. Dari lubuk hatiku, aku berharap, seandainya saja aku dapat terbang lepas.

Beberapa jam kemudian, setelah Ron dan Stan tidur, lbu menyuruhku keatas. Aku melangkah dengan rasa takut. Aku tahu saatnya telah tiba. IBu membuatku lelah lahir batin. Aku tak tahu rencananya. Aku berharap ibu memukuliku sampai mati.

Begitu pintu kubuka, ada rasa tenang dalam batinku. Rumah dalam keadaan gelap, kecuali sebuah lampu saja yang menyala di dapur. Aku bisa melihat lbu duduk di dekat meja makan. Aku berdiri terpaku. lbu tersenyum. Dari bahunya yang tampak merosot, aku tahu lbu mabuk. Anehnya, aku bisa tahu bahwa ia tidak akan memukuliku.

Aku tak bisa berpikir. Namun aku kembali gemetar ketika Ibu berdiri dan berjalan ke arah bak cuci piring. Ia berlutut, membuka lemari kecil di bawah bak cuci piring, lalu mengeluarkan sebotol amonia. Aku tidak tahu apa yang akan ia lakukan. La mengambil sendok makan, lalu menuangkan cairan amonia ke sendok itu. Aku sedemikian panik sampai tidak bisa berpikir-semakin keras usahaku untuk berpikir, semakin buntu otakku terasa.

Dengan sendok berisi cairan amonia di tangannya, lbu berjalan mendekati aku. Ada sedikit cairan amonia yang tumpah dari sendok, jatuh ke lantai. Aku mundur perlahan,sampai kepalaku membentur pinggiran. kompor. Dalam hati, Aku nyaris tertawa. "Cuma segitu? Cuma segitu itu? Dia Cuma inginaku meminum cairan itu?" aku berkata dalam hati.

Aku tidak merasa takut. Aku sudah capai sekali. Aku cuma bisa berpikir,"Ayolah kita mulai. Ayo kita mulai saja biar lekas selesai". Ibu membungkuk, lalu sekali lagi ia berkata bahwa hanya kecepatan yang dapat menyelamatkan aku. Kucoba menebak teka-tekinya, tapi otakku serasa buntu.

Langsung kubuka mulutku, dan lbu menyodokkan sendok tadi jauh ke dalam mulutku. Sekali lagi aku berkata pada diriku sendiri bahwa semua ini tidak seberapa. Tetapi tak lama kemudian aku tidak bisa bernapas. Tenggorokanku tercekik. Aku terhuyung-huyung di hadapan lbu. Mataku seperti mau copot dari tengkorakku. Aku jatuh ke lantai dalam posisi merangkak.

"Bubble!" otakku menjerit. Kuentak-entakkan tanganku kelantai sekuat tenaga, mencoba menelan dan mencoba berkonsentrasi pada gelembung udara yang menyekat batang kerongkonganku. Aku jadi begitu ketakutan. Aku menangis karena panik.

Tak lama kemudian kurasakan kekuatan pukulan kepalan tanganku melemah. Aku mencakar-cakar lantai. Mataku membelalak ke lantai. Berbagai warna tampak berjalan-jalan bersamaan. Aku mulai merasa terapung-apung, Aku tahu aku akan mati.

Aku tersadar kembali. Kurasakan lbu menepuk-nepuk keras punggungku. Tepukan lbu yang begitu keras membuatku bersendawa, lalu aku pun bias bernapas lagi. Aku menarik napas panjang-panjang, mengisi lagi paru-paruku dengan udara.

lbu mengambil gelas minumannya. la menenggak banyak-banyak minumannya, memandangku yang masih di lantai, lalu mengembuskan udara ke arahku. 'Tidak terlalu berat, bukan?" kata Ibu,sambil menghabiskan isi gelasnya, lalu menyuruhku turun ke basement, kedipan lipatku.

Pagi harinya, aku menerima perlakuan serupa. Bedanya, itu dilakukan didepan Ayah. lbu mengumbar kata-kata, "Ini akan membuat jera anak ini sehingga tidak mencuri lagi!" Aku tahu, itu dilakukan Ibu demi mernuaskan nafsunya yang sinting dan menyimpang. Ayah berdiri saja, tak berdaya, ketika lbu mencekoki aku lagi dengan amonia.

Tetapi kali itu aku melawan. IBu harus bersusah payah membuka mulutku. Dengan keras
kugelengkan kepalaku ke kiri dan ke kanan, sehingga aku berhasil menumpahkan sebagian besar cairan pembersih yang ada di sendok itu kelantai. Tetapi ternyata tidak cukup banyak. Sekali lagi aku jatuh ke lantai dalam posisi merangkak, lantai kutinju berkali-kali.

Aku menengadah kepada Ayah, mencoba memanggilnya. Aku bisa berpikir jernih,namun tak sedikit pun suara keluar dari mulutku. Ayah cuma berdiri saja,tanpa emosi, padahal aku meninju-ninju lantai di dekat kakinya. Dengan posisi tubuh seolah-olah sedang memberi makan seekor anjing peliharaannya, Ibu memukul keras punggungku beberapa kali, dan aku pun pingsan.

Pagi harinya, saat membersihkan kamar mandi, dengan bantuan cermin aku memeriksa lidahku yang melepuh. Ada bagian yang terkelupas, sedangkan sisanya merah dan lecet. Aku merasa bersyukur masih hidup.

Sekalipun lbu tidak lagi mencekoki aku amonia, beberapa kali ia mencekoki aku Clorox-semacam cairan penghancur kotoran. Tetapi rupanya lbu. paling senang mencekoki aku sabun cair pencuci piring. la memaksaku menelan sabun pencuci piring cair berwarna pink itu dengan langsung menuangkannya dari botolnya, lalu menyuruhku berdiri di basement.


Mulutku terasa kering sekali, sampai-sampai aku meminurn air banyak-banyak dari selang keran di situ. Tak Lima kemudian aku sadar telah membuat kesalahan besar. Perutku jadi sakit sekali. Aku berteriak kepada Ibu, mohon diizinkan menggunakan toilet di atas. la tidak mengizinkan. Aku berdiri saja di basement, takut bergerak sebab kotoran cair mengalir keluar dari celana dalamku, terus mengalir sepanjang kakiku, lalu ke lantai.

Aku merasa hina sekali; aku menangis seperti bayi. Aku merasa tidak lagi punya harga diri. Aku masih ingin ke kamar mandi, tapi aku takut sekali bergerak. Karena perutku amat sakit dan seperti terpilin, dengan sekeras hati kulakukan sesuatu untuk menyelamatkan harga diriku.

Dengan susah payah aku berjalan setengah berjongkok, seperti bebek, menuju tempat cucian di garasi. Kuraih sebuah ember, lalu aku jongkok di atas ember itu untuk mengeluarkan sisa kotoran. Kupejamkan mata sambil berpikir bagaimana caranya membersihkan badan dan pakaianku.

Pada saat itulah tiba-tiba pintu garasi di belakangku terbuka. Aku menoleh. Kulihat Ayah berdiri di situ dengan wajah tanpa perasaan, sementara anaknya mengiba padanya bersamaan dengan mengalirnya kotoran berwarna cokelat ke ember. Aku merasa lebih rendah daripada anjing.

lbu tidak selalu menang. Pernah terjadi, ketika aku tidak diperbolehkan masuk sekolah, lbu mengucurkan sabun cair pencuci piring ke mulutku langsung dari botolnya, lalu menyuruhku membersihkan dapur. lbu tidak tahu apa yang kulakukan dengan sabun cair di mulutku, pokoknya aku tak sudi menelannya.

Bermenit-menit kemudian, mulutku penuh dengan campuran sabun cair clan air ludah. Aku tidak mengizinkan diriku untuk menelannya. Ketika. tugas membersihkan dapur selesai, aku bergegas ke turun untuk membuang sampah. Aku tersenyum lebar. Begitu pintu kututup,kuludahkan sabun cair berwarna pink itu dari mulutku.

Kemudian aku mengambil tisu bekas dari dalam salah satu tempat sampah di dekat pintu garasi. Kugunakan tisu bekas itu untuk membersihkan lidah dan mulutku dari sisa-sisa sabun cair. Setelah semua itu selesai , aku merasa bagai pemenang olympic marathon. Aku bangga bisa mengalahkan lbu dalam permainan yang sangat ia kuasai.

Meskipun lbu tahu sebagian besar usahaku untuk mendapat makanan, ia tidak tahu semuanya. Setelah berbulan-bulan dikurung di basement selama beberapa jam setiap kalinya, keberanianku muncul, latu aku mencuri makanan beku dari freezer yang ada di dekat garasi. Sepenuhnya aku sadar bahwa setiap saat bisa saja aku ketahuan dan harus membayar tindakan kriminalku itu. Maka, kunikmati setiap gigitan, seolah-olah itulah makanan terakhir yang bisa kunikmati.

Dalam kegelapan basement aku memejamkan mata. Aku berkhayal sebagai seorang raja yang mengenakan jubah paling indah, yang sedang menyantap hidangan paling lezat yang bisa ditawarkan manusia. Sambil memegang pumpkin pie atau taco sheel, aku-lah sang raja, dan seperti layaknya seorang raja yang duduk di atas singgasana, aku menatap hidanganku yang lezat dan tersenyum.


indo community

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback