Pages

Friday, November 27, 2009

A child called it (3)

(true story)

3. Anak nakal
Hubunganku dengan lbu berubah drastis, dari tempaan disiplin menjadi hukuman yang semakin membabi-buta. Kadangkala hukuman itu sedemikian menyakitkan sampai-sampai aku harus merangkak untuk menghindarinya bahkan aku bisa menyebutnya sebagai menyelamatkan hidupku.

Sebagai anak kecil, suaraku mungkin terdengar lebih keras dibandingkan anak-anak kecil lainnya. Tampaknya aku juga selalu bernasib sial-selalu ketahuan bersikap nakal -sekalipun aku dan kedua saudaraku sering sama-sama mengaku melakukan "kejahatan" yang sama.

Pada awalnya, aku disuruh berdiri atau jongkok di pojok kamar tidur kami. Pada saat itulah aku mulai takut terhadap lbu. Sangat takut. Tak pernah aku meminta lbu agar aku boleh keluar kamar. Aku akan diam dalam posisi dan tempat yang sama, menunggu sampai salah seorang saudaraku masuk ke kamar tidur kami dan bertanya pada lbu apakah David sudah boleh keluar dan ikut main bersama.

Mulai saat itulah sikap lbu berubah drastis. Kadang kala, saat Ayah sedang bekerja, Ibu menghabiskan waktunya seharian tiduran di kursi menonton acara televisi, masih mengenakan jubah mandi. la hanya akan beranjak dari kursi kalau mau ke kamar mandi, menambah minumannya lagi,atau memanaskan sisa makanan.

Saat berteriak kepada kami,suaranya berubah dari suara seorang lbu yang lembut menjadi suara seorang perempuan penyihir yang jahat. Dalam waktu singkat suara lbu menjadi suara yang sangat menakutkan bagiku. Bahkan kalau Ibu berteriak memarahi salah seorang saudaraku, aku akan berlari ke kamar untuk bersembunyi,sambil berharap Ibu cepat-cepat kembali lagi ke kursinya, ke minumannya,dan ke acara televisinya.

Sejenak, aku bisa tahu apa yang bakal aku alami pada suatu hari dari pakaian yang Ibu kenakan. Aku bisa bernapas lega pada hari ketika kulihat lbu keluar dari kamarnya mengenakan pakaian yang menawan dan mengenakan make up. Pada hari-hari demikian,ibu akan tersenyum sepanjang hari.

Ketika Ibu memutuskan bahwa "hukuman pojok kamar" tidak lagi mempan,"hukuman cermin" lalu dikenakan pada diriku. Mulanya, wajahku ditempelkan dan ditekan pada kaca cermin, lalu wajahku yang basah oleh air mata digesek gesekkan pada permukaan kaca cermin yang licin dan memantulkan wajahku.

Kemudian lbu memaksaku untuk berkata, "Aku anak nakal! Aku anak nakal! Aku anak nakal!" berulang-ulang. Kemudian aku dipaksa berdiri, disuruh melihat ke cermin. Aku berdiri tegang, dengan kedua tangan masing-masing di setiap sisi.

Berulang kali aku mencuri pandang ke luar kamar, menanti dengan sangat ketakutan saat siaran iklan kedua ditayangkan di televisi. Aku tahu persis, bahwa pada saat itulah akan kudengar langkah-langkah kaki Ibu yang bergegas menuju kamar untuk memeriksa apakah aku masih memandang ke arah cermin, lalu ia akan berkata padaku betapa aku adalah anak yang memuakkan.

Setiap kali saudara-saudaraku masuk ke kamar saat aku mendapat "hukuman cermin",mereka memandang ke arahku, mengangkat bahu sedikit, lalu meneruskan permainan mereka seolah-olah aku tidak di situ. Mulanya sikap mereka itu membuatku iri, namun aku segera paham bahwa itu mereka lakukan semata-mata demi menyelamatkan diri mereka sendiri.

Ketika Ayah di tempat kerja, Ibu sering berteriak-teriak memaksa aku dan kedua saudaraku mencari di seluruh pelosok rumah sesuatu miliknya yang hilang. Biasanya pencarian seperti itu dimulai pagi hari, sampai berjam-jam kemudian.

Tidak lama setelah pencarian dimulai, biasanya aku disuruh melakukan pencarian di garasi, sebuah ruangan di bagian bawah rumah-semacam basement. Saat berada di ruang bawah pun, aku tetap ketakutan setiap kali mendengar lbu berteriak ke salah satu saudaraku.

Demikianlah selama berbulan-bulan, pencarian seperti itu berlanjut,sampai akhirnya cuma aku sendirilah yang disuruh mencari barangnya yang hilang, barang apa saja. Pernah, aku lupa barang apa yang mesti aku cari. Ketika dengan amat ketakutan aku bertanya pada lbu barang apa yang harus aku cari, wajahku malah dipukul.

Itu dilakukan lbu sambil tetap rebahan di kursi, bahkan ia tidak mengalihkan perhatiannya dari acara televisi. Darah mengalir dari hidungku, dan aku mulai menangis. Lbu menyambar serbet dari meja, menyobeknya, lalu menggosok-gosokkannya kehidungku. "Kau tahu persis apa yang harus kau cari!" bentaknya. "Cari! Sekarang!"

Tergopoh-gopoh aku turun kembali ke basement, lalu membuat suara cukup keras untuk meyakinkan lbu bahwa aku betul-betul mematuhi perintahnya sesegera mungkin. Ketika perintah Ibu "cari ini, cari itu" menjadi semakin biasa terjadi, aku mulai berkhayal bahwa aku telah menemukan barang lbu yang hilang.

Aku berkhayal, dengan dada membusung aku muncul dari basement sementara kedua tanganku membawa barang berharga yang begitu dicari-cari, lalu lbu menyambutku dengan pelukan serta ciuman. Bukan cuma itu. Aku juga berkhayal keluarga kami hidup bahagia setelah itu. Kenyataannya, aku tak pernah menemukan satu pun barang Ibu yang hilang, dan ia membuatku takkan pernah lupa bahwa aku adalah anak gagal yang tak bisa apa apa.

Sebagai anak kecil, aku menyadari sikap Ibu bisa sangat berlawanan-seperti siang dan malam-saat Ayah ada di rumah. Kalau Ibu menata rambutnya dan mengenakan pakaian bagus, ia kelihatan lebih santai. Aku menyukai hal itu saat Ayah di rumah.

Itu berarti tidak ada pukulan, hukuman cermin, atau pencarian barang-barang Ibu yang hilang selama berjam-jam. Ayah menjadi pelindungku. Kapan pun Ayah pergi kegarasi untuk melakukan apa saja yang ingin ia kerjakan, aku mengikutinya.

Saat ia duduk di kursi kesukaannya untuk membaca koran, aku berada di dekatnya. Sehabis makan malam, setelah piring dan gelas disingkirkan dari meja makan, Ayah akan mencucinya, aku yang mengeringkannya. Aku tahu selama aku berada di dekatnya tak akan ada yang menyakitiku.

Suatu hari, sebelum Ayah berangkat kerja, aku menerima kejutan yang menakutkan. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Ron dan Stan,Ayah berlutut, memegang erat bahuku dan berpesan padaku agar aku menjadi "anak baik".

lbu berdiri di belakangnya, berlipat tangan, dan diwajahnya ada senyuman tipis. Aku memandang mata Ayah dan langsung tahu bahwa aku adalah "anak nakal". Ada rasa menggigil tiba-tiba menjalari seluruh tubuhku. Ingin rasanya aku menahan Ayah agar tidak pergi kemana-mana selamanya. Namun sebelum aku sempat memeluknya, Ayah berdiri,berbalik dan keluar, tanpa berkata apa-apa lagi.

Selama waktu yang singkat sejak peringatan Ayah itu, suasana antara aku dan lbu tampaknya tenang-tenang saja. Kalau Ayah sedang di rumah, aku dan kedua saudaraku bermain di kamar kami atau di pekarangan, sampai sekitar jam tiga sore.

Pada jam itu biasanya Ibu menyetel televise sehingga kami bisa nonton film kartun. Bagi orangtuaku, jam tiga sore berarti "Happy Hour". Di meja dapur Ayah menaruh berbotol-botol minuman beralkohol beserta gelas-gelasnya yang cantik. Ia memotong lemon dan lime, menaruhnya di beberapa mangkuk kecil di samping mangkuk yang berisi buah-buah cherry.

Sering kali orangtuaku minum-minum sejak sore menjelang matahari terbenam sampai aku dan kedua kakakku naik ke tempat tidur. Aku ingat memperhatikan mereka berdansa di dapur diiringi music dari radio-mereka berpelukan, tampaknya begitu bahagia. Aku mengira aku bisa membuang masa sengsaraku. Aku keliru. Masa sengsaraku itu baru awal dari sesuatu yang lebih hebat lagi.

Satu atau dua bulan kemudian, pada hari Minggu, saat Ayah sedang bekerja, aku dan kedua kakakku sedang bermain di kamar kami ketika kami mendengar langkah-langkah lbu yang berat dan tergesa-gesa, dan berteriak kepada kami bertiga. Ron dan Stan langsung berlari menyelamatkan diri keruang keluarga, sedangkan aku langsung duduk di kursiku.

Dengan kedua tangannya terentang dan terangkat, lbu langsung mendatangiku. Ibu semakin dekat dan semakin dekat, sementara aku memundurkan kursiku sampai mepet ke tembok, sehingga kepalaku menempel di tembok. Mata lbu berkilat dan merah, napasnya berbau minuman keras.


Aku menutup mataku begitu pukulan Ibu bertubi-tubi menghantamku dari kiri kanan. Kucoba menggunakan tangan untuk melindungi wajahku, tapi Ibu dengan mudah menyingkirkannya. Pukulannya kurasakan seakan tak akan pernah berhenti.

Akhirnya kulingkarkan lengan kiriku untuk menutupi wajahku. Saat lbu berusaha menarik lenganku, ia kehilangan. Keseimbangan dan terhuyung ke belakang, sementara tangannya masih mencengkeram lengan kiriku. lbu berusaha agar tidak jatuh sehingga lengan kiriku tertarik keras.

Saat itulah kudengar suara gemeretak, lalu aku merasa sangat kesakitan. pada bahu dan lenganku. Ibu tampak tertegun, dan dari raut wajahnya aku tahu bahwa ia pun mendengar bunyi yang kudengar.

Namun, ia begitu saja melepaskan cengkeramannya dari lengan kiriku, berbalik, lalu pergi begitu saja seakan tidak terjadi apa-apa. Perlahan-lahan kucoba menggerakkan lengan kiriku. Rasa sakitnya tak tertahankan. Belum sempat aku tahu persis apa yang terjadi dengan lengan kiriku, Ibu sudah memanggil untuk makan malam.

Langkahku terasa berat, berpegangan pada rak TV, mencoba untuk makan. Ketika mau mengambil gelas susu, lengan kiriku tak bisa digerakkan sama sekali. Tanpa diperintah, jemariku bergerak-gerak sendiri, sementara lenganku lunglai seakan mati. Aku memandang Ibu, mencoba meminta perhatiannya melalui mataku.

la mengabaikanku. Aku tahu ada sesuatu yang betul-betul tidak beres, tapi aku terlalu takut untuk mengeluarkan suara. Jadi, aku duduk saja di situ, memandangi makananku. Akhirnya lbu membolehkan aku mundur dari meja makan dan menyuruhku tidur lebih awal,sekaligus menyuruhku untuk tidur di kasur atas. Itu di luar kebiasaan karena biasanya aku tidur di kasur bawah. Menjelang pagi baru aku bisa tidur, dengan tangan kananku "menjagai" lengan kiriku yang sakit.

Belum lagi lama tidurku, Ibu membangunkan aku, lalu menjelaskan bahwa aku tidur terlalu ke pinggir sehingga jatuh dari kasur atas di malam hari. Kelihatannya ia begitu prihatin akan keadaanku, sebab ia membawaku ke rumah sakit. Ketika lbu menceritakan peristiwa jatuhnya aku dari kasur atas kepada dokter yang memeriksaku, dari pandangan mata sang dokter aku berpendapat dokter itu tahu bahwa sakitku itu bukan karena kecelakaan.

Dan aku lagi-lagi tidak berani berkata apa-apa. Di rumah,ketika menceritakan peristiwa itu kepada Ayah, bualan lbu semakin hebat. Dalam bualannya yang semakin hebat itu, lbu menambahkan usahanya untuk menangkap badanku sebelum menyentuh lantai.

Saat Aku duduk di pangkuan lbu sambil mendengarkan ia menceritakan bualannya yang semakin hebat itu kepada Ayah, Aku berkesimpulan bahwa ibuku "sakit". Rasa takut dalam dirikulah yang menjadikan peristiwa yang sebenarnya tetap rahasia diantara Ibu dan aku. Aku tahu kalau kuceritakan rahasia itu kepada orang lain, "kecelakaan" berikutnya pasti lebih parah.

Bagiku, sekolah adalah kesempatanku untuk bersenang-senang. Aku bersuka cita bisa berada jauh dari Ibu. Saat istirahat, aku bagai orang liar. Sekencang mungkin aku berlari ke tempat bermain, mencari-cari permainan baru yang menantang. Aku mudah bergaul, betapa senangnya aku di sekolah. Suatu hari di akhir musim semi, saat aku pulang dari sekolah, Ibu menyeretku ke kamar tidurnya.

Dengan berteriak ia berkata padaku bahwa aku harus tinggal kelas karena aku anak nakal. Aku tak mengerti. Hasil ulanganku selalu lebih bagus daripada teman-teman lain sekelas. Aku menurut pada ibu guru dan aku merasa ia menyukaiku. Tetapi lbu tetap berkeras bahwa aku telah mempermalukan keluarga dan harus dihukum berat.


lbu melarang aku menonton televisi selamanya. Aku tidak diberi makan malam dan harus mengerjakan pekerjaan apa pun yang muncul di kepala lbu. Setelah menerima pukulan-pukulan sebagai hukuman, aku disuruh turun kegarasi, berdiri di sana sampai lbu memanggil untuk tidur.

Pada musim panas tahun itu, dalam perjalanan menuju tempat berkemah,tanpa tanda-tanda sebelumnya, aku ditinggal di rumah Bibi Josie. Tak seorang pun memberitahuku mengenai hal itu, dan aku pun tak tahu alasannya. Saat menyaksikan station wagon kami pergi meninggalkanku, aku merasa sendirian dan terusir.

Aku sedih dan merasa hampa. Aku berusaha lari dari rumah bibiku. Aku ingin mencari keluargaku, dan, karena alas an yang agak ganjil, aku ingin bersama lbu. Usahaku melarikan diri gagal,dan laporan mengenai usahaku itu disampaikan oleh Bibi kepada lbu. Saat Ayah mendapat giliran kerja, aku harus membayar dosaku itu.

Ibu menampar, menonjok, dan menendangku sampai aku merangkak di lantai. Aku mencoba mengatakan kepada lbu bahwa aku melarikan diri karena aku ingin bersamanya dan keluarga.

Aku mencoba mengatakan padanya bahwa aku merindukannya, tapi lbu tidak mengizinkan aku berbicara. Aku mencoba mengatakannya sekali lagi, tapi lbu bergegas ke kamar mandi, mengambil sebatang sabun, lalu menjejalkannya ke mulutkku. Setelah itu, aku tidak lagi boleh berbicara kecuali disuruh untuk berbicara.

Masuk kembali ke kelas satu sungguh menyenangkan.aku menguasai semua pelajarannya, sehingga dengan cepat aku dikenal sebagai murid yang pandai. Karena kelasku diturunkan, Stan dan aku setingkat. Saat istirahat, aku menghampiri Stan di kelasnya, lalu mengajaknya bermain. Di sekolah, kami berdua adalah sahabat; tetapi di rumah, kami berdua tau bahwa aku harus dianggap tidak ada.

Suatu hari aku bergegas masuk rumah untuk memamerkan hasil ulanganku. lbu malah menyeretku masuk kamarnya, sambil membentak-bentak tentang sebuah surat yang ia terima dari Kutub Utara. katanya, surat itu menyebutkan bahwa aku adalah "anak nakal" dan Santa tidak akan memberiku hadiah pada hari Natal.

Terus-menerus Ibu mengomel, katanya aku lagi-lagi membuat malu keluarga. Aku berdiri dalam kebingungan,sementara lbu tak henti-hentinya menuding-nudingku. Rasanya aku hidup dalam mimpi buruk yang diciptakan lbu, dan aku berdoa agar Ibu terbangun. Sehari sebelum Natal tahun itu hanya ada dua bungkus hadiah untukku di bawah pohon Natal, dari saudara jauh.

Pagi hari Natal Stan memberanikan diri bertanya pada lbu mengapa Santa hanya membawa dua bungkus hadiah mainan menggambar untukku. Dengan gaya seorang guru, lbu menjelaskan kepada Stan bahwa "Santa hanya membawa hadiah bagi anak-anak lelaki dan perempuan yang baik".

Aku mencuri pandang ke arah Stan. Matanya menunjukkan rasa sedih, dan aku yakin bahwa ia tahu akal-akalan lbu yang ganjil. Karena masih harus menjalani hukuman, pada hari Natal aku tetap diharuskan mengerjakan bermacam-macam pekerjaan rumah dengan pakaian yang biasa kupakai kerja.

Sewaktu membersihkan kamar mandi, aku mendengar lbu dan Ayah bertengkar. Ibu marah kepada Ayah karena Ayah "diam - diam tanpa sepengetahuan lbu" membelikan mainan untukku. Ibu berkata kepada Ayah bahwa dialah yang berwenang mendisiplinkan "anak itu", dan bahwa Ayah telah menggerogoti kekuasaan lbu dengan membelikan hadiah untukku. Semakin panjang Ayah menjelaskan maksudnya, semakin marah lbu. Aku yakin Ayah kalah, maka aku pun semakin sendirian.

Beberapa bulan kemudian lbu ditunjuk menjadi pembimbing Pramuka Siaga. Setiap kali anak-anak Pramuka Siaga datang ke rumah kami, lbu memperlakukan mereka seperti raja. Beberapa dari anak-anak itu berkata padaku betapa inginnya mereka punya lbu seperti lbuku. Aku tak pernah menanggapinya.

Aku hanya bertanya-tanya dalam hati apa kira-kira pendapat mereka bila mengetahui yang sebenarnya tentang lbu. Hanya beberapa bulan saja lbu menjabat sebagai pembimbing. Betapa lega aku ketika lbu menyerahkan jabatan itu, sebab itu berarti aku bisa datang kerumah anak-anak lain dalam rapat setiap hari Rabu.

Pada suatu hari Rabu sepulang sekolah, aku mengganti pakaianku dengan seragam Pramuka. Pada saat itu hanya Ibu dan aku yang ada di rumah, dan dari raut wajahnya aku tahu lbu sedang "kumat". Setelah membenturkan wajahku ke cermin di kamar, lbu mencengkeram lenganku dan menyeretku kemobil.

Dalam perjalanan ke rumah ibu pembimbing pramuka, lbu memberitahuku apa yang akan ia lakukan terhadapku sesampai kami dirumah. Saking takutnya, aku menjauhkan diriku dari lbu ke pojok kursi depan mobil, tapi sia-sia. lbu menggapaikan tangannya lalu menyentakkan daguku, mengangkat kepalaku sampai wajahku menghadap wajahnya.

Matanya merah dan suaranya mirip suara orang kerasukan. Ketika kami sampai dirumah ibu pembimbing pramuka, aku berlari ke pintu rumahnya sambil menangis. Sambil tersedu aku berkata kepada ibu itu bahwa aku telah berlaku nakal sehingga tidak diizinkan mengikuti pertemuan Pramuka hari itu. lbu pembimbing itu tersenyum ramah, sambil berkata bahwa ia berharap aku bisa datang ke pertemuan Rabu berikutnya. Dan itulah terakhir kali aku bertemu dengannya.

Begitu sampai di rumah lbu langsung menyuruhku membuka baju dan berdiri di dekat kompor di dapur. Aku menggeleng karena rasa takut bercampur malu. Kemudian Ibu membuka "kejahatan" yang telah kulakukan. lbu berkata bahwa sering kali ia merasa terdorong pergi ke sekolah untuk menyaksikan aku dan saudara-saudaraku bermain pada jam istirahat makan siang. Lbu mengaku melihat aku pada hari itu bermain di rumput, dan itu dilarang keras oleh peraturan yang ia buat.

Cepat-cepat aku menjawab bahwa aku tidak pernah bermain di rumput. Bagaimanapun aku tahu bahwa lbu keliru. Sebagai imbalan atas pelanggaran yang kulakukan terhadap peraturannya dan mengatakan yang sesungguhnya adalah sebuah pukulan keras di wajahku.

Kemudian lbu menyalakan api kompor, sambil berkata bahwa ia pernah membaca sebuah artikel tentang seorang ibu yang menaruh anak lelakinya di atas kompor yang menyala. Aku langsung merasa ngeri. Otakku tak bekerja, aku merasa limbung. Ingin rasanya aku menghilang. Kupejamkan mataku, sambil berharap lbu pergi. Otakku sama sekali mampet ketika aku merasakan tangan lbu memiting lenganku, sebuah cengkeraman yang amat kuat.

"Kau membuat hidupku seperti di neraka!" katanya mencemooh. "Kini saatnya kutunjukkan padamu apa itu neraka!" Dengan mencengkeram kuat lenganku, lbu meletakkannya di atas api yang berwarna biru-jingga. Akibat panasnya api, aku merasa kulitku merekah. Tercium olehku bulu-bulu lenganku yang terbakar.

Sehebat apa pun perlawanan yang kuberikan, aku tak mampu melepaskan lenganku dari cengkeraman Ibu. Akhirnya aku jatuh ke lantai, di atas tangan dan lututku, sambil mencoba meniupkan udara dingin ke lenganku yang terbakar. "Sayang sekali ayahmu yang pemabuk itu tidak di rumah sehingga tidak bisa menyelamatkanmu",desisnya.

Kemudian lbu menyuruhku naik ke atas kompor dan berbaring diatas api sehingga ia bisa menyaksikan tubuhku terbakar. Aku menolak,sambil menangis dan mengiba-iba. Aku begitu ketakutan sampai-sampai kuentak-entakkan kakiku sebagai tanda protes. Tetapi lbu tetap memaksaku untuk naik ke atas kompor. Kutatap api kompor, sambil berdoa agar api itu mati karena kehabisan gas.

Tiba-tiba aku sadar bahwa semakin lama aku bisa mengelakkan paksaan untuk berbaring di atas api kompor, semakin besar peluangku untuk tetap hidup. Aku tahu sebentar lagi kakakku, Ron, pulang dari pertemuan Pramuka, dan aku tahu lbu tidak akan pernah berlaku ganjil seperti ini kalau Ada orang lain di rumah.

Aku harus memperpanjang waktu agar bias bertahan hidup. Kulirik jam pada dinding dapur di belakangku. Jarum panjangnya terasa bergerak lamban sekali. Agrr perhatian lbu terpecah,aku mulai bertanya secara lembut. Kelakuanku itu membuat lbu bertambah murka, dan ia mulai menghujani pukulan ke kepala serta dadaku. Semakin membabi buta Ibu memukuliku, semakin aku sadar bahwa aku menang! Apa pun boleh, asal jangan dibakar di atas kompor.

Akhirnya kudengar pintu depan dibuka orang. Ron pulang. Betapa lega aku. Darah yang menjalari urat-urat wajah lbu menyurut. la tahu ia kalah. Untuk sejenak, lbu berdiri kaku. Kumanfaatkan saat yang sempit itu untuk menyambar bajuku lalu berlari cepat ke basement--di situ aku cepat-cepat mengenakan kembali bajuku.

Aku berdiri bersandar ke dinding. Aku terisak, namun segera kusadari bahwa aku telah mengalahkan lbu. Aku telah berhasil mengulur waktu yang sangat berharga. Aku telah menggunakan otakku untuk bertahan hidup. Untuk pertama kalinya aku menang!

Saat berdiri sendirian di basement yang gelap dan lembab ittu,untuk pertama kalinya kusadari bahwa aku mampu bertahan hidup. Sejak saat itu kuputuskan untuk menggunakan taktik apa pun yang sempat terlintas dalam pikiran untuk mengalahkan lbu atau menunda obsesinya yang liar.

Aku sadar bila aku ingin tetap hidup, aku harus berpikir ke depan. Tak mungkin lagi aku menangis seperti bayi yang tak berdaya. Agar tetap hidup, aku tak pernah boleh menyerah. Hari itu aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tak akan pernah lagi satu kali pun memberi perempuan jahat itu kepuasan menikmati suaraku yang memohonnya untuk berhenti memukuliku.

Dalam suasana dingin di basement itu, seluruh tubuhku menggigil karena rasa marah sekaligus karena rasa takut yang amat sangat. Kujilati luka bakarku agar rasa sakit di lenganku berkurang. Ingin rasanya aku berteriak, tapi aku berkeras hati untuk tidak memberi lbu kenikmatan mendengarkan tangisku. Aku berdiri tegar. Bisa kudengar lbu berkata kepada Ron bahwa betapa bangganya ia terhadap Ron, dan betapa ia tidak perlu khawatir sama sekali bahwa Ron akan menjadi seperti David-si anak nakal.



Indo community

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback