(true story)
2. Masa-Masa Bahagia
Tahun-tahun sebelum aku mengalami perlakuan buruk, keluargaku adalah keluarga kulit putih ideal, layaknya kisah keluarga Brady Bunch di tahun 1960-an. Aku dan kedua saudara lelakiku. dikaruniai orangtua yang sempurna. Segala kebutuhan kami selalu terpenuhi dengan rasa cinta dan perhatian.
Kami tinggal di sebuah rumah yang biasa-biasa saja, dengan dua kamar tidur, di sebuah kawasan hunian yang "baik" di Daly City. Aku ingat setiap kali memandang ke luar dari bay window-jendela tiga sisi yang dibuat agak menjorok keluar dari dinding rumah-ruang keluarga pada Onat cuaca cerah, akan terlihat jelas tiang-tiang jembatan Golden Gate berwarna orange dan skyline San Francisco yang cantik.
Ayahku, Stephen joseph, adalah petugas pemadam kehakaran. Kantomya di jantung kota San Francisco. Tinggi badannya hampir 1,8 meter, beratnya sekitar 86 kilogram. Bahunya lebar dan lengannya besar-bentuk badan idaman pria pada umumnya. Alis matanya yang hitam tebal sepadan dengan rambutnya. Aku merasa jadi anak istimewa ketika ia memandangiku dengan bangga dan memanggilku "Tiger".
Ibuku, Catherine Roerva, berperawakan dan berpenampilan biasa-biasa saja. Aku tidak bisa mengingat warna mata atau rambutnya, tapi Ibu adalah perempuan yang sangat mencintai anak-anaknya. Daya hidupnya yang terbesar adalah tekadnya yang keras.
Ibu selalu punya banyak gagasan, dan dialah yang selalu mengarahkan sekaligus memutuskan segala urusan keluarga. Pernah, ketika umurku empat atau lima tahun, Ibu berkata bahwa ia sakit, dan aku ingat pada saat itu aku punya perasaan bahwa Ibu kelihatannya bukan dirinya sendiri.
Hari itu Ayah sedang pergi kerja. Setelah menyiapkan makan malam, tiba-tiba Ibu meninggalkan ruang makan dan dengan tergesa-gesa mengecat anak tangga menuju garasi. Ia batuk-batuk saat ia dengan paniknya mengoleskan cat merah pada setiap anak tangga. Belum, lagi cat itu kering, Ibu sudah memasangkan karpet karet pada anak tangga.
Karpet karet dan tubuh Ibu jadi berlepotan cat merah. Setelah selesai dengan kegiatannya itu, Ibu masuk ke rumah dan langsung rebah di sofa. Aku ingat, ketika itu aku bertanya pada Ibu mengapa ia memasangkan karpet karet pada anak tangga padahal catnya belum kering. Ibu tersenyum dan menjawab, "Aku cuma ingin membuat kejutan buat Ayahmu."
Dalam urusan berbenah rumah, Ibu adalah biangnya kebersihan. Setiap kali selesai sarapan bersama kedua saudaraku, Ronald dan Stan, serta aku, Ibu selalu melancarkan segala bentuk aksi pembersihan-menebah,nebah untuk membersihkan debu, menyedot debu dengan vakum, mengelap, termasuk membersihkan kuman dengan disinfektan.
Tak satu pun ruang di rumah kami bebas dari aksinya itu. Ketika anak-anaknya bertambah besar, Ibu tak pernah lupa mengajak kami dalam aksi pembersihan itu dengan mengingatkan kami untuk menjaga kebersihan serta kerapian kamar kami.
Di halaman luar, Ibu punya kebun bunga kecil yang membuat para tetangga iri sebab Ibu merawatnya dengan sangat telaten. Rasanya, apa pun yang disentuh Ibu akan berubah jadi emas.
la tak percaya akan keberhasilan yang dicapai dengan bekerja setengah-setengah. Berkali-kali Ibu menasehati kami agar kami selalu melakukan yang terbaik, apa pun yang sedang kami kerjakan.
Ibu sungguh berbakat memasak. Menurutku, menciptakan menu masakan yang baru dan eksotis adalah hal yang paling ia nikmati di antara sekian banyak hal yang ia lakukan bagi keluarga. Apalagi setiap Ayah ada di rumah, Ibu pasti membuktikan bakat memasaknya itu-ia menggunakan waktunya yang paling pas untuk memasak menu ciptaannya yang Iezat.
Pada hari-hari ketika Ayah bertugas, biasanya Ibu mengajak kami berjalan-jalan menikmati keramaian kota. Pada suatu hari ia mengajak kami ke Chinatown di San Francisco. Sambil berkendaraan berkeliling wilayah itu, Ibu bercerita mengenai kebiasaan serta sejarah orang-orang Cina. Sesampai di rumah, Ibu memutar musik berirama Cina yang indah.
Lalu ia menciptakan suasana berbau Cina di ruang Makan, antara lain dengan memasang beberapa lampion. Malam hari itu la mengenakan kimono dan menyajikan masakan yang bagi kami kelihatannya agak aneh namun ternyata Iezat rasanya. Di akhir makan malam hari itu Ibu memberi kami kue keberuntungan dan membacakan tulisan yang ada di bungkus kue itu.
Waktu itu aku merasa bahwa pesan yang ada di kue-kue itu pasti menuntunku ke masa depanku. Beberapa tahun kemudian, ketika aku pandai membaca dan mengerti yang aku baca, aku menemukan salah satu bungkus kue yang dulu tulisannya dibacakan Ibu untukku. Tulisan itu berbunyi, "Cintai dan hormati Ibumu, sebab dialah buah yang memberimu kehidupan".
Dulu kami punya banyak binatang peliharaan-ada kucing, arijing, ikan di dalam akuarium, dan seekor kura-kura bernama "Thor". Aku paling ingat kura-kura itu sebab Ibu membolehkanku untuk memberinya nama.
Aku merasa bangga sebab kedua saudaraku sudah dibolehkan memberi nama kepada binatang-binatang peliharaan kami yang lain, dan aku pun mendapat gitiran untuk memberi nama. Nama Thor aku ambil dari nama tokoh kartun kesukaanku.
Beberapa akuarium dengan ukuran berbeda ada di hampir sernua ruangan rumah kami. Di ruang keluarga saja paling tidak ada dua, lalu satu lagi yang berisi ikan gupi ditaruh di kamar kami. Ibu sungguh kreatif.
la menghiasi semua akuarium dengan batu-batuan warna-warni, sehingga akuarium itu tampak seperti rumah ikan sungguhan. Sering kami duduk di sekeliling akuarium sambil mendengarkan Ibu menjelaskan berbagai jenis ikan.
Pelajaran paling mengagumkan yang diberikan oleh -Ibu terjadi pada suatu hari Minggu sore. Salah satu kucing kami bertingkah aneh waktu itu. Ibu menyuruh kami duduk di dekat kucing itu, sementara ia menjelaskan proses melahirkan.
Setelah sernua anak kucing dilahirkan dengan selamat, Ibu lalu menjelaskan dengan sangat teliti betapa ajaibnya kehidupan ini. Dalam suasana keluarga yang bagaimanapun, Ibu, dengan caranya sendiri, memberi kami pelajaran yang sangat berguna, sekalipun kami hampir tidak pernah menyadari bahwa kami sedang diberi pengetahuan.
Selama masa bahagia itu, keluarga kami selalu memulai rnusim liburan sejak Halloween. Pada suatu malam musim gugur di bulan Oktober, saat bulan purnama, Ibu cepat cepat mengajak kami keluar rumah untuk mengamati "Buah Labu Raksasa" di langit.
Ketika kami kembali naik ke tempat tidur, Ibu menyuruh kami mengintip ke bawah bantal kami masing-masing-dan situ kami menemukan mobil balap mainan Matchbox. Aku dan saudara lelakiku serentak bersorak girang, sementara wajah Ibu menampakkan rasa puas.
Sehari setelah Thanksgiving, Ibu selalu masuk ke ruangan bawah, lalu naik lagi dengan membawa sejumlah kardus besar berisi beragam hiasan Natal. Dengan bantuan tangga, Ibu menggantungkan untaian-untaian hiasan pada kayu kayu di langit-langit rumah.
Setelah Ibu selesai dengan kesibukannya itu, setiap ruang di rumah kami menjadi penuh dengan suasana liburan. Di ruang makan Ibu menata letak Iilin-lilin merah berbagai ukuran.
Butiran-butiran salju jatuh dan menumpuk, membentuk berbagai pola yang menambah cantik setiap jendela di ruang keluarga dan ruang makan. Untaian lampu lampu Natal ikut menghiasi jendela-jendela kamar tidur kami. Setiap malam aku jatuh tertidur saat memandangi warna-wami lampu Natal yang berkelap-kelip tersebut.
Tinggi pohon Natal kami tidak pernah kurang dari dua setengah meter, dan semua anggota keluarga meluangkan wakru seharian untuk menghiasinya. Setiap tahun, salah satu di antara kami memperoleh kehormatan menaruh hiasan malaikat di puncak pohon Natal itu, sementara Ayah mengangkat badan kami dengan tangannya yang kuat.
Setelah selesai menghias pohon Natal dan makan malam, kami masuk ke station wagon kami dan duduk berdesak-desakan dengan riang gembira, lalu berkeliling di sekitar perumahan untuk melihat-lihat dekorasi Natal yang menghiasi rumah-rumah tetangga kami.
Pada saat seperti itu Ibu berulang kali mengucapkan keinginannya untuk memiliki segala sesuatu yang lebih besar dan lebih bagus pada Natal tahun berikutnya, sekalipun kedua kakakku dan aku yakin bahwa hiasan Natal di rumah kami selalu yang paling bagus.
Sampai di rumah kembali, lbu mendudukkan kami dekat perapian untuk menikmati egg nog. Selama ia menceritakan kepada kami beberapa kisah, stereo set di rumah kami memutar lagu "White Christmas" yang dinyanyikan Bing Crosby.
Aku begitu gembira selama musim liburan sehingga rasanya tidak mau tidur. Kadang kala Ibu menggendong aku agar tidur. Sebelum terlelap, suara yang kudengar hanyalah kayu yang meredh terbakar di perapian.
Hari Natal semakin dekat. Aku dan kedua saudaraku semakin riang gembira. Tumpukan hadiah di bawah pohon Natal semakin hari semakin tinggi. Ketika hari Natal tiba, kami masing-masing mendapat banyak hadiah.
Pada malam Natal, setelah menyantap makan malam yang istimewa dan menyanyikan beberapa lagu Natal, kami diizinkan membuka satu saja hadiah yang kami terima. Setelah itu kami disuruh tidur.
Di tempat tidur, aku selalu memasang telinga dengan harapan bisa mendengar suara bel bel kereta es Santa. Tetapi aku selalu terlelap sebelum sempat mendengar suara rusa kutub penarik kereta es Santa mendarat di atap rumah.
Sebelum fajar, lbu berjingkat-iingkat masuk kamar dan membangunkan kami sambil berbisik, bangun, Santa datang!" Pemah pada suatu Natal, Ibu memberi kami masing masing sebuah topi plastik Tonka berwarna kuning, lalu menyuruh kami berbaris menuju ruang keluarga.
Kami tak sabar menyobeki kertas warna-warni agar bisa membuka kotak untuk akhimya menemukan bermacam-macam mainan baru. Setelah itu Ibu menyuruh kami, yang sudah mengenakan jubah kamar yang baru, ke halaman belakang untuk memandangi pohon Natal kami yang tampak besar dari balik jendela.
Tahun itu, saat berdiri di halaman belakang itu, aku ingat melihat Ibu menangis. Aku bertanya pada Ibu, mengapa ia bersedih. Ibu menjawab bahwa ia menangis karena ia merasa begitu bahagia memiliki keluarga yang sesungguhnya.
Karena pekerjaan Ayah sering menuntutnya untuk bekerja 24 jam, Ibu sering mengajak kami seharian berkeliling ke tempat-tempat yang tidak jauh seperti Golden Gate Park di San Francisco. Saat berkeliling taman itu, Ibu menjelaskan mengapa daerah-daerah itu sedemikian berbeda dengan daerah-daerah lain, dan sering juga Ibu mengungkapkan keinginannya untuk memiliki bunga-bunga yang cantik di situ.
Taman Steinhart Aquarium selalu kami kunjungi paling akhir. aku dan kedua saudaraku senang sekali menaiki anak anak tangga yang ada di situ dan mendorong sekuat tenaga pintu-pintunya yang berat.
Kami merasa amat gembira saat sampai di bagian atas, lalu bersandar pada pagar penyangga dari kuningan yang dibuat berbentuk kuda laut, dan jauh di bawah sana kami bisa melihat kolarn dengan air terjun kecil yang dijadikan tempat tinggal bagi beberapa aligator dan kura kura besar.
Sebagai anak kecil, inilah tempat yang paling kusukai di taman ini. Pernah aku merasa takut karena aku berandai-andai terlolos dari pagar penyangga itu Ialu jatuh ke kolam. Walaupun tidak berkata apa-apa, aku yakin Ibu merasakan ketakutanku itu. Ia melihat padaku, Ialu menggenggam tanganku dengan lembut, dan itu membuatku merasa aman.
Bagi kami, musim semi berarti piknik. Malam hari menjelang piknik esok harinya, Ibu selalu menyiapkan bekal makanan istimewa yang terdiri dari ayam goreng, salad, roti isi, dan makanan penutup. Pagi-pagi sekali kami sekeluarga berangkat ke junipero Serra Pak. S
esampai di sana aku dan kedua kakakku berlarian dengan amat girang, sebebas bebasnya, di hamparan rumput yang luas. Lalu kami bermain ayunan-berayun-ayun setinggi mungkin. Kadang kala kami mengambil risiko memasuki tempat-tempat yang belum pernah kami jelajahi di taman itu.
Kalau kami sudah bermain main seperti itu, Ibu selalu kesulitan mencari-cari serta menggiring kami untuk makan siang. Sambil bermain, aku memperhatikan orang tuaku yang tampak bahagia. Mereka berbaring bersisian di atas tikar, meneguk anggur merah, sambil memperhatikan kami bermain.
Liburan keluarga setiap musim panas selalu membuatku tegang karena rasa girang. Ibulah yang selalu menentukan semua acara yang akan kami lakukan pada setiap liburan musim panas. Segala sesuatunya ia rencanakan dengan matang, dan ia selalu puas karena semua acara yang ia rancang sukses.
Yang biasa menjadi tempat tujuan liburan musim panas kami adalah Portola atau Memorial Park. Di sana kami berkemah sekitar satu minggu. Kemah kami sangat besar dan berwarna hijau. Di seluruh dunia, tempat yang paling aku senangi adalah Russian River-setiap kali Ayah mengajak kami bermobil ke arah utara, menyeberangi jembatan Golden Gate, aku tahu kami sedang menuju tempat favoritku itu.
Perjalanan ke sungai itu yang paling mengesankan bagiku terjadi saat aku masih di taman kanak-kanak. Pada hari terakhir sekolah menjelang liburan, Ibu meminta kepala sekolah untuk mengizinkan aku pulang lebih awal.
Begitu kudengar bunyi klakson mobil ayahku, aku berlari sangat kencang mendaki sebuah bukit kecil, lalu turun menuju mobil kami yang sudah menunggu di situ. Aku gembira sekali sebab aku tahu tujuan kami ke mana.
Dalam perjalanan itu aku sangat takjub melihat hamparan ladang anggur yang seakan tak habis-habisnya. Saat kendaraan kami memasuki kota Guerneville yang sunyi, kuturunkan kaca jendela agar aku bisa menghirup udara yang dipenuhi aroma pepohonan redwood yang tumbuh di sana.
Setiap hari adalah petualangan baru. Sepanjang hari, kami bertiga mengenakan sepatu bot khusus untuk memanjat sisa sebatang pohon tua besar yang mati karena terbakar, atau berenang di sungai di Johnson's Beach.
Biasanya kami meninggalkan kabin pukul sembilan pagi, dan kembali setelah jam tiga sore. Ibu mengajari kami berenang di ceruk kecil di sungai itu. Pada liburan musim panas itu Ibu mengajariku berenang gaya punggung. Ketika aku menunjukkan bahwa Aku bisa melakukannya, Ibu tampak sangat senang.
Selama liburan itu setiap hari rasanya menakjubkan. Suatu hari, setelah makan malam, Ibu dan Ayah mengajak kami bertiga menikmati saat saat matahari terbenam. Kami berlima bergandengan tangan saat melewati kabin Mr Parker, menuju ke sungai.
Air sungai itu yang berwarna hijau tampak selicin kaca. Kawanan burung bluejay, sejenis gagak,beterbangan - angin kepakan sayap sayap mereka terasa di rarnbutku. Tanpa berkata kata, kami berdiri menyaksikan matahari yang bagaikan bola api sedikit derni sedikit tenggelam di balik pepohonan Yang tinggi, meninggalkan atur-alur tipis berwarna biru terang bercampur jingga tua di langit. Terasa ada yang merangkul bahuku.
Aku mengira itu ayahku. Aku menoleh, Ialu diam diam merasa bangga-ternyata Ibulah yang merangkulku dengan eratnya. Aku bisa merasakan detak jantungnya. Itulah satu-satunya saat dalam hidupku ketika aku merasa begitu aman dan begitu hangat, di Russian River.
________________________________________________
Indo community
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
11 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback