Penulis: Gede Prama
Tidak semua orang suka memelihara taman. Baik karena tidak hobi, ongkosnya mahal, tidak punya waktu sampai dengan tidak bisa. Yang jelas, mata siapapun akan terasa lebih teduh kalau sempat melihat taman indah yang tertata rapi. Ada pohon yang hijau tergunting dan tertata rapi. Ada bunga warna-warni yang membentang seperti warna-warna pelangi yang indah dan menyentuh. Lebih-lebih kalau rangkaian bunga dan pohon ini diatur apik oleh tangan-tangan cekatan yang bersahabat sekali dengan alam. Jadilah taman demikian seperti surga bagi banyak mata.
Lebih-lebih bagi mata yang peka akan suara dan rintihan alam. Sedikit saja ada perubahan pada daun, bunga, rumput, batang, tanah dan unsur taman lainnya, langsung terasa ada rasa yang lain. Sehingga, setiap taman sebenarnya pencerminan dari kepekaan pemilik dan pengelolanya. Dengan kepekaan yang cukup, setiap taman itu hidup dan tumbuh bersama alam sekitarnya. Tanpa kepekaan yang memadai, taman hanya bagus ketika pertama kali dibangun, beberapa bulan kemudian jadilah dia kumpulan batang-batang kering yang tidak bernyawa.
Dalam bingkai-bingkai keheningan seperti ini, banyaknya taman indah yang tertata rapi di sebuah tempat, sebenarnya pencerminan dari kepekaan orang-orang di tempat itu. Di tempat di mana manusia peka dengan suara-suara alam, tidak ada keusilan untuk memetik bunga. Tidak ada perilaku sembarangan untuk menebang pohon. Tidak ada tangan yang demikian mudahnya membuang sampah bukan pada tempatnya. Apa lagi perilaku membabi buta menginjak-injak taman.
Entah ada hubungannya atau tidak, di tempat-tempat di mana perilaku manusianya lebih beradab, taman-taman hadir dengan wajah-wajah yang amat artistik dan tertata rapi. Sebut saja di Inggris dan Prancis. Di kota Lancaster tempat saya lama tinggal, lebih-lebih Universitasnya yang dikelilingi taman dan kolam tempat bebek berenang. Di luar bangunan, hamper semuanya hamparan warna hijau rumput dan pohon yang diselingi oleh warna-warna bunga yang menyentuh hati. Di kota Fontainebleau Prancis juga serupa, ada pojokan taman dan kolam yang bisa membuat mata tinggal berlama-lama di tempat seperti itu.
Namun, sejalan dengan berkembang pesatnya pembangunan semakin sedikit saja ruangan yang tersedia bagi hadirnya taman. Untuk kemudian digantikan dengan gedung-gedung beton yang kaku dan impersonal. Sekali lagi, belum bisa dibuktikan ada hubungannya atau tidak, di tempat-tempat di mana hamper semua ruangnya dihuni beton-beton kaku dan impersonal, di tempat itu juga tumbuh manusia-manusia dengan perilaku yang juga impersonal dan kaku.
Berbeda dengan Jakarta di mana jarang sekali ada orang yang memperhatikan nasib dan hidup orang lain, di daerah-daerah yang jauh dari suasana metropolis, orang mudah dan murah sekali melempar senyuman dan sapaan. Dikota kecil Lancaster mudah sekali orang mengucapkan selamat pagi lengkap dengan senyumannya.
Di kota-kota kecil Indonesia juga serupa. Bukittinggi dan Gianyar hanyalah sekadar contoh di mana keteduhan-keteduhan senyuman mudah sekali ditemukan secara murah meriah. Dan di kota kecil itu juga masih ditemukan hamparan-hamparan warna hijau taman yang juga menyentuh hati. Seperti sedang bertutur, di mana alam itu dipelihara dan dicintai, disitu tumbuh keteduhan-keteduhan yang menyejukkan.
Serupa dengan alam besar yang membutuhkan ruang-ruang taman, alam kecil di dalam sini sebenarnya juga membutuhkan taman. Dan seperti memiliki hubungan dengan alam besar yang semakin didominasi oleh beton-beton yang kaku,demikian juga banyak manusia di zaman modern ini. Kaku, impersonal, kering,tidak perduli adalah rangkaian cahaya muka yang semakin banyak beredar.
Dalam cahaya-cahaya keheningan seperti ini, tidak saja semesta yang memerlukan taman, alam kecil yang kita bawa ke mana-mana inipun memerlukan taman. Tidak jauh berbeda dengan taman yang sebenarnya, yang memerlukan bibit, lahan, air, pupuk yang memadai, demikian juga dengan taman di dalam diri.
Bibitnya memang terdiri dari banyak unsur. Dari kombinasi unik antara Ibu dan Bapak kita, pengalaman masa kecil, sampai dengan asal muasal pengetahuan yang menghuni diri ini secara kuat. Lahannya adalah rumah,tempat kerja, tempat bermain lengkap dengan dinamika interaksinya. Air dan pupuknya (demikian juga dengan gunting dan cangkulnya) adalah rangkaian hal yang kita lakukan dalam keseharian.
Bibit orang memang berbeda-beda. Akan tetapi, kita sama-sama memiliki kewajiban untuk mencarikan lahan yang mendukung, memupuknya, menyiraminya,menggemburkan tanah serta merapikannya dengan gunting. Sayangnya, melalui serangkaian keteledoran (seperti jarang bersyukur, mudah mengeluh,mengumbar kemarahan dan kebencian setiap hari), banyak orang yang menghancurkan bibitnya setiap hari.
Kalau kemudian wajah fisik maupun wajah sang hidup menjadi demikian kering kerontang, lebih disebabkan karena keteledoran kita sendiri. Bukanlah karena sang hidup menariknya ke wilayah-wilayah seperti itu. Belajar dari sini, semakin banyak orang yang menata lahan hidupnya serapi-rapinya. Jalannya memang berbagai macam, namun ada kesamaan-kesamaan yang layak dicermati.
Membingkai sang kehidupan dengan bingkai-bingkai syukur adalah sebuah gerakan yang berarus sangat besar. Beberapa sahabat bahkan mengemukakan, hidup siapapun sebenarnya sudah dan akan berjalan sempurna. Namun, ia berwajah serba kurang dan serba tidak cukup, karena sebagian manusia memperkosanya dengan keinginan dan nafsu yang tidak mengenal rasa syukur.
Bingkai kedua ? setelah bingkai syukur ? adalah bingkai-bingkai indifference. Dalam bingkai terakhir, manusia sudah mulai terbang tidak menggunakan pesawat dualitas (suka-duka, bahagia-duka, sukses-gagal). Melainkan telah diganti dengan pesawat-pesawat pelukan yang memeluk keduanya dalam kadar kemesraan yang sama.
Ketika sukses tersenyumlah,ketika gagal jangan lupa juga tersenyum karena sedang dibentuk kehidupan untuk menjadi dewasa. Tatkala bertemu suka cita peluklah, demikian juga bila bertemu duka cita, sebab duka citalah yang membuat suka cita kemudian datang dengan wajah yang jauh lebih menawan.
Dalam tubuh-tubuh manapun yang sudah dibingkai syukur dan indifference,sang hidup langsung berubah wajah menjadi taman tempat memendam rindu. Seperti seorang remaja yang merindukan kekasihnya, di mana semuanya kelihatan penuh keindahan, demikianlah mata sang hidup mulai menatap kehidupan. Indah, syukur dan penuh dengan berkah. Dari mulut kehidupan seperti itu kerap muncul sebuah kata sederhana : terimakasih !
Be more concerned with your character than your reputation,
because your character is what you really are,
while your reputation is merely what others think you are
***********************************************
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback