Pages

Sunday, December 6, 2009

Peringatan bagi yang suka goreng-gorengan

(info kesehatan) Berita Mengejutkan dari Universitas Stockholm
Purwiyatno Hariyadi
kompas/agus susanto


Alasan untuk Mengurangi Konsumsi Produk Gorengan
Anda sulit mengurangi konsumsi pangan gorengan? Sekarang, ada satu alasan lagi bagi Anda untuk mengurangi konsumsi pangan gorengan,yaitu alasan yang diberikan oleh peneliti dari Universitas Stockholm,Swedia.

Menurut laporan penelitian yang disampaikan dalam jumpa pers pekan lalu, ilmuwan Swedia melaporkan bahwa beberapa jenis pangan olahan yang disukai oleh kebanyakan penduduk dunia, ternyata diduga mempunyai kandungan senyawa yang bisa menyebabkan kanker (karsinogen) dalam jumlah yang tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Jurusan Kimia Lingkungan Universitas Stockholm bekerja sama dengan Badan Pengawas Makanan Nasional Swedia (The Swedish National Food Administration, NFA) menunjukkan bahwa proses pengolahan suhu sangat tinggi, yaitu proses pemanggangan dan penggorengan bahan pangan kaya karbohidrat-misalnya kentang-ternyata akan menyebabkan pembentukan akrilamida.

Masalahnya adalah bahwa akrilamida-yang secara kimia disebut juga 2-Propenamide; ethylene carboxamide; acrylic amide; atau vinyl amide-merupakan senyawa kimia yang dicurigai bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) pada manusia.

Dalam bentuk murninya, akrilamida yang mempunyai rumus kimia CH2CHCONH2 dan berat molekul 71 ini berupa senyawa tidak berwarna dan tidak berbau.

Secara keseluruhan, lebih dari 100 contoh makanan yang telah dianalisis NFA. Bahan pangan yang dianalisis meliputi rerotian,pasta, beras, ikan, sosis, daging (terutama daging sapi dan babi),biskuit, kukis, sereal sarapan, bir, dan beberapa makanan siap saji seperti pizza dan produk lainnya.

Hasil studi menunjukkan bahwa kandungan akrilamida dari produk pangan yang dianalisis menunjukkan nilai yang bervariasi. Namun demikian,diketahui bahwa keripik kentang (potato crisps) dan kentang goring (french fries) umumnya mengandung akrialmida dalam jumlah yang tinggi dibandingkan dengan jenis bahan pangan lainnya. Kandungan akrilamida rata-rata yang ditemukan di keripik kentang adalah sekitar 1.000 mikrogram/kg dan di kentang goreng sekitar 500 mikrogram/kg. (Lihat Tabel)

Dari studi itu juga dilaporkan bahwa bahan pangan yang tidak mengalami proses penggorengan atau pemanggangan ternyata hanya mengandung akrilamida dalam jumlah yang sangat sedikit sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, penelitian juga tidak mendeteksi adanya akrilamida pada produk pangan mentah atau produk pangan yang direbus atau dikukus.

Heboh?
Publikasi hasil studi ini saat ini menghebohkan seluruh dunia,laporan ini menyatakan bahwa beberapa bahan pangan yang telah mengalami pemanasan bisa mengandung akrilamida dalam jumlah yang tinggi. Jumlah kandungan akrilamida yang dilaporkan pada studi ini sangat tinggi, jauh dari dugaan banyak ahli.

Hal kedua yang juga menghebohkan adalah bahwa hasil kerja dari peneliti Swedia ini menunjukkan bahwa akrilamida ternyata terbentuk pada bahan pangan kaya karbohidrat yang diproses dengan suhu sangat tinggi.

Kedua hal ini sangat berbeda dengan dugaan umum para ahli sehingga sampai laporan studi ini dipublikasikan, belum jelas benar bagaimana mekanisme pembentukan akrilamida pada bahan pangan tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang mekanisme reaksi pembentukan akrilamida sehingga bisa dicari metode atau cara pengendaliannya supaya tidak terbentuk.

Kehebohan dari publikasi hasil penelitian yang mengagetkan ini banyak disikapi secara hati-hati oleh badan pengawas makanan di berbagai negara, termasuk WHO.

Badan pengawas makanan di Inggris (The UK Food Standards Agency) telah mengeluarkan pendapatnya (24 April 2002) yang menyatakan bahwa akrilamida belum pernah ditemukan dalam jumlah yang sedemikian tinggi di dalam bahan pangan, tetapi kita perlu mencermati hasil penelitian ini dengan serius dan perlu mengambil langkah-langkah investigasi lebih lanjut. Sementara itu, tidak ada keperluan bagi masyarakat untuk mengubah pola diet/makannya.

Pernyataan yang mirip juga dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Namun demikian, WHO akan segera membentuk panel ahli untuk bia mengevaluasi dan menentukan sejauh mana risiko kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh adanya akrilamida pada pangan.

Badan Pengawas Makanan Swedia sendiri juga bersikap hati-hati, tidak serta-merta mengampanyekan perubahan medua diet secara drastis. Bahkan peneliti dari Swedia ini juga menyatakan bahwa sampai saat ini penelitian-penelitian epidemiologi belum menunjukkan adanya korelasi antara paparan akrilamida dan peningkatan angka penderita kanker pada manusia.

Namun demikian, hasil yang diperoleh ini menunjukkan betapa pentingnya untuk melakukan penelitian secara lebih meluas dan menyeluruh. Dan, untuk melakukan harmonisasi dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi penelitian lanjut, perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional antar badan-badan pengawas makanan diberbagai negara.

Respons para ahli dari Amerika-antara lain dari the Joint Institute for Food Safety and Applied Nutrition di Universitas Maryland-juga mirip, perlu pengkajian dan pengumpulan informasi yang menyeluruh,termasuk mengkaji dan mengevaluasi metode yang digunakan untuk menganalisis akrilamida pada bahan pangan tersebut.

Hal ini terutama penting dilakukan mengingat bahwa metode yang digunakan untuk menganalisis akrilamida pada bahan pangan merupakan metode baru. Metode kromatografi cair yang dikombinasikan dengan dua tahap spektrometeri massa (LC-MS-MS) itu saat ini sedang dimintakan validasi dan akreditasi pada The National Accreditation Authority SWEDAC.

Apa yang perlu dilakukan?
Sebagaimana berbagai badan pengawas makanan dunia, Indonesia semestinya juga bersikap pro-aktif dan hati-hati. Upaya pengumpulan informasi dan sekaligus komunikasi kepada semua stakeholder perlu segera dilakukan. Di samping itu, kerja sama regional dan internasional untuk melakukan kajian-khususnya untuk produk gorengan dan panggang khas Indonesia-perlu dilakukan.

Secara umum, hal yang sangat signifikan dari hasil penelitian ilmuwan Swedia itu adalah bahwa suhu tinggi akan mendorong proses pembentukan akrilamida pada bahan pangan. Laporan penelitian juga menyatakan bahwa akrilamida tidak terdapat atau sangat sedikit jumlahnya pada produk pangan mentah atau produk pangan yang direbus atau dikukus.

Sementara kejelasan belum diperoleh, maka konsumen tetap diminta tenang dan tidak perlu melakukan perubahan menu dietnya secara drastis. Namun demikian, konsumen hendaknya disarankan untuk lebih memperhatikan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS), terutama dengan memperbanyak konsumsi buah, sayuran, dan mengurangi konsumsi produk gorengan yang kaya lemak.

Selanjutnya, sesuai dengan hasil penelitian ini juga, konsumen perlu kembali diingatkan tentang saran umum yang telah sering diberikan, yaitu bahwa akan lebih baik dan sehat untuk merebus atau mengukus makanan daripada menggoreng pada suhu yang tinggi.

Selanjutnya, karena semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu proses pemanasan akan semakin memperbanyak kandungan akrilamida pada bahan pangan, maka kepada industri pangan perlu disarankan untuk melakukan optimasi proses termal; sedemikian rupa sehingga pemanasan yang dilakukan tidak berlebihan.

Proses pengolahan pangan yang perlu diteliti dan dioptimasi dengan cermat dalam aspek pembentukan akrilamida ini adalah proses penggorengan (baik penggorengan biasa ataupun penggorengan rendam/deep-frying), pemanggangan (baik proses baking, broiling, maupun grilling).

Dr Purwiyatno Hariyadi Ketua Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback