oleh: Fatma Ariana
Menjadi pengguna angkot di kota besar bukanlah sesuatu yang mudah, terutama bila anda laki-laki. Kenapa? Jawabnya mudah. Ambillah contoh di Bandung, di sini dapat dengan mudah kita temui gadis-gadis cantik berpakaian ketat dan mini. Kaus ketat dan celana ¾ ala Jennifer Lopez yang berpinggang rendah seakan menjadi "seragam."
Ketika gadis-gadis itu membungkuk untuk turun dari angkot, tampaklah pemandangan yang buat saya "mengerikan" itu. Punggung yang terbuka. Sebagian mereka ada yang merasa risih, kebingungan menarik- narik kausnya bagian belakang.
Sebagian yang lain, cuek dan ikhlas saja membiarkan punggung yang terbuka itu menjadi tontonan orang-orang se-angkot. Astaghfirullah....saya jadi bisa merasakan betapa beratnya menjadi laki-laki di jaman sekarang.
Suatu hari, saya berencana pergi ke suatu tempat. Karena angkot yang saya tumpangi masih kosong, saya harus sedikit bersabar menunggu angkot itu ngetem sampai penumpangnya penuh. Saya pilih duduk di bangku bagian belakang. Di depan,dekat sopir, duduk 2 orang gadis.
Gadis yang duduk di tengah rupanya memakai kaus yang "kekecilan" dan celana dengan gaya "lower is better" yang benar-benar "lower." Tak perlu membungkuk, cukup dalam posisi duduk biasa, gadis itu sudah memamerkan hampir 1/3 punggung dan sebagian panggulnya. Tak usahlah dibayangkan.
Tak lama, datang temannya, seorang pria. Mereka lantas mengobrol bertiga. Saking semangatnya, gadis yang duduk di tengah sesekali mencondong- condongkan badannya.
Seorang pria lain, calo angkot, tiba-tiba datang, mengajak bicara sopir yang sibuk memanggil-manggil penumpang. Perhatian sang calo segera tersita oleh punggung sang gadis yang terbuka. Segera saja ia menyikut sang sopir.
Kepalanya bergerak-gerak ke arah samping seolah-olah hendak mengatakan : "Tuh...liat tuh.." Pak sopir cuma menoleh sebentar lantas cuek. Sementara sang calo terus menatap dengan pandangan yang aahh.....mengingatkan saya pada lagu Nicky Astria "Mata Lelaki" yang terkenal itu.
Sang gadis yang menjadi pusat perhatian tampaknya sama sekali tak sadar apa yang telah terjadi. Sementara saya tak bisa berbuat apa-apa. Satu per satu penumpang naik. Angkot mulai penuh. Punggung bawah gadis itu masih "menganga," mengisi ruang kosong antara kursi sopir dengan kursi penumpang di depan. Mas penumpang di depan saya mencuri-curi pandang ke arah "point of view" itu. Saya semakin bingung harus berbuat apa.
Hari lain, masih di angkot juga, 2 orang gadis duduk di depan saya. Tentu saja,dengan pakaian "seragam" yang sama. Kaos ketat dan celana J.Lo. Sambil melihat pemandangan di luar angkot, telinga saya pasang baik- baik untuk mendengarkan obrolan mereka. Sebagai penulis, pengamatan saya harus menyeluruh, bukan?
Mula-mula cerita berkisar tentang teman-teman mereka, lantas tiba-tiba mereka mendiskusikan bagaimana cara keluar dari angkot tanpa memperlihatkan punggung mereka. Salah satunya mengaku menyesal karena tidak membawa jaket. "Habis nggak nyangka sih kalo pulangnya bakalan naik angkot" kata temannya.
Ketika turun,mereka seperti orang kebingungan, berdesak-desakan antar mereka berdua saja. Yang di belakang sibuk menutupi punggung temannya sekaligus menutupi punggungnya sendiri. Pemandangan yang menggelikan sekaligus memprihatinkan.
Masalah punggung, panggul, pusar, atau bagian tubuh perempuan yang lain yang erat kaitannya dengan baju mini, ketat, dan seksi ternyata bukan hanya monopoli penumpang angkot. Karena perempuan dengan baju-baju seperti itu ternyata dapat ditemui di mana saja.
Termasuk di tempat-tempat yang (katanya) mengagungkan intelektualitas dan (seharusnya) dihormati seperti kampus. Sayang, di kampus tak ada larangan mengenakan baju-baju seperti itu. Kalau pun ada, gaungnya tak segencar larangan mengenakan sandal jepit di kelas.
Baju-baju seragam sekolah anak SMP dan SMU di kota-kota besar pun semakin lama semakin jauh dari aturan yang sebenarnya. Roknya semakin pendek, bajunya semakin kecil dan ketat. Cocok untuk dikiaskan dengan peribahasa "Ke atas tampak lutut, ke bawah tampak pusar."
Soal pamer aurat ini bahkan sudah menjadi masalah nasional, saudara- saudara! Seorang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sampai merasa perlu mengimbau untuk menertibkan persoalan ini : " Saya meminta secara khusus agar gadis-gadis kita yang cantik-cantik, kaum perempuan dan wanita Indonesia yang berbudi luhur, dibebaskan dari mempertontonkan perut atau pusar yang dianggap biasa-biasa saja," kata Presiden ketika memperingati Hari Ibu, 22 Desember 2004 lalu di Istana Negara.
Sebenarnya aneh rasanya jika negara demokrasi dengan banyak persoalan seperti Indonesia kita ini sampai harus turun tangan mengurusi soal pusar perempuan. Jika presiden sampai harus angkat bicara, artinya masalah ini memang sudah dianggap serius.
Sebagai perempuan, kita seharusnya malu karena masalah pusar,punggung, atau bagian mana pun dari tubuh kita mestinya dan harus menjadi urusan kita sendiri. Tak perlu menunggu sampai Presiden -yang seorang laki-laki-sampai mengeluarkan pernyataan untuk "menertibkannya."
Imbauan Presiden ini tentu bertujuan untuk melindungi kita - perempuan-dari tindak kekerasan terutama perkosaan. Negara wajib melindungi perempuan, tapi tentu saja semua itu menuntut peran aktif kaum perempuan itu sendiri. Tapi,entah berapa banyak perempuan yang sadar bahwa eksistensi dirinya sebenarnya tak bisa diraih dengan baju-baju seperti itu, melainkan dengan otak, hati , moral,dan ketakwaan.
Bahwa perempuan bisa dihormati, dihargai, dan dianggap setara dengan laki-laki hanya jika ia bisa menghormati dan menghargai dirinya sendiri. Seberapa besar penghormatan dan penghargaan kita terhadap diri sendiri, salah satunya bisa dilihat dari cara kita berpakaian.
Tidak salah berusaha tampil cantik, tapi mau tampil cantik yang bagaimana, semua itu terserah kepada kita. Tubuh kita seharusnya milik kita, dan karena itu milik kita, bukan pada tempatnya jika kita mempertontonkannya di muka umum. Sudahlah, mari kita biarkan Presiden kita mengurus masalah- masalah lain yang jauh lebih berat dan penting di negeri kita ini.
Sementara soal pusar, punggung, dan lain-lain itu marilah kita sendiri yang menertibkannya. Percayalah, penghargaan sebenarnya dan setulusnya dari orang lain tak pernah ada jika penilaian mereka pada kita cuma berdasarkan kecantikan, gaya, atau cara berpakaian kita. Tak percaya? Pakai jilbab dan rasakan bedanya!!
Source :
http://www.mifta.org/new/index.php?menu=home&topik=opini&id=00010
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
11 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback