Pak Engkos masih termenung diam di balainya. Tatapan matanya kosong, Langitpun kelihatannya mendung, ikut berduka pagi ini. Tak terasa, bulir-bulir air mata mulai menggenangi mata tuanya.
Kemarin Pak Engkos ditinggal mati si lurik, Kuda kesayangannya. Lurik kudanya itu telah menemaninya selama 15 tahun, waktu yang tidak sebentar. Dulu ia masih ingat ketika ia kehilangan sawahnya karena digusur oleh pemerintah. Ia tak ada harapan untuk hidup.
Kebingungan menyelimuti masa mudanya. Dulu si lurik adalah kuda kecil pemberian temannya untuk kelahiran anak ketiganya. Waktu itu si lurik agak liar sehingga iapun tak menghiraukan perkembangan si lurik. Tetapi karena tidak ada jalan lain, Pak engkos mulai menjinakkan si lurik untuk menarik pedati.
Air mata terus mengalir di wajah resahnya. Ia masih ingat begitu banyak suka duka yang telah dilaluinya berdua. Ia ingat bagaimana begitu lelahnya si lurik sehabis mengangkut barang dan orang, saking lelahnya lurik tidak bisa bangun.
Ia ingat, bahwa setelah kejadian itu ia sadar, ia harus lebih menyayangi si lurik. Ia harus sering memijat-mijati si lurik setelah bekerja. Ia juga ingat bagaimana senyum si lurik, dan ringkikannya yang manja ketika ia memijat punggung si lurik. "Oh...lurik, betapa sakitnya dirimu", gumannya dalam hati
Ia ingat, di sela-sela hujan deras dan udara yang dingin, lurik masih tetap dapat berlari menarik pedati. Kadang-kadang ia pun menerobos banjir sedengkul. Semua itu ia lakukan demi diriku. Ia sangat setia pada diriku. Aku ingat bahwa ia tak pernah marah.......
"Oh....Tuhan...."
Luriklah yang sering aku sakiti. Kalau ia tak berlari kencang, aku sabet dengan cemeti. Beberapa kali aku sabet ia dengan cemeti, ketika si lurik sudah lelah-lelahnya. Lurik hanya meringkik pelan minta dikasihani.
Pak Engkos seakan tidak menghiraukan hujan yang sudah mulai turun..
Angin semilir pelan menambah kesenduan.
Air matanya menggelinang deras.
Kini ia tahu arti si lurik.
Ia tahu arti ringkikan, senyuman..., gelengan kepalanya, bahkan goyangan ekornya. Semuanya ingin ia rasakan lagi. Seolah-olah ia melihat si lurik menggosok-gosokkan kepala disisinya.
Kini anak-anaknya telah besar. Semuanya telah bersekolah, dan ada yang sudah bekerja. Ia tidak jadi miskin. Ia merasa cukup dengan hidup sederhana. Kehidupan keluarganya bahagia. Semua itu berkat si lurik. Si lurik yang senantiasa menarik pedati barang dan orang.
Kini ia tahu Si lurik telah berkhidmat penuh padanya. Sedangkan ia.......barangkali sedikit berkhidmatnya pada si lurik. Ia sadar betul , kalau si lurik menjadi korban dari kemiskinannya. Ia memeras tenaga si lurik
- " Lurik, engkau lebih berhak menjadi tuanku ...daripada aku !" gumannya disela-sela tangisannya yang dalam
- "Terkadang Tuhan yang Maha Kasih mengirimkan rezeki-Nya kepadamu melalui orang-orang kecil atau mahluk-mahluk rendah tak berarti. Tapi yang tiada berarti itu.....sebenarnya adalah Malaikatmu."
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback