(Penny Porter - Chicken Soup for the Unsinkable Soul)
Bill Porter, seorang tawanan perang Amerika di Jerman, mempersiapkan diri menghadapi angin yang sedingin es - dan para penjaga Jerman yang bersenjata lengkap.Sebagai mantan pelatih fisik sepak bola di sekolah menengahnya, anggota infantri usia dua puluh tahun ini tahu ia berada dalam kesulitan besar tidak hanya akibat kelaparan, disentri kronis, dan luka di kaki yang membusuk, tetapi juga dari suatu rasa sakit yang telah lama dirasakannya tetapi kini semakin menjadi-jadi – penderitaan akibat radang kornea, yang membuatnya terancam kebutaan setiap kali terkena flu atau kecapaian bermain sewaktu kanak-kanak.
Sekarang, tanpa pengobatan, Bill kehilangan salah satu penglihatannya, dan pada suatu pagi ia pingsan ketika dibariskan untuk kerja paksa memperbaiki rel kereta yang rusak terkan bom. Ia diangkut ke rumah sakit di Ludenschide. Rumah sakit darurat untuk merawat korban perang dari pihak Jerman berada di sebuah gedung sekolah tiga lantai di kota itu. Walaupun Bill seorang tawanan, kakinya diobati dan ia ditempatkan di bangsal cedera mata di lantai ketiga.
Di sana ia sekamar dengan satu-satunya tawanan Amerika lain, seorang pilot yang matanya telah terbakar ketika melompat dari kursi lontar di wilayah udara Jerman, yang merenggut penglihatannya. Karena Bill masih dapat melihat dengan sebelah mata, ia dengan cepat menjadi teman dan pemandu sang pilot yang buta itu. Ia menyuapinya - tangan dan pergelangan orang ini juga cedera - dan membawanya berjalan-jalan naik turun lorong dalam gedung itu. Akan tetapi, lama-kelamaan kedua orang muda itu merasa bosan.
"Andaikata kita mempunyai sesuatu untuk dibaca, surat kabar, majalah, apa saja," ujar Bill kepada temannya pada suatu hari. "Aku dapat membacakannya untukmu… asal masih dalam bahasa Inggris."
"Aku punya sebuah buku," sahut sang pilot dengan kehangatan logat Amerika kawasan barat tengah yang telah sangat dikenal oleh Bill. "Coba lihat saku jaketku." Ia berhenti. "Maksudku… sebuah Alkitab."
Sejak saat itu, hari demi hari, lewat matanya yang tidak diperban. Bill membacakan Perjanjian Lama keras-keras. Selanjutnya ia membaca Perjanjian Baru sampai seluruh Alkitab selesai dibaca dan dibaca lagi berulang kali.
Mereka tidak menyadarinya, tetapi lewat kata-kata dalam Alkitab, suatu ikatan tumbuh di antara mereka bersamaan dengan diperolehnya penghiburan dan kekuatan yang mereka perlukan untuk bertahan hidup.
Pada suatu pagi ketika mereka sedang berjalan-jalan di lorong, mereka mendengar deru yang tidak salah lagi berasal dari pesawat-pesawat pembom Amerika yang sedang mendekat ke kota itu.
Mereka belum lagi tuntas bertukar sapa dengan seorang perawat ketika Bill mendeteksi desingan bom salah sasaran di atas mereka. Karena tidak ada waktu untuk menyelamatkan diri ke lubang perlindungan, ia merenggut temannya, menjatuhkannya ke lantai dan mendorongnya ke bawah sebuah baby-grand piano.
Rumah sakit darurat itu terkena hantaman langsung… sebuah ledakan terasa seperti memecahkan gendang telinga Bill. Bill tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu ketika ia sadar lagi atau merasakan nyeri dari sejumlah luka di kepala serta sepotong baja sepanjang dua puluh sentimeter yang tertancap di mukanya. Mula-mula, ia tidak dapat mendengar pekikan-pekikan serdadu Jerman di luar gedung yang rusak berat itu, atau jeritan para korban.
Sebenarnya, ia tidak dapat mendengar apa pun kecuali debar jantungnya sendiri. Tetapi, ia mencium bau asap dan tahu bahwa ia harus berusaha keluar. Dengan sebelah tangannya yang bebas, ia berjuang membebaskan diri dari reruntuhan, batu, kayu, dan debu. Kemudian, dengan sebuah entakan terakhir ia berhasil bebas dari reruntuhan atap - dan berkesempatan "mengintip neraka."
Orang mati bergelimpangan di mana-mana: perawat yang diajaknya bicara beberapa saat sebelum ledakan, para dokter, dan para pasien, baik pasien luka maupun pasien sakit. Semua mati - kecuali ia sendiri. Dan temannya? Di manakah dia? Dapatkah sebuah piano tua tahan terhadap hantaman beban balok kuda-kuda atap, ditambah batu bata dan semen?
Tiba-tiba sebuah pikiran menyentak di dalam kepalanya. Kalau temannya masih hidup, ia tidah hanya buta; ia juga terkubur hidup-hidup. Telinga Bill berdenging. Kepalanya sakit. Siapa nama teman itu?
Ia tidak dapat mengingatnya. Apakah ia kehilangan ingatan? Apa bedanya bila betul? Ia harus merangkak kembali ke tempat semula untuk mencarinya. 'Tuhan,' pintanya, 'selamatkan dia.'
Rasa nyeri luar biasa akibat potongan baja di wajahnya seakan-akan berkurang ketika pikirannya berkecamuk dengan nasib yang mungkin dialami oleh sang teman. Ia meraih ke bawah piano. Ia merasakan gerak kaki. "Kau tidak apa-apa, bung?" tanyanya. "Tampaknya begitu," jawab suara itu.
Dalam sepuluh menit berikutnya, Bill tertatih-tatih berdua menuruni dua tangga yang rusak berat. Di luar, jalanan penuh dengan polisi, petugas medis, ambulans, dan pemadam kebakaran yang hilir mudik kebingungan. Ia menemukan sebuah bangku kosong, maka keduanya berpelukan untuk menghangatkan diri melawan hawa dingin yang menggigit.
Selama itu Bill harus menghindar dari orang-orang Jerman yang meludahi mereka karena tetap hidup sedangkan kaum mereka binasa semuanya. Bahkan ada yang memegang-megang potongan baja di wajahnya dan mencoba menariknya ke luar.
Barangkali mereka hanya mencoba membantu… Atau sengaja menyakitinya? Karena tidak mampu melawan lagi, ia memasukkan kepalanya di antara kedua lutut dan menutupi atasnya dengan kedua lengan.
"Bill," kata sang pilot dengan gigi gemeratak, "bisakah kau masuk lagi mengambilkan selimut - dan Alkitabku?" "Tentu," katanya. "Akan kucoba.
Tapi jangan pergi ke mana-mana," tambahnya sambil bergurau.
"Aku akan kembali. Pasti." Perjalanan naik ke atas memakan waktu lebih lama daripada yang diperkirakan oleh Bill, tetapi ia berhasil menemukan Alkitab wasiat dan peneng lehernya di atas tempat tidur.
Ia meraih sehelai selimut, kemudian sambil membawa semua itu ia bergegas turun lewat anak tangga yang patah di sana-sini. Namun, ketika tiba di bangku, sang teman tidak ada.
Di mana dia? Dengan suara memohon ia bertanya kepada semua orang yang lalu lalang. "Adakah yang melihat orang dengan mata dibalut?" Ia mengangkat dua jarinya kemudian menunjuk perban pada matanya sendiri. Tidak ada yang menyahut. Tidak seorang pun bicara bahasa Inggris. 'Tuhan! Lindungi dia,' doanya. 'Orang itu tidak dapat melihat!'
Dalam keadaan sendirian, dan menanggung nyeri tak terperikan, Bill berbaring meringkuk di atas bangku dan menutup kepalanya dengan selimut. Berjam-jam berlalu dengan sirene, teriakan-teriakan, dan kesibukan orang berlari-lari sampai ada seorang dokter muda Ludenschide mengintip ke balik selimut. Ia membawa Bill ke tempat prakteknya di dekat situ.
Di sana, sesudah menyuntiknya dengan Schnapps, dokter itu membuat torehan pada pipi dan rahangnya untuk mengurangi tekanan lalu melepaskan potongan baja serta serpih-serpih logam lain yang tertanam pada kepalanya. Akhirnya, ia mengganti perban yang membungkus mata.
Karena masih seorang tawanan perang, Bill dijejalkan ke dalam sebuah mobil kotak dan selanjutnya dipaksa berjalan ke Fallingbastel, sejauh tujuh puluh lima kilometer, sebuah kamp tawanan perang lain sampai perang usai.
Ketika ia kembali ke Amerika Serikat, Bill menulis surat kepada Departemen Peperangan dan meminta mereka mencari sang teman. Ia memasukkan surat itu dalam sebuah kotak bersama peneng leher sang pilot - dan Alkitab yang telah berulang kali dibaca habis. Kemudian ia mengetik alamat pengirimnya: 7 Sigma Nu Fraternity, Lehigh University, Bethlehem, Pennsylvania.
Mimpi buruk, panik setiap kali mendengar bunyi mengejutkan, serta suasana hati yang tidak menentu akan menyiksa Bill selama sisa hidupnya, sebagaimana dialami oleh kebanyakan korban peristiwa tragis lain. Akan tetapi, bahkan sebagai seorang ayah dan seorang kakek, ia akan selalu menemukan kegembiraan dalam mengenang hal-hal baik dalam hidup - sebelum dan sesudah perang.
Ia tidak pernah berbicara tentang masa ketika ia ditawan. Sebaliknya,ia lebih suka bercerita tentang tahun-tahunnya sebagai seorang peternak, di tempat yang jauhnya ratusan kilometer dari kota, tempat ia merasa dekat dengan Tuhan dan keluarganya.
Ia terutama senang bercerita kepada anak-anak dan cucu-cucunya tentang masa ketika ia kuliah lima puluh tiga tahun lampau - terutama hari ketika sebuah mobil yang asing berhenti di depan Sigma Nu.
Dari teras lantai kedua gedung persaudaraan itu, ia ingat telah melayangkan pandangannya ke luar jendela ke Chevy biru yang diparkir di bahu jalan. Saat itu bertepatan dengan waktu makan siang.
Ia tahu ia harus bergegas turun ke ruang rekreasi tempat teman-temannya sedang menunggu gong makan siang, tetapi ada sesuatu yang tidak biasa pada orang asing yang sedang berjalan menuju ke depan pintu itu sehingga ia tidak langsung turun. Bel pintu berbunyi. Teman sekamarnya, Jack Venner, bangkit untuk menjawab. "Halo! Dapatkah saya membantu Anda?" sapanya.
Dari tempatnya berdiri, Bill tiba-tiba merasa panas dingin. Ia terpaksa berpegangan pada pagar teras agar tetap berdiri. "Ya," sahut sebuah suara berlogat kawasan barat tengah yang hangat.
"Saya mencari seorang teman lama bernama Bill Porter. Saya ingin berterima kasih kepadanya… atas banyak hal." Ia tersenyum, sambil tdk sabar untuk menyapukan pandangannya ke ruangan yang penuh orang. "Sebetulnya agak konyol," tambahnya. "tapi saya tidak akan mengenalinya meskipun saat ini melihatnya. Saya… saya tidak pernah melihatnya."
Catatan:
Kedua mantan tawanan perang itu berbincang sepanjang malam. Mereka berjanji untuk terus berhubungan. Akan tetapi, hidup menentukan yang berbeda. Entah bagaimana, mereka saling kehilangan yang lain.
Hari ini, Bill tujuh puluh empat tahun. Ia tidak ingat nama sang pilot, tetapi ikatan yang lahir di Ludenschide tetap bersamanya. Ia berharap seseorang yang ingat akan membaca kisah ini - sehingga ia dapat bertelepon dengan sang pilot.
=====
bye
take care
yenny
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
11 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback