Penulis: Gede Prama
Dalam masyarakat yang kematangan hidupnya layak dibanggakan, tidak ada satu pun kejadian yang mendebarkan. Semuanya seperti siang dan malam yang datang silih berganti. Ada yang menyebutnya dengan datar tanpa dinamika. Ada juga yang merasakan suara-suara keheningan di sana.
Apa pun komentarnya, waktu hanya mengenal kegiatan berputar. Dari satu segi, waktu memang tidak mengenal ampun. Di lain sisi, waktu mengajarkan tentang hidup yang teramat pendek. Sehingga tidak ada lagi cukup kesempatan selain mengisi jalan-jalan hidup dengan kerja dan suka cita.
Lain masyarakat, lain lagi keadaannya. Indonesia di awal Maret 2004 memasuki masa-masa kampanye yang riuh. Di hari pertama masa kampanye, Jakarta yang biasanya macet di sana-sini, tiba-tiba lengang. Entah apa yang mau dituturkan,yang jelas mulai ada banyak orang yang jenuh dengan suara-suara riuh.
Entahlah, yang jelas dibandingkan sibuk memberikan judul yang bermacam-macam (karena judul tidak saja jembatan pemahaman, ia sekaligus sarana penciptaan didalam), sejumlah sahabat berkonsentrasi pada pelajaran-pelajaran yang bisa ditarik. Dan di balik riuhnya Indonesia, ternyata tersisa banyak sekali makna-makna berguna.
Panggung politik berisi banyak sekali guru-guru kehidupan. Dunia bisnis apa lagi, ada banyak sekali "pahlawan-pahlawan" kejujuran dan kemuliaan di sana. Disebut pahlawan, karena terlepas dari kaca mata hitam-putih,mereka mengajari Indonesia dengan cara jatuh maupun bangun, maju maupun mundur.
Andaikan ada banyak sahabat yang menggarisbawahi pelajaran dan makna, ia akan mudah menjadi penonton pertumbuhan di dalam sini. Tidak saja pohon-pohon di luar sana yang bertumbuh. Tubuh di dalam sini juga bertumbuh.
Dalam bahasa metafora,hampir setiap manusia dewasa pernah menjadi karang yang keras. Sebutan-sebutan benar terhadap diri sendiri, dan salah buat orang lain adalah tanda-tanda karang yang paling permukaan. Ada yang bahkan berani menyerang dan membunuh orang lain karena alasan terakhir.
Sebagaimana perilaku karang yang sebenarnya, ia keras, mudah bertabrakan,sedikit-sedikit melukai. Demikian juga dengan manusia-manusia yang baru bertumbuh jadi karang. Kepintaran, keberanian,ketegasan itulah rangkaian hal yang membuat manusia dewasa bertumbuh menjadi karang.
Karang memang sebagian besar tetap jadi karang. Tapi manusia dewasa, ada saatnya ia mulai lelah, capek, sakit dan bosan menjadi sekeras karang. Karena berbagai faktor seperti usia tua, sakit-sakitan sampai dengan dijemput kebijaksanaan, sejumlah manusia dewasa meninggalkan dunia karang yang serba keras.
Kemana langkah manusia-manusia dewasa ini kemudian bergerak? Ia meniru perilaku gelombang yang mulai lentur. Bergerak fleksibel, baik karena ditiup angin juga karena ia mulai lentur. Sebagaimana ditunjukkan oleh batang pohon yang hidup,lebih lentur dibandingkan yang mati, badan manusia hidup lebih lentur dibandingkan dengan yang mati, gelombang seperti sedang bertutur: kelenturanlah energi kehidupan.
Dalam cahaya kelenturan seperti ini, bisa dimaklumi kalau kemudian orang-orang yang hidupnya lentur kemudian lebih jarang sakit, berumur lebih tua, sekaligus memiliki kualitas doa yang mengagumkan. Mirip dengan air gelombang yang bisa menyusup ke mana-mana, melunakkan karang paling keras sekali pun, demikianlah kekuatan kelenturan. Ia semakin kuat ketika semakin lentur.
Bila kepintaran, keyakinan dan keberanian membawa manusia menjadi karang, kelenturan ombak dihadiahkan oleh kebijaksanaan.
Siapa saja manusianya, ketika ia membukakan tangan bagi datangnya kebijaksanaan,ia mulai selentur ombak. Dalam bahasa-bahasa kebijaksanaan, semuanya berguna, semuanya bermakna. Semua manusia guru kehidupan, semua kejadian menjadi petunjuk jalan penyempurnaan.
Pernah terjadi percakapan antara kepintaran dengan kebijaksanaan. Dengan percaya diri, kepintaran menyebut diri telah membuat banyak manusia berhasil dalam hidupnya. Tatkala ditanya balik oleh kebijaksanaan, kenapa ada orang pintar jadi miskin, menderita dan sakit-sakitan gara-gara kepintarannya, kepintaran mulai kehilangan energi untuk menggerakkan lidahnya.
Setelah berhenti lidah kepintaran kelu, kemudian ia bertanya pada kebijaksanaan: Anda sendiri apa yang dilakukan pada manusia? Dengan tenang kebijaksanaan menjawab "Saya juga bekerja dan belajar tekun seperti Anda.
Bedanya, setelah bekerja dan belajar tekun, saya hanya membukakan pintu pada apa yang datang. Kesuksesan yang datang silahkan. Kegagalam berkunjung monggo. Dipuja saya tersenyum, dicerca juga tersenyum." Tatkala kebijaksanaan ditanya apa yang diperoleh manusia dengan mengikutinya, dengan tersenyum kebijaksanaan berbisik, "Keheningan!"
Siapa saja yang telah lama menyelami lapisan-lapisan keheningan, akan tahu kalau ada saatnya ia akan dijemput untuk bertumbuh dari gelombang menjadi laut. Ada yang bertanya, "Kalau kebijaksanaan menjemput manusia menjadi gelombang, siapakah yang menjemput manusia untuk menjadi lautan?"
Berkali-kali pertanyaan ini ditanyakan ke bawah, ke samping, ke atas, tetap tidak ada yang menjawabnya. Sekeras atau selemah apapun, bahkan ada yang menanyakannya sambil diam ke dalam,jawabanya tetap sama, "Sepi dan sunyi!"
Seolah-olah sepi dan sunyi itulah yang menghantar manusia untuk bertumbuh menjadi laut. Ada yang menjelaskannya dengan logika seperti ini: "Ketika semuanya bermakna, manusia kehilangan kata-kata dan logika untuk bercerita.
Apa lagi yang tersisa setelah ini terkecuali sepi?". Ada juga yang membumbuinya dengan puisi-puisi keTuhanan. Kebijaksanaan memang mendekatkanku ke rumahMu cintaku. Cuman, hanya sampai di depan pintu. Hanya dengan lenyap, kemudian aku bisa memasuki rumahMu.
Entahlah, yang jelas seorang guru pernah berbisik, "Begitu manusia menemukan penjelasan, ketika itu juga ia terlempar dari kedalaman-kedalaman lautan." Maaf, maaf dan maaf, karena tulisan ini membuat Anda terlempar dari kedalaman lautan!
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
11 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback