(thoughtful) Oleh: Gede Prama
Segmentalism, mungkin itu nama penyakit berfikir yang berumur sepanjang sejarah manusia. Ia hadir di mana-mana, di sepanjang waktu, dan sepanjang perjalanan hidup setiap pemimpin.Lihat saja, bangsa ini sedang dilanda krisis yang ditandai oleh saling lempar batu (baca: masalah) antara ekonom dan politisi,antara satu elit politik dengan elit politik yang lain. Demikian juga diperusahaan dan kehidupan keluarga. Bila ada keberhasilan, sejumlah orang pasang badan ke depan.
Begitu ada masalah, saling lemparpun terjadi di mana-mana. Bila bangsa ini dibuat sengsara oleh lempar batu antara ekonom dan politisi, perusahaan dibuat sengsara oleh lempar batu antarpimpinan divisi. Semuanya berdiri di atas kepentingan divisinya masing-masing.
Dari marketing yang meng-claim bahwa semua uang yang datang hasil kerja mereka. Operasi yang menyerang balik, karena tanpa barang tidak ada yang bisa dijual. Demikian juga dengan keuangan, yang meyakini bahwa uang adalah darahnya perusahaan. Dan SDM-pun tidak mau kalah, terutama dengan claim kekayaan terpenting perusahaan.
Digabung menjadi satu, kehidupan manusia di manapun adalah kehidupan yang selalu ditandai oleh hadirnya segmentalism. Tidak salah seluruhnya tentunya. Dan ia adalah hasil kerja manusia yang amat panjang. Sebagian rekan meyakini, pikiran sebagai senjata satu-satunya intelektualitas, dari sono-nya sudah terpisah-pisah. Kendati ada orang yang mencoba merangkai keterpisahan ini, tetapi tetap menjadi mahluk minoritas yang ditertawakan.
Coba bayangkan Anda dan saya duduk di suatu malam bulan purnama. Masing-masing membawa sebuah baskom lengkap dengan airnya. Ketika kita menoleh ke baskom masing-masing, kita akan menemukan 'bulan' kita masing-masing, lengkap dengan perbedaannya. Maklum, kejernihan airnya berbeda, lebar baskomnya berbeda, dan yang paling penting mata dan pikiran yang melihatnya juga berbeda.
Demikianlah pikiran banyak orang bekerja senantiasa melihat ke bawah, ke baskom masing-masing. Jarang dan teramat jarang orang yang melihat ke atas. Dimana, kita akan melihat wajah bulan yang hampir sama. Pada kehidupan perusahaan, 'bulan' di atas sana bernama corporate objectives.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa krisis ini, keluar dari krisislah yang menjadi bulan kita bersama. Kemewahan untuk hanya melihat baskom masing-masing tidak hanya membuat langkah kurang padu,lebih parah dari itu membuat kita melenceng jauh ke dunia antah berantah.
Menyadari hal ini, bisa dimengerti kalau fisikawan David Bohm pernah menulis kalau kata health (kesehatan) berasal dari kata whole (keseluruhan). Dengan kata lain, siapapun dan organisasi manapun yang mau hidup sehat, wajib belajar memandang secara keseluruhan.
Sebagai CEO, teramat sering saya ungkapkan pada sebanyak mungkin bawahan, kalau tugas utama saya adalah maintaining the whole picture. Dan kalau pimpinan sudah terlibat pada terlalu banyak details, plus lupa akan tugas menjaga gambar keseluruhan, maka kesehatan akan menjadi barang yang teramat mewah.
Dan ini tidak hanya berlaku pada organisasi dan masyarakat, ia juga terkait dengan kesehatan badan dan jiwa. Sebagaimana pernah ditulis Deepak Chopra dalam Journey Into Healing, health is not just the absence of disease, but the inner joyfulness that happen all the time.
Kesehatan tidak hanya berarti tiadanya penyakit, tetapi kebahagiaan dan rasa syukur dari dalam yang mengendap dalam waktu yang lama. Dengan konsepsi ini, unsur-unsur yang bernama body, mind,spirit, soul dirangkum secara keseluruhan dalam sebuah kata inner joyfulness. Kebahagiaan dan rasa syukur mendalam yang datang dari dalam. Sebagai akibatnya,terintergrasilah hidup mereka yang diikat oleh inner joyfulness.
Belajar dari semua ini, kerap saya berangan-angan kalau ada sekolah yang menekankan pendidikan untuk memandang keseluruhan. Atau, bermimpi ada organisasi yang tidak disekat-sekat oleh segmentalism. Semuanya mengerjakan semua. Semuanya serba keseluruhan, terintegrasi, dan menyatu jadi satu.
Kembali ke cerita awal mengenai bulan dalam baskom, terlalu banyak memang, orang yang melihat ke bawah. Dan enggan, atau malah tidak mau, melihat ke atas. Elit politik yang berkelahi, guru besar yang pikirannya disempitkan oleh spesialisasinya, atau manajer yang tenggelam dalam tempurung paradigmanya.
Tidak tertutup kemungkinan, sayapun sedang terkena segmentalism. Sebab, memperkosa semuanya harus berjalan dalam rel-rel wholeness. Inilah rumitnya intelektualitas. Semakin didalami dan diselami, semakin banyak kontradiksi dan paradoks yang muncul.
Mungkin sudah menjadi nasib pikiran manusia sejak dulu, kalau ia tidak senantiasa bersahabat dengan keheningan dan kejernihan. Bahkan, di tingkatnya yang lebih dalam, kerap berakhir dalam bentuk bulan-bulan ditengah baskom-baskom banyak orang.
Tidak hanya menghasilkan bayangan saja,melainkan menghindarkan kita untuk ikhlas dan tulus melihat ke atas. Bukankah kesombongan ilmu pengetahuan dan segala kehebatan pikirannya yang membuat kita jadi kurang rendah hati?
______________________________________________________________________________
Don't give up when you still have something to give.
Nothing is really over until the moment you stop trying.
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
12 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback