Pages

Sunday, May 3, 2009

Untuk Disimpan

(nice story) (LeAnn Thieman - A Second Chicken Soup for the Woman's Soul)

"Aku senang sekali Bibi akan tinggal bersama kami," kata Jane yang berusia dua belas tahun, sambil memasukkan sebuah kantong tidur rajutan tangan ke dalam peti barang-barang Bibi Emma-nya. Jane dan ibunya sedang membantu Bibi Emma berkemas-kemas untuk pindah. Ibu Jane tadi turun ke bawah untuk membereskan dapur Bibi Emma, sementara Jane tetap di atas, membantu Bibi Emma mengemasi barang-barang kenangannya.

Jane berhenti sebentar dari kegiatannya, dan memandang ke luar jendela yang terbuka, di rumah pertanian Bibi Emma yang berlantai dua. Ia bisa melihat atap rumahnya sendiri, yang berdiri di ujung ladang jagung. Angin membawa suara palu ayahnya yang dengan bangga sedang menyelesaikan bangunan tambahan di rumah mereka, lengkap dengan ruangan-ruangan ekstra untuk Emma.

  • Emma mendesah. "Rumah tua ini terlalu besar untukku, apalagi sekarang aku tinggal sendirian."

Jane tampak sedih mendengarnya. Ia masih sulit untuk percaya bahwa suami dan keempat anak Bibi Emma tidak akan pernah lagi dating berlari-lari di undakan itu. Mereka sudah pergi selamanya,semuanya meninggal dalam satu minggu, saat terjadi epidemi difteri tahun lalu.

Jane sangat kehilangan anak-anak Emma. Mereka sudah seperti saudara kandung baginya. Sebagai anak tunggal, Jane menghabiskan sebagian besar waktunya dengan kedua anak perempuan Bibi Emma, berkomplot melawan kedua anak lelaki yang lebih tua dan suka usil. Sekarang biasanya ia menangis kalau berjalan pulang melalui deretan tanaman jagung yang dulu merupakan jalan setapak yang menghubungkan kehidupan mereka.

  • "Aku akan sangat merindukan rumah tua ini." Emma menggerakkan tangannya ke arah kertas dinding yang sudah lusuh dan perabot kayu yang sudah lama. "Hanya rumah inilah yang kukenal sejak kami meninggalkan negeri kami dulu."

Matanya berkaca-kaca ketika ia memeluk sehelai selimut bayi didadanya. Lalu ditaruhnya selimut itu di dalam peti.

"Ceritakan lagi tentang kepergian dari Irlandia bersama Ibu dan Ayah," bujuk Jane, yang berharap mata Emma akan berbinar-binar lagi seperti biasa, kalau menceritakan petualangan itu.

"Kau sudah ratuskan kali mendengar cerita itu," kata Emma sambil duduk di kursi goyang, dengan setumpuk pakaian anak-anak dipangkuannya. "Tapi aku senang mendengarnya," pinta Jane. "Ceritakan lagi tentang Ibu dan Ayah waktu itu."

Jane tidak pernah terlalu memikirkan keadaannya sebagai anak adopsi, tapi kadang-kadang ia bertanya-tanya, itulah sebabnya ia begitu senang mendengar cerita-cerita lama tentang keluarga. Ia duduk di keset di kaki kursi goyang itu dan mendengarkan.

"Yah, aku dan ibumu sudah lama sekali bersahabat karib. Kami sudah seperti saudara."

Jane menyela, "Itu sebabnya aku memanggil Bibi Emma dengan sebutan Bibi, walaupun kita tidak punya hubungan keluarga." Emma mengedipkan mata dan tersenyum. Sebenarnya, setelah Ibu dan Ayah, Jane sangat menyayangi Emma, melebihi siapapun di dunia.

"Maka, suami kami pun kemudian bersahabat karib," Emma melanjutkan. "Kami berempat melakukan segala sesuatu bersama-sama. Kami berdansa..." Suara Emma semakin pelan dan kepalanya bergerak sedikit, seolah mengikuti irama musik. Lalu matanya pun berbinar-binar.

"Kami selalu berbagi, dalam saat-saat senang dan susah. Ibumu mendampingiku saat aku melahirkan anak-anakku, meski dia sendiri tak bisa mempunyai anak." Emma terdiam, seperti biasa, dan menggeleng pelan-pelan.

"Ibumu sangat ingin mempunyai anak, dan dia sangat layak mendapatkannya. Dia sangat ingin punya bayi, melebihi apa pun."

"Aku tahu," bisik Jane. Lalu wajahnya berseri-seri. "Karena itulah aku senang sekali ia mendapatkan aku. Dia menyebutku hadiah yang istimewa." Emma menarik napas panjang. "Jadi, ketika suamiku Patrick mendapat kesempatan untuk datang ke sebuah pertanian di Wisconsin, America, dengan cepat kami memutuskan bahwa keluarg mu akan ikut juga. Seperti kataku, kami selalu berbagi segalanya."

Emma bergoyang-goyang di kursinya, mengingat-ingat kembali perjalanan yang sulit itu. Badai di laut membuat pelayaran mereka berlangsung jauh lebih lama daripada yang diperkirakan. Semua penumpang jatuh sakit.

"Terutama aku," kata Emma. "Aku sedang mengandung anak kelima. Kalau bukan karena ibumu, aku pasti tidak akan bisa bertahan dalam pelayaran itu. Patrick dan yang lainnya sakit berat, sehingga tak bisa mengurusku. Aku tahu aku pasti akan kehilangan bayiku." Emma diam sejenak untuk menyeka air matanya dengan baju anak kecil yang dipegangnya.

"Ibumu tidak menghiraukan sakitnya. Dia bangun dari ranjang untuk membantuku." Suara Emma kembali memelan. "Dia baik sekali. Kalau bukan karena dirinya, aku dan bayiku pasti mati saat itu juga." Jane membaringkan kepalanya di pangkuan Emma. "Aku senang sekali Bibi selamat. Hidupku takkan sama tanpa Bibi."

Ia menengadah memandang wajah Emma. Ia tahu, bagian cerita berikutnya sulit sekali disampaikan oleh bibinya. "Berkat ibumu, bayi perempuan itu bisa lahir di kapal tua itu, cantik sekali." Wajah mereka berseri-seri, tapi kegembiraan itu memudar ketika Jane melanjutkan, "Tapi keesokan harinya bayi itu pergi bersama para malaikat."

Emma hanya mengangguk, lalu cepat-cepat berdiri dan mulai memasukkan barang-barang di pangkuannya ke dalam peti. Tanpa bicara ia beranjak ke sebuah laci dan mulai lagi menyortir lebih banyak lagi pakaian anak-anak. Beberapa yang sudah lusuh dimasukkan ke sebuah kotak kayu. Lainnya dimasukkan dengan hati-hati ke dalam peti.

Anak tangga tua itu berderit-derit ketika Ibu naik dari dapur. Ia meraih tangan Jane dan duduk di sampingnya di tempat tidur. Dari laci paling bawah Emma mengambil sesuatu yang dibungkus kain linen putih dan diikat dengan tali satin. Ia membawanya ke tempat tidur dan membukanya perlahan-lahan. Satu per satu diletakkannya pakaian-pakaian putih yang kecil itu di tempat tidur.

"Ini pakaian untuk permandian, yang kubuat untuk masing-masing bayiku sebelum mereka lahir," katanya pelan.

Ibu meremas tangan Jane. Jemari Emma gemetar ketika ia mengelus bahan masing-masing pakaian itu serta merapikan rendanya. "Semuanya kubuat dengan jahitan tangan dan renda tepinya juga kubuat sendiri." Ibu meraih tangan Emma dan membelainya, seakan mereka sama- sama tahu bahwa sekarang sudah waktunya menceritakan keseluruhan kisah itu.

Emma mengambil pakaian-pakaian itu satu per satu. "Aku berniat memberikan pakaian- pakaian ini pada anak-anakku, sebagai kenang-kenangan kalau mereka sudah dewasa." Ia hampir tak sanggup berbicara. "Ini milik Colin. Ini Shane. Ini Kathleen. Ini Margaret."

Air matanya jatuh ke pakaian kelima yang diserahkannya pada Jane. "Yang ini punyamu."
Berbagai pikiran, kenangan, dan cerita lama berkecamuk dalam pikiran Jane. Ia terperangah menatap ibunya, lalu kembali ia memandangi Emma.

"Apa maksud Bibi Emma?" Emma berkata dengan suara gemetar, "Apa kau tidak sadar bahwa aku tidak pernah mengatakan bayi perempuan itu meninggal? Aku cuma bilang dia pergi untuk tinggal bersama malaikat-malaikat Tuhan?"

Jane mengangguk. "Bayi itu adalah aku?" Bibirnya merekah membentuk senyuman ragu. "Dan Ibu dan Ayah adalah malaikat-malaikat Tuhan dibumi?"

Emma mengangguk. "Di negeri kami, sudah menjadi tradisi bahwa kalau seseorang tidak bisa punya anak, keluarga lain akan memberikan salah satu anak mereka. Aku sangat menyayangi ibumu..." Ia tak bisa melanjutkan, maka Ibu yang menyambung kalimatnya.

"Ia dan Patrick memberikan pada kami hadiah tanda cinta yang paling berharga."

Senyum Jane semakin lebar. "Hadiah istimewa Ibu." Dipeluknya ibunya. Air mata menetes di pipi Ibu ketika ia membuai Jane dalam pelukannya. "Tuhan seolah-olah memberikanmu padaku dan Ayah untuk disimpan."

Emma menangis pelan. "Oh, Jane... kalau tidak, aku pasti sudah kehilangan engkau juga, seperti yang lainnya." Jane membelai gaun permandian itu di tangannya, lalu memeluk Emma dan berkata ,"Terima kasih."

Suara dentam palu Ayah terdengar dari jendela. Emma tersenyum, kedua matanya berseri-seri. "Dua belas tahun yang lalu, di kapal itu, aku memberikan hadiah paling berharga pada keluargamu. Sekarang mereka membagi hadiah istimewa itu denganku."

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback