Pages

Saturday, May 9, 2009

Lulus Ujian

(C.L. Howard - Chicken Soup for the Single's Soul)

Tiba-tiba, inilah aku: seorang ibu tunggal bagi empat orang anak tanggung. Pertama-tama aku begitu kewalahan menghadapi rasa sedih, aku tidak mengetahui kesulitan tugas yang terhampar di depan. Tetapi ketika hari-hari berganti menjadi minggu-minggu dan bulan-bulan, semakin lama aku semakin merasa tidak mampu.

Pekerjaanku bersifat sementara, sehingga ketika pekerjaan itu berakhir, aku harus pindah. Dua pekerjaan berikutnya tidak sukses. Pada akhirnya kami tinggal di empat kota kecil di tiga negara bagian selama periode lima tahun saja.

Ini begitu berbeda dengan pengalamanku sendiri sebagai anak kecil, di mana aku tinggal di rumah yang sama dari umur tujuh hingga dua puluh satu tahun. Bagaimana mungkin aku memberikan kemantapan yang sama bagi anak-anakku, yang terpaksa menyesuaikan diri dengan rumah baru, sekolah baru, dan teman-teman baru setiap dua tahun?

Pekerjaanku sebagai guru memungkinkan aku untuk mengawasi anak-anakku di sekolah setiap hari, tetapi kegiatan-kegiatan sekolah menengah yang kusponsori itu membuatku jauh dari rumah hampir setiap petang hari dan hari Sabtu. Sementara aku pergi, terjadilah hal-hal yang tidak menyenangkan.

Hujan lebat membanjiri lantai bawah dan sementara anak-anakku mengeringkan air dengan berlapis-lapis koran, wanita yang kusuruh tinggal bersama mereka menonton televisi; anak laki-lakiku yang berumur tiga belas tahun mulai merokok di garasi; dan putriku yang berumur sepuluh tahun bersahabat dengan gadis-gadis kecil yang berteman dengan remaja-remaja di ujung-ujung jalanan dan bergadang sampai larut malam.

"Keluarga retak!" Itulah istilah yang kudengar dibisikkan orang dalam masa kanak-kanakku. Sementara anak-anak keluarga mantap dengan orangtua lengkap seperti aku tumbuh menjadi warga negara yang baik dan produktif, anak-anak keluarga retak itu, seperti diketahui setiap orang, pasti akan gagal di sekolah, menjadi penjahat-penjahat remaja,dan akhirnya masuk penjara.

Aku telah mencoba. Oh, betapa aku telah mencoba! Aku memasukkan anak-anakku di kepanduan, bisbol, dan program-program keamanan pemburu agar mereka dapat memiliki contoh peran laki-laki. Tetapi untuk peristiwa-peristiwa hubungan ayah-anak, mereka terpaksa memilih tetangga-tetangga.

Aku mencoba menolong mereka menangkap, melempar, dan memukul bola,tetapi aku adalah pemain bola yang buruk sekali. Kami berjalan kaki dan berkemah di taman nasional. Ketika mereka remaja, kami melakukan penggerebekan menangkap bebek menjelang pagi dimana aku berusaha keras untuk mengikuti langkah mereka tetapi malah terperosok ke dalam gundukan salju. "Kami akan memapahmu pulang, Bu," kata mereka.

Ya, aku adalah pengganti ayah mereka yang buruk.

Mengenai anak-anak perempuanku, yah, aku membawa mereka menyaksikan tarian-tarian balet, memberi mereka pelajaran musik, menonton mereka bermain bola basket dan senam. Aku berusaha keras dengan sisir dan alat pengeriting rambut pada saat mereka mau difoto di sekolah. Tetapi sebagai ibu, aku tidak lulus. "Tidak apa-apa, Bu," kata mereka kepadaku ketika kepangnya kendor, keritingnya gagal. "Kami lebih suka rambut kami begini saja."

Aku merasa kasihan pada putri tertuaku. Pada usia muda dua belas tahun, ia menjadi penggantiku, pembantuku, pengasuh bayi yang tinggal didalam. Ia menghiburku mengatasi trauma-trauma emosional yakni kehilangan pekerjaan dan mencari pekerjaan. Ia memikul tanggung jawabnya sebagai kepala anak-anak dengan serius, menghukum adik-adiknya
yang tidak mau patuh kepadanya apabila aku pergi.

Oh, aku mengajarnya untuk mengemudi mobil, mengisi bensin, dan memeriksa oli. Aku menjahit pakaian-pakaiannya untuk pesta dansa dan berbicara dengan teman-teman kencannya sementara aku menyelesaikan dandanan rambutnya. Tetapi diam-diam, aku tahu aku telah merampas masa kanak-kanaknya.

Ketika ia masuk universitas, ia menyukainya, sebagaimana aku telah menduganya. Pada liburan Natal pertamanya, ia bertanya apakah aku mau membaca karangan yang baru saja diterimanya dari guru mengarangnya. Aku pikir tulisan itu akan merupakan persoalan tata bahasa seperti infinitif yang dipisah, titik-koma, dan kesesuaian kata ganti, persis sebagaimana yang telah kulakukan bersama ayahku, yang seorang penyunting.

"Bukan," katanya kepadaku. "Bacalah saja. Tulisan ini mengenai keadaan seseorang yang tinggal dalam keluarga dengan orangtua tunggal." Aku tidak mampu menyembunyikan kekecewaanku. Cucian kotor kami, keluarga retak kami yang tak terperikan itu diperagakan di forum umum, yakni pelajaran bahasa Inggrisnya!

"Oke, aku akan membacakannya untuk Ibu," desaknya. "Dengarkan saja." Dalam kebisuan, aku mendengarkan versi putriku tentang masa mudanya. Ia telah belajar bertanggung jawab dan mandiri, tulisnya. Melalui kesengsaraan-kesengsaraan, ikatan keluarga kami menjadi lebih erat daripada keluarga-keluarga temannya yang lebih beruntung.

Ia dapat mengemas koper, bagasi mobil, rumah tangga, rumah mobil - bahkan truk sewaan untuk pindah rumah. Rumah kami merupakan tempat yang didatangi anak-anak lain untuk bermain, suatu tempat berkumpul bagi anak-anak menjelang remaja, sebuah tempat berlindung bagi teman-teman remaja yang keluarganya sendiri sedang guncang.

Aku tertegun. Daftar keuntungan-keuntungan yang telah diraihnya karena berasal dari keluarga orangtua tunggal terus-menerus bertambah. Ketika ia selesai membaca, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Di mana tadinya aku hanya melihat kesengsaraan, ia telah menemukan rahmat.

Peristiwa itu terjadi lebih dari lima belas tahun yang lalu. Sekarang putriku menjadi seorang ibu bagi dua anak laki-laki dan menikah dengan bahagia. Aku tidak tahu kalau pernah mengatakan kepadanya betapa aku mengaguminya. Sepanjang tahun-tahun itu aku bekerja keras dengan perasaan bersalah karena ketidakmampuanku, sementara ia telah mendapatkan kesempatan di mana aku melihat gelas setengah kosong dalam peribaratan itu, ia telah menemukannya bukan hanya setengah penuh melainkan berlimpah ruah.

Tak ada sesuatu yang retak sama sekali dalam keluarga kami.
Barangkali aku lulus ujian sebagai seorang ibu.


______________________________________________________
The education of a man is never complete until he dies

Indo community

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback