Pages

Sunday, May 3, 2009

Hormat Bagi Si Pemberani

(nice story) (Victoria Robinson - Chicken Soup for the Unsinkable Soul)

Saat itu pertengahan bulan Mei dan udara musim semi telah terasa. Cahaya matahari yang hangat menerpa wajahku dan harum kembang liar serta rumput yang baru ditebas tercium di mana-mana. Aku menghela napas dalam-dalam, yang tampaknya dapat mengurangi nyeri yang terasa pada perutku. Karena kandunganku yang semakin berat, aku memanggil suami-ku, "Sayang, mungkin sudah waktunya kita berangkat. Sayang…Sekarang!"

Ia keluar dari garasi dengan langkah yang tetap, setiap langkahnya diperhitungkan demi menjaga keseimbangan. Aku dapat melihat kecemasan dan kebahagiaan silih berganti muncul pada wajahnya. "Baik, Sayang, aku datang! Tolong jangan banyak bergerak!"

Untuk sesaat aku merasa tersanjung, namun itu segera diganti dengan rasa nyeri ketika kontraksi itu datang lagi. Dengan hati-hati, aku menjaga keseimbangan sewaktu bangkit dari kursi, lalu ia memapahku ke mobil dan mengambil putri kami yang sedang bermain di dekat situ.

Ketika ia sibuk dengan kunci-kunci, aku menyandarkan tanganku padanya; ia tersenyum, menghela napas dalam, kemudian berangkat. Ia berjalan bolak-balik di depan bangsal rumah sakit bersama putrinya, yang terbilang kecil untuk usianya yang tiga tahun, namun berusaha menyamai langkah-langkah sang ayah, sambil berpegang erat-erat pada tangannya yang kokoh.

Sambil memandangi dinding rumah sakit yang putih dan menyilaukan,hidungnya mengendus bau tajam bahan-bahan antiseptik. Perawat-perawat, dengan seragam putih bersih mereka, tampak sibuk kesana kemari membawa bermacam-macam perlengkapan, jarum suntik, perban, dan kantong-kantong yang terisi penuh.

Ia benci rumah sakit dan semua yang terkait; serba steril, serba impersonal. Putrinya memandang ke atas, ke wajah sang ayah. Diam-diam ia berharap akan memperoleh adik laki-laki. "Takkan lama lagi, Putri," katanya penuh pengertian. "Ibu akan baik-baik saja," katanya ketika melihat ketakutan yang tersorot dimatanya.

Sambil duduk di ruang tunggu ia memangku putrinya, melindunginya, sementara pikirannya melayang kembali ke masa ketika ia masih kecil, di tempat seperti ini… untuk alasan yang sangat berbeda. Namun, dindingnya tidak putih. Dindingnya kotor. Dan bau yang tercium pada kamar-kamarnya adalah bau urin dan penyakit.

Malaikat maut sibuk bekerja di seluruh bangsal, memilih anak yang ingin mereka bawa sekehendak hati mereka. Waktu itu wabah polio menyerang anak-anak, meminta korban tanpa kenal ampun. Para perawat menutup emosi mereka rapat-rapat, tidak tahan menyaksikan semua itu. Sebagian anak yang dirawat di rumah sakit adalah anak-anak terlantar,mereka sendirian dan ketakutan.

Di salah satu ruangan terbaring sesosok anak kecil yang lemah, matanya kuyu menahan sakit dan kebingungan. Ia tidak mengerti mengapa ia berada di situ dan mengapa kakinya tidak dapat digerakkan. Ia mendengar dokter dan perawat bicara tentang sesuatu yang disebut "polio." Selama sembilan tahun hidupnya ia belum pernah mendengar kata itu. Yang jelas kata itu membuat semua orang sedih dan membuat anak-anak sakit, hanya itu!

Banyak pertanyaan yang tampaknya tidak pernah akan terjawab, misalnya mengapa lengan kanannya dapat digerakkan, tetapi lengan kirinya tidak. Ia ingin ada orang mengatakan berapa lama sampai ia dapat menggerakkan lengan kirinya lagi; selain itu, ia harus ikut latihan bisbol selama musim semi. Ia mendengar perawat di luar pintu.

'Barangkali, andaikata aku bisa menyusut sampai sekecil mungkin,ia tidak akan menemukan aku!' Ia tahu mengapa perawat itu datang: Setiap hari ia menyuruhku memasukkan tanganku yang tidak sehat ke dalam semangkuk lilin panas…lilin panas… membiarkan panasnya meresap lewat jari jemari… kemudian lilin itumengeras.

Perawat itu tidak pernah peduli dengan air mata yang mengalir membasahi pipi karena lilin itu begitu panas, atau rasa nyeri yang tercermin pada matanya ketika ia menusukkan jarum suntik lagi ke dagingnya yang sudah memar. Anak lelaki itu berbaring, pura-pura tidur, tetapi tetap saja perawat itu membuka selimutnya, "Ayo, mana tanganmu."

Anak itu memandanginya dengan mata berlinang waktu perawat itu mengangkat tangannya dari tempat tidur. Jam berganti hari, hari berganti bulan. Anak kecil tak berdosa yang ketika masuk begitu lemah telah berubah menjadi seorang pejuang berkemauan kuat dengan tekad dan keberanian untuk bertahan hidup.

Untuk mengisi waktunya ia bermain dengan jemari pada tangannya yang sehat… ke atas… ke bawah… ke atas… ke bawah… sedikit demi sedikit sampai tangan kanan itu menjadi kuat. Setiap hari ia menantikan kunjungan orangtuanya, tetapi mereka jarang datang. Mereka harus mengurus anak-anak mereka yang lain, dan menurutnya,karena ia tidak sempuran maka mereka tidak menghiraukannya.

"Pak Robinson, Pak Robinson," Dengan terkejut ia berusaha keluar dari kegelapan yang telah menyelimutinya. Waktu pikirannya jernih kembali dan mengangkat kepalanya, peluh membasahi seluruh wajahnya; tubuhnya gemetar dan ia memegang putrinya erat-erat. "Pak Robinson," perawat itu tersenyum lembut waktu bicara.

"Anda mendapatkan anak laki-laki." Mula-mula ia tidak percaya. Waktu putrinya tertawa dan melompat-lompat karena gembira, dengan sangat berat ia mengajukan sebuah pertanyaan, "Apakah semua jarinya lengkap, juga jari kakinya?"

Itu pertanyaan yang juga ditanyakan ketika putrinya lahir. Ia telah lama mengetahui bahwa orang yang tidak sempurna berpeluang mempunyai anak tidak sempurna. Perawat itu tersenyum penuh pengertian dan menjawab, "Ia sehat, semua jari tangan dan kakinya lengkap. Tangisnya pun keras!"

Ia bangkit perlahan-lahan dan berjalan ke ruangan tempat aku berbaring, masih tidur. Sambil membelai rambutku dengan sayang ia berbisik, "Aku sayang padamu dan aku sangat bersyukur karena kau telah mempercayai kami."

Pikirannya melayang kepada putranya, yang akan dapat bermain bisbol, football, dan semua yang ia sendiri tidak bisa. Ia berpikir tentang putrinya yang akan menyayangi sang adik sebagaimana adanya; baginya ia adalah seorang ksatria berbaju perang mengilap.

Tahun demi tahun berlalu dan anak-anak tumbuh menjadi besar. Ia mengajari mereka untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan luar, tetapi berdasarkan yang ada di sebelah dalam. Anak-anak tahu betul soal itu, selama itu mereka menyakisan sendiri bagaimana banyak orang terlalu cepat memberi penilaian rendah kepada ayah mereka.

Empat belas tahun telah berlalu sejak ia berjalan bolak-balik di depan bangsal rumah sakit, menunggu kelahiran sang putra.Hari itu hari Kamis malam dan kami duduk di stadion sepak bola bersama putri kami. Pemusik mulai beraksi dan para pemandu sorak mengeluarkan pekik khas mereka.

Kami menunggu sampai panitia memanggil nama putra kami, "Robinson, quarterback, bernomor punggung 10." Anak itu berlari ke tengah lapangan, tubuhnya tegap dan kuat. Ia menyapukan pandangannya ke arah penonton, dan setelah menemukan kami,sambil tersenyum ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, dengan jempol teracung, "Untukmu, Ayah."
______________________________________________________________________________
There is a story living in us that speaks of our place in the world.
It is a story that invites us to love what we love and simply be ourselves.
The story is not given to us, it flows naturally from within; to hear it
we only have to be silent for a moment and turn our face to the wind.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback