(thoughtful story) Contributed by Melanie Schurr
Marisa itu memang mahluk bandel, keras kepala. Sebagai anak kecil pun,waktu cowok2 disekitarnya mengusirnya pergi, menerangkan bahwa ia tidak bisa ikut bermain yang kasar2 dan serba bergumul jumpalitan sebab ia cewek,cuek saja ia mau membuktikan mereka yang salah! Memang ia berhasil, dan tak lama kemudian reputasi dia naik, terkenal dan dijuluki sebagai "Tomboy", kau tahu kan, "gelar", panggilan gaya kuno yang dipakai orang2 untuk meledek seorang gadis yang bertingkah lebih menyerupai seorang anak laki.
Melewati masa dewasanya, coreng moreng kebebalan, keras kepala, sifat mandiri dan keras hatinya membawa Marisa melewati banyak situasi2 sulit dalam bidang kerjanya, pokoknya keluar masuk, gonta ganti tempat kerja; tapi yang sedih ialah, dari segi sudut pandang spirituil, itu ibarat duri disamping Marisa sebab ia begitu sering bergumul antara kehendak Tuhan dan dirinya sendiri.
Belum pernah hal itu tampak begitu jelas sampai Marisa, sementara ini sudah lama menikah, menemukan dirinya sedang duduk dikantor seorang konsler dan mencurahkan seluruh isi hatinya waktu oleh penasehat ditanya mengapa pernikahannya menjadi gagal, berantakan.
Waktu Adam dan aku baru saja menikah, aduhhh, kami itu begiiiitu saling mencintai, dan wuaduuhh, bukan main jelas kentara kelihatannya!" jawab Marisa,kedua matanya berbinar ketap ketip penuh kebahagiaan, merefleksi kembali saat yang lebih baik dimasa lalu. "Ya tak tahulah kenapa, mengapa, pokoknya aku ini ya cuma merasa pernikahanku tidak terisi, jadi hambar. Ya ada semacam kekosongan yang tak bisa kuterangkan, boleh jadi aku salah menganggap itu semua gara2nya cinta yang sedang sekarat, pokoknya lagi mati," ia lanjutkan.
"Kalau aku melihat Adam, hatiku sudah diam tidak ber-debar2 lagi. Pernah kudambakan perasaan penuh gairah, yang romantis dan mesra itu, dengan segala gelombang getaran cinta yang pernah kami alami, tapi rasanya kok nggak ketemu lagi ...entah hilang kemana sih?" "Lantas, bagaimana kau selesaikan, pakai jalan keluar apa?" tanya konsler itu.
Marisa menjawab, "Meskipun aku tahu, sesuai pendidikan Kristiani yang kudapat,bahwa mestinya aku itu nempel, nyantol dan bergantung pada Tuhan, aku ini ternyata ambil jalan pintasku sendiri, mencoba mbereskan dengan cara dan jalanku sendiri, dan bukannya sesuai menurut jalan Tuhan." Lalu, apa yang terjadi?" konsler pernikahan itu nanya lagi.
" Aku jatuh dalam jalan kehancuran pribadiku maupun spirituil. Tentu saja saat itu aku tidak mampu dan belum melihatnya, tapi sekarang ini menjadi begitu jelas dan terang," jawab Marisa dengan malu sambil memandangi lantai.
"Aku lakukan segalanya untuk mengisi kekosongan yang begitu hampa itu; mulai minum2, memanfaatkan dan menyalahgunakan obat2an, aku terlibat dalam hobi yang makin menarikku menjauhi Tuhan, dan yang paling memalukan aku, aku terlibat dalam suatu hubungan gelap." Lalu, semua resolusi ini bisa mbantu?" konsler itu tampaknya sengaja masih nanya.
Marisa melanjutkan, "Oh semuanya malah mbikin persoalan tambah buruk hancur.Jauh lebih jelek jadinya. Semua itu bukan cuma seperti plester sementara saja, tetapi aku jadinya merasa ditinggal dengan emosi, jasmani dan juga rohani yang serba sakit! Rasa salah dan malu yang harus kupikul ke-mana2 tak lama kemudian menjadi lebih berat daripada beban problim pernikahanku yang sebenarnya, dan karena itulah akhirnya aku meninggalkan semuanya,dan itu pula sebabnya mengapa aku sekarang ada disini."
Apa yang dialami dan menjadi pelajaran bagi wanita dalam kisah ini ialah, bahwa didalam hidup, jalan2 yang ditawarkan pada kita sesungguhnya amat jelas sekali. Ada jalan yang benar,dan ada jalan yang salah. Jalan kebenaran Tuhan, atau jalan setapak buatan kita sendiri yang khas terisi dengan segala jalan pemecahan cara manusia yang tidak mungkin bisa menyamai cara Pencipta kita yang penuh kebenaran dan serba penuh cinta kasih.
Apa yang Marisa rasakan sebagai kekurangan cinta didalam pernikahannnya, sesungguhnya hanyalah sebuah pernikahan yang membutuhkan suatu sentakan arus darah yang menghidupkan; tugas dan pekerjaan berat bersama, karya bersama dua orang yang butuh membuat dan menciptakan keintiman yang begitu didambakan Marisa dalam relasinya bersama Adam.
Melebihi kebutuhan ini, adalah rasa lapar Marisa untuk benar2 dicintai sepenuhnya dan diterima dalam cara yang tak bisa dipenuhi hanya oleh manusia. Mengapa? Sebab, akhirnya Marisa pun belajar, tempat didalam dirinya itu menjadi kosong karena kealpaannya dalam hubungan relasi spirituilnya dengan Tuhan.
Tak lama kemudian, Marisa dan Adam mulai berdoa dan bermain bersama lagi seperti satu keluarga. Awan gelap rasa malu yang menutupi kepala Marisa akibat sifat2 destruktifnya, telah hilang terangkat setelah ia memohon pengampunan Tuhan atas segala dosa2 masa lampaunya. Telah sekian lama, Marisa memusuhi Tuhan dan menggumuli pernikahannya, dan sekarang adalah waktunya untuk mengakhiri perang itu.
Selagi kau membaca pesan ini, bisakah kau ingat apakah dalam hidupmu sendiri, kau tidak menuruti jalan Tuhan yang Ia inginkan, melainkan kau berbelok dan akhirnya akan masuk jalan buntu? Sekaranglah waktunya meniru contoh Marisa, dan mengetahui bahwa Tuhan ada disini bukan untuk menghukummu, melainkan mencintaimu.(JM)
Copyright © 1998 Melanie Schurr
Shared by Fr. Rick of Kingston, NY
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback