Pages

Friday, April 17, 2009

Membentengi Anak Dari PERKOSAAN!

Masa kanak-kanak memang masa yang manis. Namun, dunia nyata tak senantiasa semanis cokelat. Masa bermain penuh keceriaan bukan tanpa ancaman. Orang-orang terdekat, yang seharusnya melindungi, sering malah menjadi musuh dalam selimut.

"Ah, itu 'kan cara Pak Guru menunjukkan sayangnya padamu," begitu jawaban seorang ibu kepada anaknya, Sari (bukan nama sebenarnya). Reaksi itu muncul ketika anak perempuannya yang masih duduk di kelas 4 SD itu menyampaikan kegelisahannya. Gurunya di sekolah sering mengelus-elus dirinya.

Sementara, Banu (8, nama samaran) hanya menggeleng sebagai jawaban dari perubahan perilakunya seminggu terakhir. Ia jadi pendiam, malas makan, dan sering mengigau. Bersama sekitar 20 teman sebaya, ia jadi korban sodomi seorang satpam di kompleks perumahan mereka.

Itu hanya dua dari sekian banyak kasus yang tertangkap di Pusat Krisis Terpadu untuk Perempuan dan Anak, RSUPN Cipto Mangunkusumo (PKT RSCM) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) SIKAP di Jakarta.

PKT RSCM mencatat, selama Juni 2000 - Desember 2002, ada 1.327 kasus.
Terbanyak, kekerasan seksual pada anak perempuan (di bawah usia 18 tahun) 555 kasus (40%), 17 kasus (1,3%) pencabulan pada anak lelaki, 23 kasus (2%) penganiayaan anak, dan dua kasus (0,1%) penelantaran anak.

Dalam perkara semacam itu, "Selalu terjadi fenomena gunung es. Yang terjadi sesungguhnya jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan," tutur Helmyna Magdalena Sitorus dari SIKAP (Solidaritas Aksi untuk Wanita dan Anak Korban Kekerasan). Itu karena pada satu kasus bisa lebih dari satu korban yang terlibat.

Mengapa demikian? Ada dua penyebabnya.
Pertama, kekerasan dalam rumah tangga dan seksual masih dianggap sebagai aib yang harus ditutupi, alih-alih merasa jadi korban dan perlu bantuan. Kedua,korban malas berurusan dengan pihak berwenang. Alasannya, bukan mendapat bantuan, melainkan malah dapat tekanan dan perlakuan tak simpatik

Anak Pribadi Mandiri
"Anakmu, bukan milikmu. Tapi milik kehidupan ...," ujaran Kahlil Gibran. Untungnya, kini telah terbentuk Konvensi Hak Anak (KHA), perjanjian yang mengikat secara hukum dan politik di antara sejumlah negara, termasuk Indonesia, yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan anak.

Ada 54 pasal dalam KHA yang dapat diuraikan dalam empat kelompok hak anak. Yakni, hak untuk bertahan hidup, memperoleh layanan kesehatan berstandar tertinggi. Lalu hak untuk tumbuh- kembang, mendapat pendidikan formal dan non formal, standar hidup yang layak untuk perkembangan fisik, mental,spiritual, moral, dan sosial.

Juga, hak untuk perlindungan dari perbedaan perlakuan, pemanfaatan,penelantaran, termasuk bagi anak yang tak memiliki orang-tua dan dalam pengungsian. Serta hak untuk berperan serta, mengungkapkan pandangan,perasaan tentang keadaan yang bisa berdampak pada dirinya. Setiap orang,termasuk anak, adalah subjek, bukan objek.

Apakah dalam keseharian kita pernah melakukan kekerasan fisik macam menjewer, memukul, mencekik, menendang, mengikat, sampai menikam? Atau secara psikis dengan cara mengutuk, menyumpahi, meremehkan, menghina,mengancam yang dapat merusak perilaku, kecerdasan, emosi, dan fisik anak?
Melakukan kekerasan seksual dari sekadar meraba-raba, mencabuli, percobaan perkosaan hingga perkosaan, dan yang paling menyedihkan inses, dengan pelaku anggota keluarga sendiri? Atau bahkan memanfaatkan sebagai pekerja anak,menukar dan menjual anak, bahkan melacurkannya? Semua itu bentuk "modern" perbudakan.

Percayai, Pahami, Sayangi
Tak perlu heran bila kasus-kasus kekerasan, terutama kekerasan seksual,kadang terungkap lama sesudah kejadiannya. "Ada yang baru ketahuan enam bulan kemudian, sesudah ada anak lain yang jadi korban, di antara para orangtua saling cerita dan mengecek ke anak masing-masing," papar Maria Herlina Limyati, psikolog dari PKT RSCM.

Penyebab utamanya, "Anak biasanya diancam pelaku. Apalagi bila si pelaku orang yang disegani masyarakat dan sulit dibayangkan dapat melakukan perbuatan rendah itu."

Jadi, orangtua harus peka bila tiba-tiba perilaku anak berubah. "Misalnya,jadi pendiam, penyendiri, sulit makan dan tidur, ngompol. Gejala itu serupa,baik pada anak perempuan maupun lelaki," kata Maria. Waspadai juga bila tiba-tiba anak tampak enggan dan takut berdekatan dengan orang yang biasanya akrab.

Saat itulah orangtua perlu menjadi sahabat anak agar mereka mau terbuka. Itu karena sang anak khawatir tak disayang lagi kalau orangtua mengetahui apa yang telah menimpanya.

Dengan lembut yakinkan anak bahwa orangtua takkan marah, menyalahkan, dan menambah beban penderitaannya. Bujukan semacam itu terkadang tak mampu memancing setiap anak untuk langsung bercerita. Banyak yang hanya menangis karena sebenarnya belum paham sepenuhnya apa yang mereka alami. Mereka hanya tahu, sesuatu yang salah telah menimpa mereka.

Anak yang belum mengerti sepenuhnya pun sebenarnya sudah punya naluri untuk
membedakan perlakuan. Misalnya, mana elusan yang tulus, mana yang berkedok
"rasa sayang".

"Rentang usia korban antara tiga tahun sampai kelas 6 SD, terbanyak sekitar kelas 4 SD. Anak kelas 6 SD atau SMP jarang, karena mereka telah lebih mengerti bila dilecehkan secara seksual," ungkap Maria.

Mengetahui anak, keponakan, atau adik kita mengalami kekerasan, apalagi kekerasan seksual, siapa tak geram. Namun, hati boleh panas, kepala harus tetap dingin. Pada beberapa kasus, main hakim sendiri pada pelaku justru bisa berbalik memojokkan korban dan keluarganya.

Jadi? Langkah pertama, bawalah anak ke unit gawat darurat (UGD), dokter, dan yang terbaik, layanan macam PKT RSCM. Bila ditengarai ada kekerasan dan kekerasan seksual, dokter dan UGD akan merujuk ke PKT untuk tindak penanggulangan terpadu.

Bentuknya berupa layanan medis fisik dan mental, medikolegal (dokumentasi, laboratorium, visum et repertum), analisis, dan konseling psikososial. Ada juga rujukan ke jaringan pendampingan, tempat penampungan sementara dan konsultasi hukum. Dokter, perawat, pekerja sosial terlatih yang semuanya perempuan berjaga 24 jam. Sementara konsultasi psikolog diadakan tiap Rabu dan Jumat.

Dokter akan melakukan pemeriksaan medis. Bila korbannya anak perempuan,biasanya orang-tua pun ingin mendapat "jaminan" selaput dara dan peranakan masih "utuh". Bila perlu, dokter akan membuatkan visum et repertum untuk keperluan laporan ke polisi.

Dari dokter, anak akan dirujuk ke pekerja sosial dan psikolog untuk penanganan pascatrauma. Berdasarkan catatan, yang sudah dibuatkan janji untuk bertemu psikolog pun belum tentu datang karena berbagai alasan.

"Alasan korban dari tingkat sosial ekonomi rendah biasanya karena ketiadaan ongkos. Sedangkan dari kelompok yang mampu, lebih karena kesibukan dan ketakpedulian orangtua. Tapi, orang-tua yang peduli, biarpun miskin, tetap mengusahakan datang demi kebaikan anaknya," kata Maria.

Semua layanan PKT RSCM bebas biaya. "Korban dan keluarga biasanya hanya dikenai biaya pendaftaran Rp 25.000,- bila dari UGD."

Konseling bertahap dilakukan psikolog. Pertemuan pertama, berbincang santai dengan anak. Dalam suasana informal dan akrab diharapkan anak mau terbuka berkaitan dengan kekerasan yang dialami.

Namun, kadang pertemuan pertama tak menghasilkan apa-apa. Anak mungkin risih pada psikolog dan pekerja sosial yang masih asing baginya. Bila itu terjadi,psikolog akan memberikan PR pada orangtua, tips membujuk anak agar terbuka,setidaknya pada orangtua sendiri.

Konseling berikutnya dua minggu kemudian. Dalam selang waktu itu, terhadap anak yang terbuka sejak awal, orangtua diminta memperhatikan kalau-kalau ada perubahan perilaku. Anak dibiarkan menjalani hidup seperti biasa. Tak perlu tiba-tiba berbalik terlalu melindungi dan membatasi, meski sikap lebih peduli dan mengawasi boleh-boleh saja. Pada anak yang pada pertemuan pertama tak terbuka diharapkan sudah mau bercerita.

Menurut Maria, perlu sekitar enam bulan untuk melihat adanya dampak pascatrauma. Apakah anak terus mengalami perubahan perilaku atau tidak. Sulitnya, "Banyak korban dan orangtua yang tak datang kembali hingga sulit untuk memantau."

Selain ke psikolog, PKT juga biasanya merujuk ke LSM mitra bila diperlukan jalur hukum. Pada beberapa kasus, orangtua memilih jalan damai dengan pelaku. Bila korban dan orangtuanya ingin melakukan tuntutan hukum, LSM akan mendampingi dari saat pembuatan Berita Acara Pengaduan (BAP) ke polisi,mencarikan dan menyediakan penasihat hukum, sampai persidangan dan penyelesaian kasus. Semua itu tanpa dipungut biaya.

Siap Mental Di Jalur Hukum
Menempuh jalur hukum adalah langkah tepat, tapi kerap kali berat dan tidak mudah. Untuk proses pembuktian, mau tak mau korban harus mengungkapkan kembali secara detail kekerasan yang dilakukan pelaku. Namun, jalur hokum dapat mencegah jatuhnya korban lain oleh pelaku.

Misalnya, kasus yang didampingi SIKAP terhadap Luna (6, kelas 1 SD) yang dicabuli guru laki-lakinya. Ibunya berhasil membujuk Luna ke dokter,psikolog, dan akhirnya lapor ke polisi. Namun, pihak sekolah yang diharapkan dapat bekerja sama justru menutup diri, terkesan melindungi kesalahan oknum guru dan balik menuduh, orangtua ingin mencemarkan nama baik sekolah.

Guru dan murid diminta tak membicarakan kasus ini pada siapa pun. Atas tuntutan turut mempertanggungjawabkan perbuatan oknum guru, pihak sekolah hanya menyergah, "Kalau tak suka sekolah di sini, silakan cari sekolah lain!"

Proses hukum terus berlanjut. Namun, kesulitan mencari saksi dan sikap pihak sekolah yang tidak kooperatif memperlama proses. Pihak sekolah melakukan segala cara menutupi hal itu dengan alasan menjaga nama baik sekolah.

Ketika terjadi kekerasan terhadap siswa di sekolah, kedudukan anak memang lemah. Pun kalau beberapa anak sekaligus jadi korban. Banyak yang membuat mereka tak bisa berterus terang, pada orangtua sekalipun. Takut dimarahi guru, mendapat nilai jelek, tak naik kelas menjadi sebagian bentuk ancaman. Akibatnya, banyak kasus tak terungkap.

Pengadilan pun bisa jadi cobaan tambahan. "Pernah pada pengadilan kasus perkosaan, kalimat pertama yang diucapkan hakim adalah "Tapi enak 'kan?' Hah?! Saya hampir tak mempercayai pendengaran saya!" kisah Titing Martini dari LSM Save The Children yang banyak melakukan pendampingan pada korban perdagangan dan pelacuran anak dan perempuan yang kini populer dengan istilah trafficking. Korban seolah "diperkosa" dua kali,
termasuk oleh aparat yang memperlakukannya seakan pesakitan.

Hati-hati Serigala
Seperti halnya penyakit, mencegah tindak kekerasan jauh lebih baik daripada mengobati. Pertama dan terutama, orangtua harus meningkatkan pemahaman tentang tahap perkembangan anak. Ini akan mencegah orangtua melakukan kekerasan di bawah sadar, walau hanya dengan kata-kata.

Meski kedua orangtua sibuk berkarier, perhatian dan jumlah waktu kebersamaan dengan anak tetap penting. Menitipkan pengasuhan pada pembantu, nenek-kakek,paman, tetangga, bukan jalan keluar terbaik. Sebab, kekerasan dan kekerasan seksual terkadang datang dari orang terdekat.

"Jangan percayai 100% anggota keluarga yang seharusnya melindungi. Bukan untuk bersikap terlalu curiga, tapi ada baiknya jaga-jaga," tutur Magdalena.

Ancaman pun bisa datang dari media massa yang menampilkan kekerasan dan seks secara terbuka. "Ada kasus pencabulan oleh tetangga di lingkungan permukiman padat karena pengaruh VCD porno yang murah dan mudah didapat," ungkap Maria.

Jadi, persiapkan anak dengan pendidikan seks sehat sesuai usianya. Ibu menjadi tangan pertama yang harus menangani, dengan bahasa anak yang mudah dimengerti. Pada usia 3 - 4 tahun, anak dapat diperkenalkan pada bagian-bagian tubuh, termasuk bagian intim lawan jenisnya.

Memasuki prasekolah dan kelompok bermain, anak bisa diingatkan untuk menjaga diri. Tak boleh bersentuhan dengan sembarang orang, kecuali bersalaman. Pokoknya,bagian yang ditutupi baju tak boleh disentuh. Kalau dipegang-pegang, siapapun dia, mintalah anak agar berteriak.

Terutama untuk kasus incest, anak bisa dipesankan, tak boleh ada yang menyentuh bagian intimnya selain ibu. Ayah atau paman boleh menyentuh hanya bila diperlukan. Misalnya, membasuh sehabis buang air kecil atau besar. Bila perlu, berkonsultasilah dengan psikolog untuk cara memberikan pendidikan seks yang sehat bagi anak.

Kekerasan Tak Langsung
Kekerasan dan kekerasan seksual pada anak bukan hanya terjadi langsung pada anak. Kadang anak menjadi korban tak langsung. Keluarga dengan ayah dan suami tak bertanggung jawab, misalnya, menyisakan anak sebagai pelampiasan keputusasaan ibunya yang gemar memaki dan mempersalahkannya.

Anak yang menjadi saksi kekerasan ayah terhadap ibunya pun menyerap kekerasan itu. "Ada ibu muda yang hampir tiap hari dipukuli suaminya. Suatu kali, anak perempuannya yang baru 1,5 tahun, belum bisa berjalan dengan baik dan masih di gendongan, tanpa ragu menjambak dan memukuli wajah ibunya hanya karena permintaannya tak segera dipenuhi!" kisah Magdalena.

Anak lelaki yang biasa melihat ibunya disiksa ayahnya, kelak cenderung memukuli istrinya, walau ia selalu bertekad untuk tak seperti ayahnya. Begitu juga dengan anak perempuan, cenderung mencari suami yang mudah menyakiti. Secara psikologis, mereka telah terbiasa dengan kekerasan.

Kasus-kasus kekerasan dalam keluarga kadang tak tergantung pada latar belakang pendidikan, ekonomi, dan budaya. Walau pada tingkat sosial ekonomi tinggi, kasus itu bisa ditutupi dengan status kesuksesan.

Anak yang dibesarkan dengan makian akan tumbuh menjadi orang yang mudah menyalahkan orang lain. Anak yang dibesarkan dengan pujian akan tumbuh menjadi pribadi yang hangat. (Intisari)

Copyright @ PT. Kompas Cyber Media

Hangtuah Digital Library

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback