(Toni Fulco - A Second Chicken Soup for the Woman's Soul)
Si kecil Robby, keponakan tetangga kami, dengan hati-hati menyendok sedikit air yang menjadi bagiannya ke dalam mangkuk dan membawanya ke pintu. Penjatahan air ini sangat berat rasanya. Kami terpaksa mandi tanpa sabun di kolam kecil yang dalam, yang kami bagi bersama Jessie, sapi kami. Hanya dialah milik kami sekarang. Sumur-sumur sudah kering, panen gagal dan memusnahkan semua impian kami. Musim kemarau kali ini adalah yang paling buruk yang dialami oleh komunitas pertanian kami yang kecil.
Kubukakan pintu kasa untuk Robby, dan sambil tersenyum kupandangi ia duduk perlahan- lahan di undak- undak. Lebah-lebah terbang mengitari kepalanya yang berambut cokelat ikal. Ia meniru suara dengungan lebah-lebah itu dan mereka pun mendekati mangkuk Robby untuk mencecap air yang sangat berharga itu.
Aku masih ingat ucapan bibi Robby waktu itu. "Entah apa yang ada dalam pikiranku waktu aku mengambilnya. Dokter-dokter mengatakan ia tidak terluka dalam kecelakaan yang menewaskan saudara perempuanku, tapi ia tidak bisa bicara. Oh, ia memang suka membuat suara-suara, tapi bukan seperti suara manusia. Ia hidup di dunianya sendiri. Anak itu sama sekali tidak seperti anak-anakku."
Kenapa wanita itu tidak menyadari bakat-bakat hebat yang dimiliki anak umur empat tahun itu? Aku sangat kasihan pada Robby. Ia telah menjadi bagian yang paling istimewa dalam dunia kami. Ia suka ikut mengurus kebun bersamaku, naik traktor, atau merapikan jerami bersama suamiku, Tom. Ia mempunyai sifat yang manis dan kekaguman mendalam terhadap segala makhluk hidup, dan aku tahu bahwa ia bisa bicara dengan binatang-binatang.
Kami dengan gembira ikut menikmati penemuan-penemuannya, yang ia bagi dengan senang hati pada kami. Sepasang mata cokelatnya yang bandel dan penuh rasa ingin tahu itu menyimpan pengertian atas apa-apa yang diucapkan orang. Aku sangat ingin mengadopsinya. Bibinya sudah cukup sering menyinggung tentang hal itu. Kami bahkan menyebut diri kami Ayah dan Ibu pada Robby, dan kami sudah membicarakan tentang masalah adopsi ini, sebelum musim kemarau datang.
Tapi sekarang keadaan sedang sangat sulit, dan aku tak mungkin membahas persoalan ini dengan Tom. Suasana hati dan semangat Tom sedang kendur akibat pekerjaan yang terpaksa ia ambil di kota, demi bisa membeli makanan untuk Jessie dan kebutuhan-kebutuhan pokok untuk kami sendiri.
Bibi Robby langsung setuju ketika kami meminta anak itu tinggal bersama kami selama musim panas. Toh selama ini Robby sudah begitu sering menghabiskan waktunya bersama kami. Kuseka air mataku ketika teringat betapa kecil dan tak berdaya ia tampaknya,ketika bibinya cepat-cepat menyodorkan tangannya ketanganku seraya mengulurkan sebuah kantong kertas cokelat yang kumal, berisi dua helai kaus lusuh yang kami belikan untuk Robby tahun lalu di pekan raya,berikut sebuah celana pendek bekas.
Hanya itulah milik Robby - baju-baju di kantong itu, berikut pakaian yang ia kenakan. Plus satu benda lain yang sangat penting baginya. Di lehernya tergantung sebuah peluit buatan sendiri. Tom yang membuatkannya, untuk berjaga-jaga kalau-kalau ia tersesat atau dalam bahaya, sebab Robby tak bisa berteriak minta tolong.
Ia tahu betul bahwa peluit itu bukan untuk mainan, melainkan hanya untuk saat-saat genting. Kalau ia meniupnya, kami pasti akan langsung datang. Aku sudah menceritakan padanya kisah si anak pembohong yang suka iseng meminta tolong, padahal sebenarnya tidak ada apa-apa, dan ketika ia benar-benar memerlukan pertolongan, tidak ada yang datang menolongnya. Robby mengerti.
Sambil mendesah aku mengeringkan dan menyimpan piring terakhir bekas makan. Tom masuk ke dapur dan mengambil panci masak. Setiap tetes air sisa yang ada digunakan untuk menyiram sepetak kecil kebun sayur milik Robby di samping beranda. Robby sangat bangga akan kebunnya itu, sehingga kami berusaha keras mempertahankannya.
Tapi kalau hujan tidak segera turun, kebun itu pasti akan mati juga. Tom menaruh panci itu di meja dan menoleh padaku. "Aku banyak memikirkan Robby akhir-akhir ini," katanya.
Jantungku berdebar kencang penuh harap, tapi sebelum Tom sempat melanjutkan ucapannya, bunyi lengkingan peluit dari pekarangan membuat kami terlompat kaget.
Ya Tuhan! Itu bunyi peluit Robby! Ketika kami sampai di pintu, bunyi itu semakin gencar. Bayangan bahwa Robby digigit ular memenuhi kepalaku ketika kami lari ke pekarangan. Sewaktu kami tiba di dekatnya, tampak Robby sedang menunjuk-nunjuk ke langit. Kami tak bisa melepaskan peluit yang dipeganginya erat-erat.
Saat kami menengadah, tampak pemandangan yang sangat luar biasa. Awan hujan - besar-besar, dengan bagian bawah yang tampak berat dan hitam. "Robby! Cepat bantu kami! Kita perlu engeluarkan semua panci dan wadah yang ada di dapur!" Robby melepaskan peluitnya dan lari denganku ke dalam rumah. Tom lari ke gudang dan menyeret keluar sebuah bak cuci yang sudah lama.
Setelah semua wadah itu terkumpul di pekarangan, Robby lari kembali ke rumah. Ia muncul membawa tiga sendok kayu dari laci dapurku dan memberikannya satu-satu pada kami. Lalu ia mengambil panci besarku dan duduk bersila di tanah. Dibalikkannya panci itu dan dipukulkannya sendoknya kesitu dengan berirama. Tom dan aku ikut memukul-mukul panci bersamanya.
"Hujan untuk Robby! Hujan untuk Robby!" kataku sambil terus memukul. Setetes air jatuh di panciku, lalu setetes lagi. Tak lama kemudian pekarangan sudah basah oleh hujan lebat yang membahagiakan. Kami berdiri dengan wajah tertengadah ke arah hujan, untuk menikmati siramannya.
Tom menggendong Robby dan menari-nari di antara panci-panci, sambil berseru-seru dan berteriak-teriak. Pada saat itulah aku mendengar sesuatu - suara yang mulanya pelan saja, lalu semakin keras dan semakin keras. Suara tawa terkekeh yang begitu indah dan lepas. Tom berputar untuk memperlihatkan wajah Robby padaku. Robby tertawa keras dengan kepala tertengadah.
Kupeluk mereka berdua. Air mata bahagiaku menyatu dengan tetes-tetes hujan. Robby melepaskan pelukannya pada Tom dan merangkul leherku. "W-W-Wobby!" katanya terbata-bata. Diulurkannya satu tangan mungilnya untuk menangkap butir-butir air hujan, dan ia tertawa lagi. "Hujan... buat... Wobby... Bu!" bisiknya.
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback