(nice story) (Cynthia M. Hammond - Chicken Soup for the Unsinkable Soul)
Ibuku tidak bicara dengan ayahku. Ia telah tidak bicara kepadanya selama lima tahun, dan untuk itu, ayahku betul-betul bersyukur. Aku menangis ketika untuk terakhir kalinya Ibu bicara kepadanya. Aku menyaksikan mereka bertukar kata, walaupun tidak dapat mendengarnya.
Ayah berbisik, Ibu juga berbisik.
Keduanya membentuk siluet di depan cahaya jendela di ujung lorong yang panjang itu. Ayah membungkuk ke atas kereta dorong tempat Ibu dibaringkan, dahinya ditempelkan ke dahi ibuku. Tulisan "Ruang Bedah" pada pintu di belakang mereka membentuk judul untuk siluet yang mereka buat.
Tangan saling berpegangan seakan-akan percaya bahwa dengan begitu mereka saling memegang hati yang lainnya. Seperti ketika mereka baru pertama kali bertemu, seperti sepasang kekasih yang putus asa karena dipaksa berpisah.
Dipaksa berpisah pada hari penentuan mati atau hidup. Mereka telah membuat keputusan bersama, dioperasi atau mati… dioperasi atau mati. Keduanya telah hidup dalam kebersamaan selama empat puluh tahun terakhir.
Ibuku dengan penyakit yang memutus aliran darah ke otaknya. Itu merusak kehidupannya dan hanya memberinya waktu tiga tahun. Hidupnya dapat diperpanjang jika menjalani pembedahan. Dua belas orang pemberani telah mendahuluinya dioperasi tetapi hanya tiga yang berhasil.
Aku menyaksikan proses pengambilan keputusan mereka, keduanya dalam suasana=
doa menghadapi kematian. Ibuku ingin hidup, ingin mencoba. Menjalani pergolakan apa pun sampai menemukan kedamaian.
Sungguh seorang wanita pemberani; kami tiga bersaudari yang berhimpun di seputar pembaringannya merasakan desakan waktu ke arah penentuan nasibnya untuk esok hari. Sulit bagi kami untuk tersenyum, sulit juga untuk pulang, takut kalau "selamat malam" kami menjadi "selamat tinggal."
Ayah tetap tinggal untuk berjaga dan berdoa. Sulit bagi kami untuk meninggalkannya malam itu, sulit untuk membayangkan bahwa ia akan sendirian . Tapi ia mengingatkan kami bahwa ia tidak akan sendirian, sekurangnya untuk malam itu, ia didampingi oleh Sayangnya.
Akhirnya pagi datang menjelang. Kami berkumpul dan berdoa. Kami mengecup ibu kami, memeluk ayah kami kemudian mengikuti kereta dorong sampai diberitahu hanya seorang di antara kami boleh terus menemani.
Ayahku terus berjalan di sampingnya sebagaimana selalu ia lakukan. Mereka dua orang yang selalu berdampingan menghadapi segala cobaan.
Ibuku yatim piatu sejak usia muda dan terus pindah dari tempat satu ke tempat lain. Ayahku paling muda dari sembilan bersaudara yang hidup dalam kemiskinan. Keduanya telah saling menemukan rumah tinggal bagi yang lain.
Kami anak-anak mendapatkan kasih sayang di rumah mereka. Diberi banyak hal yang tidak pernah mereka dapatkan selama masa kanak-kanak mereka sendiri: keamanan, pengasuhan, bimbingan moral.
Kami tahu kami diciptakan melalui cinta kasih mereka tetapi cinta mereka merupakan suatu kesatuan yang terpisah dari kami, sebuah lingkaran yang utuh dengan sendirinya.
Aku menyaksikan ciuman perpisahan mereka. Ibuku didorong melewati pintu, sendirian. Ayahku, yang membelakangi aku, menaruh tangannya pada pintu, mendoakan dia, memohonkan kekuatan dan harapan bagi wanita yang ada di baliknya.
Ia berbalik dan berjalan perlahan-lahan ke arahku.
Cahaya matahari terbit menerangi wajahnya dan aku dapat menyaksikan kedalam an cinta lelaki ini. Cintanya merupakan pengorbanan diri yang besar. Cinta yang begitu besar sehingga ia bersedia menanggung derita ketika mengantarnya sendirian.
Dan dalam naungan cinta kami, ayah berjalan sendiri selama dua pekan beriku tnya ketika menunggu Ibu bangun dari koma, dan selama bulan-bulan rehabilitasi yang penuh dengan keraguan.
Pada akhirnya, ibuku kehilangan suaranya tetapi ia memenangkan perang dalam mempertahankan hidupnya. Ia telah tidak bicara dengan ayahku selama lima tahun, dan untuk itu, ia bersyukur sekali.
indo community
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback