Pages

Sunday, March 15, 2009

Iklan Baris

(Marsha Arons - A Second Chicken Soup for the Woman's Soul)

Begitu masuk ke ruang berita, perhatianku langsung tertuju pada wanita yang ada di dekat mejaku. Ia tidak duduk di kursi di sebelah meja, melainkan mondar-mandir dan terus sibuk dengan tangannya. Aku semakin penasaran ketika sekretarisku mengatakan wanita itu ingin minta bantuanku untuk menuliskan iklan baris. Koran kami bukan koran besar, dan aku adalah penulis feature. Aku tidak menangani penjualan kolom untuk iklan. Orang-orang yang ingin memasang iklan untuk menjual rumah, mobil, atau piano, biasanya menghubungi kami lewat telepon. Tapi kelak aku mengetahui bahwa orang yang ingin memasang iklan untuk mempromosikan diri mereka lebih suka datang langsung ke tempat kami.

Wanita itu ingin memasang iklan untuk mengadopsi bayi. Kata-kata dalam iklan tersebut harus tepat. Ini penting sekali. Itu sebabnya ia ingin minta bantuan seorang penulis. Tentu saja aku pernah melihat iklan semacam yang diinginkan wanita ini di surat-surat kabar, tapi sejauh yang kuketahui, koran kami belum pernah memasang iklan semacam itu. Namun, ada bentuk standar untuk iklan seperti ini.

Aku mengusulkan beberapa kalimat padanya. 'Dicari, Bayi untuk Dicintai, Tolong Berikan Harapan Pada Kami'; atau 'Ibu Kandung yang Baik, Izinkan Kami Membantumu'. Iklan tersebut akan dilengkapi informasi mengenai si wanita dan suaminya - bahwa mereka pasangan yang stabil, cukup mapan untuk mengurus seorang anak, dan bahwa mereka bisa memberikan kasih sayang yang dibutuhkan. Kami juga mencantumkan nomor telepon toll-free yang bisa digunakan siang ataupun malam untuk menghubungi pasangan tersebut. Sedapat mungkin kucoba membuang nada putus asa yang kudengar dalam suara si wanita dari iklan tersebut.

Aku menghabiskan waktu lama bersamanya. Kulihat betapa sulit semua ini baginya. Wanita ini tampaknya sebaya denganku - usianya sekitar awal empat puluhan. Ia terus menerus memutar-mutar cincin kawinnya dengan gugup. Sesaat matanya tertuju pada foto empat anak perempuanku di meja, dan ia berkata,

  • "Anda sangat beruntung."
  • "Ya," sahutku. Karena tidak tahu mesti berkata apalagi, aku menambahkan, "Mungkin Anda pun akan beruntung." Tapi kemudian aku tersadar. Surat-surat kabar besar sering memuat iklan-iklan semacam ini dan sirkulasi mereka ratusan kali lebih besar daripada sirkulasi kami. Kenapa wanita ini tidak memasang iklan di surat kabar besar saja?
  • "Sudah kucoba," katanya. "Kami bahkan sudah memasang iklan di mana-mana dan sudah mencoba berbagai cara. Aku dan suamiku akhirnya memutuskan untuk berhenti mencoba. Tapi aku bekerja tidak jauh dari sini, dan dalam perjalanan ke kantor pagi ini, kupikir tak ada salahnya mencoba memasang satu iklan lagi. Siapa tahu." Ia tersenyum sayu, lalu menyerahkan cek untuk memasang iklan tersebut selama tiga minggu. Kemudian ia pergi.

Aku merasa sangat iba pada wanita ini. Banyak sekali berita menyedihkan tentang masalah adopsi di surat-surat kabar. Ada orang-orang yang mencari anak-anak untuk diadopsi di negara-negara asing, tapi dipersulit oleh sistem birokrasi. Mereka dimintai uang banyak, namun ternyata menjadi korban penipuan oleh pengacara-pengacara yang licik atau makelar-makelar bayi. Kalaupun proses adopsi berjalan lancar, sesuai prosedur yang berlaku, kadang orangtua angkat mesti mengembalikan bayi yang telah mereka adopsi karena orangtua kandung si bayi berubah pikiran.

Ya, aku memang beruntung. Kupandangi foto anak-anakku, lalu aku kembali bekerja.
Seminggu kemudian wanita itu meneleponku.

  • "Tolong tarik iklanku," katanya. Nada suaranya seperti menyimpan sesuatu, sehingga aku berani bertanya apakah ia mendapat kabar baik.
    "Ya," katanya. "Kami sudah mendapatkan calon bayi untuk diadopsi. Sebulan lagi bayinya lahir."
    "Bagus sekali," kataku. "Mudah-mudahan semuanya lancar." Lalu, karena aku seorang penulis feature, kutanyakan padanya apakah ia bersedia kuhubungi lagi kalau proses adopsi itu membawa hasil yang membahagiakan. Ia setuju.

Sebulan kemudian wanita itu meneleponku lagi. Katanya ia dan suaminya sudah mempunyai bayi laki-laki. Segalanya berlangsung lancar, tapi proses adopsi tersebut baru akan tuntas enam bulan lagi. Setelah semua urusan selesai, barulah ia bisa merasa nyaman untuk memaparkan kisahnya padaku.

Selama enam bulan itu aku sering memikirkan wanita tersebut, terutama kalau aku membaca berita yang menyangkut anak-anak. Banyak sekali berita semacam itu. Kembar tujuh pertama dilahirkan di Iowa. Sepasang suami-istri di Wisconsin dihukum dengan tuduhan penganiayaan terhadap anak kecil, sebab mereka menyekap anak perempuan mereka yang berumur tujuh tahun di kandang binatang, di ruang bawah tanah yang dingin dan gelap. Seorang bayi yang baru lahir diculik dari ruang bayi di rumah sakit, tapi akhirnya ditemukan kembali dalam keadaan sehat dan dikembalikan pada ibunya.

Semua cerita itu sangat membangkitkan emosiku. Tapi khusus mengenai pengalaman adopsi wanita itu, aku merasa terlibat secara pribadi. Aku merasa punya keterkaitan dengannya dari satu segi. Tak bisa kubayangkan seperti apa hidupku kalau aku tak bisa punya anak. Aku tak ingin memikirkannya.

Pada suatu sore musim dingin, aku sudah siap-siap pulang ke rumah. Pikiranku sudah melayang pada urusan menjemput anak-anak dan makan malam. Tiba-tiba teleponku berdering. Aku langsung mengenali suara wanita itu. "Proses adopsi sudah selesai," katanya. "Aku langsung tahu bahwa ia akan menjadi milik kami, begitu ia sudah diserahkan ke dalam pelukanku. Tapi sekarang ia sudah benar-benar sah milik kami. Anda mau datang melihatnya?" Aku senang sekali mendengar kabar baik ini. Kami membuat janji temu untuk besok. Aku sudah memberitahukan bahwa aku akan mengajak seorang fotografer, dan surat kabar kami dengan senang hati akan memberikan foto gratis padanya.

Ketika kami tiba di rumahnya, si bayi sedang tidur. Wanita itu menyilakan kami masuk dan menawarkan minuman. Segala sesuatu di rumah itu sangat menyenangkan. Keharuman cinnamon tersebar, bercampur dengan aroma kopi dan udara rumah itu.
Api menyala di perapian.

  • "Namanya Ben," kata wanita itu, sementara aku mulai mencatat. "Ia sudah tidur nyenyak semalaman, sejak awal. Sekarang ia tersenyum dan mulai bergerak-gerak. Tapi aku tidak ingin terburu-buru membangunkannya. Aku sudah begitu lama menunggu bayi ini. Bagiku tidak apa-apa kalau ia agak lamban." Ia diam sejenak. "Oh ya, aku hampir lupa... Ben mengidap Down's Syndrome."

Aku berhenti menulis, tidak tahu mesti memberikan reaksi bagaimana. Tapi wanita yang baru menjadi ibu itu tersenyum. "Anda lihat, Ben memang ditakdirkan untuk kami. Aku punya banyak waktu untuk mengurusnya, dan ia lebih membutuhkan aku daripada bayi biasa yang normal."

Pada saat itu monitor bayi di meja kopi menunjukkan bahwa Ben sudah terbangun.
Wanita itu berdiri menghampirinya. Kudengar ia menggumam lembut sambil mengangkat bayi itu dan mengganti popoknya. Dan kudengar si bayi membalas dengan gumaman halus pula.Lalu wanita itu membawa bayinya duduk di sofa. Mereka berdua tersenyum ketika difoto.

  • "Anda menginginkan kisah yang berakhir bahagia," kata teman baruku itu. "Sekarang Anda mendapatkannya."
    Sambil mengenakan mantel, aku melayangkan pandang untuk terakhir kalinya dirumah itu. Kulihat wanita itu mengecup kepala bayinya dengan lembut. Aku pun tidak ragu lagi bahwa ucapannya tadi benar sekali.

______________________________________________________________
Love can make you happy but often times it hurts,
but love's only special when you give it to whom it's worth.
So take your time and choose the best.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback