(Randal Jones - Chicken Soup for the Teenage Soul)
Waktu itu usiaku 13 tahun. Ayahku sering mengajakku jalan-jalan naik mobil pada hari Sabtu. Kadang-kadang kami pergi ke taman, atau ke marina, melihat-lihat kapal. Kesenanganku adalah jalan-jalan ke pasar loak, tempat kami mengagumi benda-benda elektronik. Kadang-kadang kami membeli sesuatu seharga 50 sen dolar hanya untuk dibongkar-pasang.
Dalam perjalanan pulang dari acara jalan-jalan ini, Ayah sering mampir ke Dairy Queen, membeli es krim 10 sen. Tidak selalu, tapi cukup sering. Aku tak bisa terlalu mengharapkannya, tapi aku bisa berharap dan berdoa sejak kami mulai berjalan pulang sampai tingkungan penting itu, di mana kita dapat terus lurus membeli es krim atau berbelok dan pulang dengan tangan hampa. Belokan itu berarti kesenangan yang mengundang air liur atau kekecewaan.
Beberapa kali ayah menggodaku dengan mengambil jalan pulang yang panjang.
- "Kita lewat sini saja supaya tidak bosan," katanya, saat kami melewati Dairy Queen tanpa mampir. Tapi, hal itu hanya candanya saja, dan aku dibelikan es krim,sehingga hal seperti itu bukanlah siksaan.
Pada hari-hari yang paling menyenangkan, ia bertanya, dengan nada yang membuatnya terdengar tak lazim dan spontan, - "Kamu mau es krim?" dan aku berkata,
- "Mau, Yah!" Aku selalu memilih rasa coklat, sedangkan Ayah rasa vanilla. Ia memberiku 20 sen dan aku berlari masuk, membeli yang biasa kami beli. Kami makan di mobil. Aku mencintai ayahku dan menyukai es krim - jadi, itulah surga bagiku.
Pada salah satu hari yang sangat penting itu, kami dalam perjalanan pulang, dan aku berharap dan berdoa agar bisa mendengar tawarannya yang dikatakan dengan suaranya yang merdu. Tawarannya pun tiba. - "Kamu mau es krim hari ini?"
- "Mau, Yah!"
Tapi kemudian ia berkata, "Aku juga mau. - Bagaimana kalau kamu yang mentraktir Ayah hari ini?"
Dua puluh sen! Dua puluh sen! Aku termenung. Aku bisa mentraktirnya. Uang jajanku seminggu 25 sen, plus uang tambahan untuk pekerjaan sambilan. Tapi,menabung itu penting. Ayah sendiri yang bilang. Dan kalau yang dipakai uangku,es krim itu hanya menghambur-hamburkan uang saja.
Mengapa waktu itu tak terpikirkan olehku bahwa ini adalah kesempatan emas untuk membalas kemurahan hatinya? Mengapa tak terpikir olehku bahwa ia sudah membelikanku 50 es krim, dan aku tak pernah membelikannya satu pun? Tapi yang terpikir olehku hanyalah "20 sen!"
Dengan memendam perasaan egois, pelit, dan tak tahu terima kasih, aku mengucapkan kata-kata buruk yang terus terngiang di telingaku sampai hari ini,
- "Kalau begitu, tidak jadi."
Papaku hanya berkata, - "Oke."
Tapi, saat kami berbelok menuju rumah, aku menyadari betapa salahnya aku memohonnya kembali. - "Aku yang bayar," rengekku. Tapi ia hanya berkata,
- "Nggak usah, kita nggak perlu es krim kok," dan tak mendengar rengekanku.
Kami pun pulang. Aku merasa tak enak karena sikap egoisku dan tak tahu terima kasih. Ia tidak menyebut-nyebut hal itu lagi, dan juga tak kelihatan kecewa. Tapi justru sikap diamnya itulah yang meninggalkan kesan begitu dalam di hatiku. Aku belajar bahwa kemurahan hati itu adalah jalan dua arah, dan rasa terima kasih kadang-kadang harganya lebih dari "terima kasih". Pada hari itu, rasa terima kasih mungkin harganya hanya 20 sen, dan es krim yang kudapat pasti yang paling enak.
Ada satu hal lagi yang hendak kuceritakan. Kami jalan-jalan lagi minggu depannya, dan saat mendekati belokan penting itu, aku berkata, "Yah, Ayah mau es krim? Aku yang traktir."
______________________________________________________________
Find time to realize that there is one person who mean so much to you,
for you might wake up one morning losing that person
who you thought meant nothing to you.
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback