Pages

Saturday, March 28, 2009

Guru Inggris Sekolah Menengah

(Arnold Fine - Chicken Soup for the Single's Soul)

Nenek Sophie sedang bekerja di dapur ketika cucu perempuannya pulang sekolah.

Remaja itu membungkuk dan mencium wanita tua itu.

  • "Hai, Nenek," katanya. "Lagi bikin apa?"
  • "Makan malam. Bagaimana sekolahmu hari ini?" jawab wanita tua ketika ia membungkuk untuk membalas cium.
  • "Nek, aku sedang jatuh cinta."
  • "Dengan siapa kalau aku boleh tahu? Laki-laki muda tampan yang mengerjakan pekerjaan rumah bersamamu minggu lalu?"
  • "Bukan," kata Jeannie dengan napas terkena panah asmara. "Aku jatuh cinta pada guru Inggrisku. Ia masih muda sekali dan tampan! Ia guru baru di sekolah. Semua ciri fisiknya sempurna! Aku cuma duduk di kelas sepanjang hari dan tak mampu melepaskan pandanganku padanya dan ia bicara begitu indahnya. Kedengarannya seperti penyiar radio."
  • "Yah, bahagia sekali kalau kau dapat mengagumi guru seperti itu," seru Nenek.
  • "Ia membacakan salah satu sajak Elizabeth Barret Browning hari ini," keluhnya. "Aku mau lho mendengarkan dia membaca sepanjang hari. Suaranya sangat dalam dan hangat. Ketika ia membacakan sajak itu,
  • 'How Do I Love Thee,' jujur aku merasa bahwa ia sedang membacakan langsung untukku."
  • "Yah," senyum Nenek, sambil mencoba meretas suasana itu. "Apa kau punya pekerjaan rumah?" Jeannie mengeluh sekali lagi.
  • "Aku ada PR matematika dan aku harus buat karangan untuk pelajaran Inggris."
  • "Nah, Sayang, cepat kerjakan. Kerjakan PR-mu supaya tidak ada yang mengganggumu lagi. Kau bisa menolongku menyiapkan meja untuk makan malam sebelum ibumu pulang." Jeannie, yang masih membicarakan sang bintang, berpaling kepada neneknya dan bertanya,
  • "Nek, pernahkan Nenek jatuh cinta?" Wanita tua itu mulai terbahak-bahak,
  • "Tentu saja! Aku bahkan masih kecil sekali dulu." Ia membungkuk hampir-hampir berbisik kepada anak muda itu dan menambahkan, "... dan aku pun juga jatuh cinta pada guru bahasa Inggrisku. Oh, aduh, ia begitu muda dan tampan." Jeannie menarik kursi dan mulai tersenyum.
  • "Katakan lebih banyak padaku. Ayo katakan kepadaku apa yang telah terjadi." Wanita tua itu mencuci kedua tangannya di bawah keran bak cuci, mengeringkan dengan handuk, dan tersenyum lebar.
  • "Ia pria yang tampan sekali. Nah, yang kulakukan adalah, aku pulang ke rumah dan menulis sepucuk surat cinta kepadanya."
  • "Ah, masa," anak muda itu bertanya dengan tidak percaya.
  • "Yah, aku melakukannya. Kukatakan kepadanya betapa tampannya dia menurutku dan betapa merdunya ketika ia berbicara. Hari berikutnya aku meletakkan surat itu di mejanya ketika tak ada orang lain yang melihat. Bel berbunyi, dan kami melanjutkan pelajaran berikutnya." Jeannie melotot dengan sekulum senyum lebar sekali. "Hari berikutnya," lanjut wanita tua itu, "ketika aku masuk kelas, ia memandangiku. Oh, begitu menyenangkannya. Aku tahu suratku telah dibacanya. Aku bertanya-tanya, bagaimana perasaannya kepadaku. Kemudian ketika melanjutkan pelajaran, ia mengambil sejumlah kertas dari mejanya dan membagi-bagikan kertas itu kepada para murid. Ia menyerahkan sehelai kertas kepadaku dan aku menyadari bahwa itulah surat yang kutinggalkan di mejanya. Aku memandangi kertas itu dan hampir mati. Ia mengoreksinya! Ada koreksi merah di sana-sini di kertas itu. Ia menulis,
  • 'Nona Goodman, temamu baik sekali, tetapi tata bahasamu dan tanda bacanya jelek sekali. Aku terpaksa tidak meluluskanmu untuk latihan ini. Coba buat yang lebih baik lagi.'" Wanita tua itu tersenyum ketika ia mengingat-ingat.
  • "Aku benar-benar malu. Di sebelah lain kertas itu ia menambahkan catatan lain. 'Buatlah perbaikannya dan serahkan pekerjaanmu besok pagi." Jeannie memegang lengan neneknya dan mulai memeluknya.
  • "Kemudian apa yang terjadi?" Wanita tua itu mulai tertawa.
  • "Aku pulang dengan bercucuran air mata.

Mengapa ia begitu tega melakukan hal ini kepadaku? Aku begitu mengaguminya. Ia sungguh-sungguh memberi nilai surat cintaku kepadanya. Tetapi aku duduk dan menulis ulang surat itu dengan segala koreksi yang dikehendakinya supaya aku membetulkannya. Air mataku menetes ke seluruh halaman tersebut ketika aku menulis. Genangan air mata itu begitu tampak. Aku betul-betul sakit hati," jelas wanita tua itu.

"Hari berikutnya di kelas, aku menyerahkan surat cinta yang telah ditulis ulang itu. Ia mengangguk tanda setuju ketika ia melihat surat itu di mejanya. Nah, begitu saja kesudahannya. Percayakah kau bahwa ia bahkan tidak meluluskan aku dalam mata pelajaran bahasa Inggris tahun pertamaku di SMU! Tetapi aku membalasnya."

Wanita tua itu bangkit dari kursinya dan menuju ke tungku. "Aku begitu dibutakan oleh cinta. Dan begitulah tahun-tahun berlalu dan aku lulus SMU dan masuk perguruan tinggi. Pada suatu hari di stasiun bawah tanah, nah, lihatlah, siapa yang naik dan berdiri di hadapanku? Itulah pria tampan ini. Oh, betapa tampannya. Aku tidak tahu apakah ia mengenaliku, tetapi aku mengenalnya. Aku berkata, 'Maaf, apakah Anda...?' Ia memandangiku dan mulai tersenyum. 'Ya ampun,' ia tersenyum. 'Kau pasti gadis cantik kecil yang menulis surat indah kepadaku ketika aku mengajar tahun pertama di SMU itu.'"

"Aku merasa begitu kikuk," seru wanita tua. "Tetapi aku mengangguk dengan malu-malu. Kemudian ia berkata, 'Aku harus minta maaf kepadamu. Bolehkah aku menebusnya untukmu Sabtu malam? Aku mempunyai karcis festival Shakespeare. Aku yakin kau akan menikmatinya.'" Wanita tua itu tersenyum. "Dan begitulah permulaannya. Aku betul-betul seri dengannya. Aku menikahi kakekmu lima puluh tahun yang lalu. Bahkan sampai hari ini ia memanggilku 'pengantin kanak-kanakku.'"

Wanita tua itu menghirup napas dalam dan menambahkan, "Dan sampai hari ini maukah kau percaya, ia masih membetulkan ejaan dan tata bahasaku? Ayo, kita selesaikan membereskan meja itu," seru wanita tua itu. "Kakek akan kembali dari jalan-jalannya beberapa menit lagi."

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback