Kesehatan merupakan investasi yang tidak ternilai harganya. Segala yang kita miliki tidak berarti tanpa kesehatan. Salah satu bagian tubuh yang penting untuk kita jaga kesehatannya adalah mulut.
Mulut merupakan jendela bagi kesehatan tubuh kita secara keseluruhan. Seperti kita ketahui bersama, masalah kesehatan mulut yang paling sering kita alami kala puasa adalah bau mulut atau yang dalam bahasa kedokteran disebut halitosis.
Bau mulut yang tidak sedap ini selain memberikan perasaan tidak nyaman pada mulut, juga menghalangi kita untuk berkomunikasi. Seringkali, bau mulut membuat kita enggan untuk berkomunikasi dengan orang lain karena merasa tidak percaya diri.
Penyebab bau mulut bisa amat sederhana dan langsung. Petai, jengkol, duren, bawang putih, siapa yang tahan? Tetapi karena tidak bersifat permanen dan penyebabnya jelas, penderita tidak serius memikirkannya.
Kebiasaan anak kecil memasukkan benda-benda asing, seperti kertas tisu, ke dalam hidungnya, juga dapat mengakibatkan terkumpulnya bakteri pada sumbatan tisu itu, sehingga setelah beberapa lama dapat menimbulkan bau.
Bau mulut tidak sedap bisa disebabkan oleh makanan, misalnya bawang, petai, atau jengkol. Makanan tersebut akan dicerna di mulut kemudian masuk ke dalam tubuh dan diserap ke aliran darah dan dibawa sampai ke paru-paru. Dari paru-paru inilah kemudian keluar napas yang tidak sedap tersebut.
Selain makanan, xerostomia atau kekeringan mulut juga bisa menyebabkan bau mulut tidak sedap.Gigi berlubang, infeksi gusi, karang gigi juga kerap menjadi kambing hitam. Ketiga hal itu disebabkan oleh bakteri yang berperan dalam pembusukan makanan yang tersisa di rongga mulut.
Sementara itu, penyakit saluran pernapasan seperti radang tonsil dan sinus bisa berperan mempertajam bau mulut.
Bau mulut ketika puasa biasanya disebabkan oleh kekeringan pada mulut atau disebut juga xerostomia. Bagaimana kekeringan mulut menyebabkan bau mulut? Mari kita cermati bersama.
Kurang cairan
Xerostomia merupakan keadaan di mana mulut kekurangan atau kehilangan cairan (saliva/air ludah). Saliva mengandung berbagai komponen zat seperti enzim untuk membantu pencernaan (ptyalin dan mucin) serta ion-ion (kalium, bikarbonat, klorida, dan natrium. Saliva juga mengandung zat antimikroba yaitu thyocianat, lisozym, imunoglobulin, laktoferin dan transferin. Dengan berkurang atau tidak adanya saliva mengakibatkan peningkatan perkembangan bakteri di dalam mulut.
Namun, sering kali bau mulut merupakan gejala dari kelainan organik akibat penyakit kronis. Bila dokter yang telah berpengalaman mencium bau manis menusuk ketika memasuki kamar dengan sederet penderita, ia akan segera menduga adanya penderita sirosis (pengerasan hati) yang sudah mencapai tahap menjelang koma.
Gangguan lever yang kronis sering menyebabkan halitosis akibat metabolisme protein dan lemak tidak berjalan semestinya lantaran fungsi hati terganggu. Maka, dari komponen-komponen itu terbentuk metabolik yang dapat dikeluarkan lewat saluran pernapasan dengan bau spesifik.
Gangguan fungsi ginjal juga menyebabkan halitosis. Pada penderita terdapat kadar ureum yang tinggi, kemudian beredar dalam darah. Melalui proses kimiawi, dihasilkan amoniak yang berbau menyengat itu. Komponen ini kemudian masuk ke dalam sistem pernapasan. Maka, bau mulut penderita sedikit ke arah aroma amoniak.
Pada penderita diabetes pun, bila gula darahnya tak terkontrol dan mungkin juga tinggi, bisa timbul halitosis. Baunya pun khas.
Untuk menghindari masalah-masalah tersebut, kita dapat mengatasinya dengan menjaga kebersihan mulut dengan membersihkan mulut secara teratur dan berkumur dengan cairan antiseptik yang dapat membunuh bakteri-bakteri penyebab sakit di rongga mulut.
Beberapa saran lain untuk menjaga kesehatan dan kesegaran mulut adalah mengasup makanan bergizi dan mengandung serat, minum air putih yang cukup dan hindari kebiasaan merokok serta stres.
Sonia Wibisono
Dokter umum, konsultan kesehatan
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
11 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback