(reltionship)
Awal tahun ini ada debat seru terjadi di Singapura. Seorang kolumnis menulis di surat kabar terkemuka tentang sikap perempuan Singapura yang sekarang cenderung ketus, keras, dan kurang mesra terhadap suami maupun teman pria. Kolom yang ditulis Sumiko Tan itu berjudul "Singapore Women Fierce? So What?" Perempuan Singapura Kejam? Jadi, Mau Apa Kamu?
Dalam tulisan itu dikemukakan berbagai keluhan para pria Singapura yang mengatakan bahwa kaum perempuan Singapura yang sudah berpendidikan tinggi biasanya terlalu suka berdebat (too argumentative), ketus, dan kasar.
Pendeknya, kaum perempuan Singapura terlalu berorientasi karier dan melupakan kodratnya sebagai perempuan yang punya sisi kelembutan, mengingkari ciri-ciri perempuan Asia yang lembut.
Salah satu contoh "kekejaman" perempuan Singapura yang dikeluhkan para pria adalah antara lain bahwa mereka kini enggan mengupas udang bagi suaminya. Mereka mengatakan bahwa dulu mereka melihat ibu mereka mengupaskan udang bagi suami dan anak-anaknya di meja makan.
Mereka ingat "pemandangan" itu sebagai representasi kehidupan keluarga yang manis, mesra, dan hangat. Mengapa sekarang pemandangan seperti makin hilang dalam kehidupan rumah tangga Singapura?
Maka, gegerlah Singapura. Ratusan surat dilayangkan ke redaksi surat kabar itu. Ada yang protes. Tetapi, banyak pula yang malah simpati. Surat yang kebanyakan berbentuk e-mail itu bahkan juga banyak yang datang dari luar negeri.
Seorang perempuan mengirim komentarnya dengan menulis begini: "He, kaum pria Singapura, bangunlah! Hadapi kenyataan ini. Lupakan konsep bahwa seorang perempuan hanya bisa dianggap feminin bila ia bersikap melayani."
Tetapi, sebaliknya, seorang pria di Amerika Serikat justru menulis bahwa ia sendiri merindukan perempuan yang bisa menunjukkan kasih sayang tanpa merasa menjadi pelayan (feeling subservient). "
Mungkin perempuan Singapura sekarang sudah mirip perempuan Amerika, tidak lagi seperti layaknya perempuan Asia pada umumnya," tulis pria itu. "Jangan-jangan," tulisnya menambahkan, "ini malahan hanya karena perempuan ingin menunjukkan kekuatan dan kekuasaannya."
Ada surat yang sangat menarik perhatian saya. Surat itu ditulis oleh seorang perempuan karier yang telah bersuami dan mempunyai beberapa anak. Seperti dinyatakannya dalam surat itu, ia hidup dalam sebuah rumah tangga yang bahagia. "Saya mengupas udang untuk suami dan anak-anak saya di restoran," tulisnya. "
Suami saya memang mampu mengupas udang sendiri. Tetapi, jangan salahkan saya bila saya justru memperoleh kepuasan bisa membuat suami dan anak-anak merasa diperhatikan. Itulah kesempatan saya untuk menunjukkan kasih sayang saya kepada mereka."
"Tidak ada yang lebih membahagiakan saya daripada melihat mata suami dan anak-anak berbinar-binar makan udang yang saya kupaskan. Mengupas udang bagi suami dan anak-anak bagi saya adalah suatu act of kindness, bukan menjadi subservient. Salah sendiri bila ada perempuan yang tidak bisa membedakan kedua hal itu."
Perempuan yang sarjana dan menjadi manajer di sebuah perusahaan itu juga membesarkan semangat kaum pria Singapura. "Jangan takut! Untuk setiap perempuan 'keras' di Singapura, selalu ada sedikitnya dua perempuan lembut yang bersedia mengupaskan udang untuk kalian." Sayangnya, mereka itu barangkali kebanyakan sudah terlanjur menikah dan berumah tangga dengan bahagia.
Di keluarga kami, keadaannya justru sebaliknya. Bukan perempuan yang mengupas udang, tetapi laki-laki. Keluarga kami dulu suka sekali makan malam di Yun Nyan,sebuah restoran hidangan laut yang cukup populer di masa lalu.
Kami sudah berlangganan sejak awal 1970-an, ketika restoran itu masih merupakan warung kecil yang pengap di bilangan Tanjungpriok. Yun Nyan lalu membuka cabang-cabang di berbagai tempat dengan penampilan restoran yang lebih modern. Sekarang, popularitasnya telah mulai merosot sehubungan dengan munculnya banyak restoran hidangan laut baru.
Hidangan pembuka Yun Nyan yang selalu kami pesan adalah udang rebus. Ini adalah udang laut jenis pink shrimp berukuran kecil (sekitar 10 gram per ekor) yang direbus utuh dengan kepala dan ekornya. Ini memang cara gampang dan baik untuk menyajikan udang.
Kuncinya, tidak terlalu lama direbus, dan begitu dikeluarkan dari rebusan harus segera disiram air dingin. Teknik ini dilakukan agar panas proses perebusan tidak terus memasak udang yang sudah dikeluarkan dari panci perebus. Udang yang terlalu lama dimasak akan mengkerut dan keras dagingnya.
Istri saya adalah orang Eropa yang kurang pintar mengupas udang. Begitu juga dua anak pertama kami. Dalam kesepakatan internasional, orang berkulit putih memang kurang mempunyai dexterity (keluwesan jari-jari) untuk hal-hal artistik seperti mengupas udang.
Anak bungsu kami masih terlalu kecil untuk bisa mengupas udang sendiri. Alhasil, jadilah saya menjadi pengupas udang bagi seluruh keluarga. Saya kupas udang panas itu cepat-cepat dan membaginya secara adil ke piring- piring istri dan anak-anak. Tentu saja, setiap sebentar ada juga sebagian yang masuk ke mulut sendiri.
Apakah saya - setidaknya, ketika itu - merasa direndahkan karena harus mengupas udang untuk istri dan anak-anak saya? Tidak, tentu saja. Bukan saja saya melakukannya secara sukarela, tetapi saya bahkan memperoleh kepuasan dapat melakukan small favor seperti itu bagi orang-orang yang saya cintai.
Ada pula kebanggaan sendiri bila kami mengundang tamu yang lain. Dengan bangga istri dan anak-anak mengatakan bahwa suami dan ayah mereka adalah pengupas udang jagoan.
Maklum, kesukaan saya berkutat di dapur memang membuat saya cukup pakar dalam soal mengupas udang. Cukup dengan dua gerakan, mencabut kepala dan menarik ekor, maka daging udang sudah terlepas dari kulitnya. Saya bisa mengupas sekitar enam ekor udang ketika orang lain baru mengupas seekor. Dexterity memang kunci untuk keahlian ini.
Memang, mengupas udang bukanlah isu gender. Ini adalah act of kindness. Dan Anda tidak perlu menjadi laki-laki atau perempuan untuk menjadi seorang yang santun, berbudi, dan siap menolong tanpa perhitungan.
Jadi, kalau lain kali Anda jalan-jalan dan makan-makan di restoran, dan menemukan seorang laki-laki sibuk mengupas udang untuk istri, anak-anak,dan cucu-cucunya, barangkali dia itu adalah ?.. saya. He he he?
Indo community
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
11 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback