Pages

Saturday, December 5, 2009

Jusuf Kalla Mencari Cinta

(nice story)

Suaranya yang lembut dan sikapnya yang tenang, menghapus kepenatan saat menunggu kesempatan wawancara itu. Sikapnya yang santai pun segera menular.

"Belakangan ini memang banyak tamu, apalagi dari media massa yang meminta wawancara. Tidak apa-apa, saya senang menerimanya," ujarnya, sambil mengajak duduk di sebelahnya.

Ketenangan sikapnya itulah yang membuat seorang pemuda kelahiran Watampone, Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942, Muhammad Jusuf Kalla (selanjutnya JK), terpesona. Perasaan cinta itu berawal saat JK bertemu Ida di SMA Negeri III Makassar pada 1962. Ia saat itu duduk di kelas II IPS dan Ida terdaftar sebagai siswi baru.

Sebagai wanita Minang, Ida, anak pertama pasangan Buya Mi'ad dan Sitti Baheram itu, paham, nantinya toh akan dijodohkan dengan pria dari daerah asalnya. Apalagi, ia anak sulung dan satu-satunya perempuan di keluarganya.

Sebab itu, ia selalu terlihat tenang dan biasa-biasa saja bila kakak kelasnya tertarik kepadanya. "Bapak sudah suka sama saya waktu di SMA dulu, tapi saya biasa-biasa saja," kata Ida.

Menginjak kelas tiga SMA, JK yang ketika itu sudah diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, sesekali datang berkunjung ke rumah Ida, bersama teman-temannya. Bukannya bertemu Ida, JK malah menemui ayah Ida, mengajak mengobrol atau bermain halma.

Menjelang ujian akhir sekolah, Ida mendapat kepercayaan mewakili Sulawesi Selatan menari tarian Serampang Dua Belas. Ia menguasai tarian khas Melayu itu, selain juga mahir menarikan tarian Minang dan tarian dari daerah Aceh. Ida meraih gelar juara III dalam kejuaraan yang berlangsung di Medan itu, dan menempuh ujian akhir di sana. JK yang kerap mencari tahu kabar Ida, mengirimkan kartu pos ke Medan menanyakan keadaannya.

Kuliah Sambil Bekerja
Kembali ke Makassar, Ida berniat meneruskan kuliah di Unhas. Tetapi, saat itu orangtuanya mendengar kabar ada lowongan pekerjaan di BNI 1946 (sekarang BNI) dari direktur utama bank itu, yang teman ayahnya. Ibu Ida meminta putrinya bekerja di bank itu.

Sebagai anak yang patuh, Ida menyetujuinya. Ia pupus keinginannya kuliah di Unhas, namun tak pupus keinginannya melanjutkan kuliah. Ia memilih kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) di sore hari,selepas bekerja sebagai teller di bank.

Mengetahui Ida bekerja di bank, JK langsung menjadi nasabah di bank itu. Setiap hari, pukul 10.00 Wita, ia datang ke bank itu, untuk menabung, walaupun tujuan sebenarnya hanya untuk bertemu Ida. "Dari jauh saya sudah lihat Bapak datang. Ia langsung ke tempat saya dan menabung. Tiap hari menabung," Ida tertawa, mengenang.

Tidak puas hanya melihat wajah Ida di bank itu, JK juga melamar menjadi asisten dosen di UMI. JK yang saat itu menjadi Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), diterima menjadi asisten dosen.

Suatu kejadian yang tak pernah dilupakan Ida, yakni saat ia lupa membawa pulpen ketika mengikuti kuliah JK. Sang asisten dosen langsung menawarkan pulpen berwarna keemasan, yang diterima Ida dengan perasaan senang namun malu-malu.

Walaupun semua teman Ida dan JK mengetahui keduanya saling menyukai, namun Ida tetap bersikap biasa-biasa saja, yang menyebabkan ia dijuluki "jinak-jinak merpati". Karena itulah, teman-teman JK menyusun siasat,mendatangi rumah Ida dan memintanya memilih kartu bertuliskan "ARA", kartu kelompok belajar JK. "Saya sebenarnya tidak mengerti maksud mereka, tapi mereka bilang kalau Ida ambil kartu itu, tandanya jadi. Lalu saya ambil saja kartu itu," kata Ida.

Melihat Ida merespons sikapnya itu, JK dan teman-temannya bersorak kegirangan. JK merayakan kegembiraannya bersama empat sahabatnya, berkeliling kota dengan dokar.

Pada sisi lain, sikap Ida tak berubah. Demikian juga aktivitasnya. Tak ada acara berpacaran layaknya anak muda sekarang. Beberapa teman JK kembali mengusulkan memancing sikap Ida. Merekalah yang justru penasaran ingin mengetahui kedalaman cinta Ida kepada sahabatnya. JK menerima saja ide memancing kecemburuan Ida. Ia kemudian sering terlihat membonceng teman sekampusnya, seorang wanita yang memang menaruh hati ke JK.

Ida mendengar kabar itu dari tetangganya. Ia, yang sebelumnya tak pernah menghubungi JK melalui telepon, saat itu juga memutuskan menelepon, meminta JK datang ke rumahnya. JK datang satu jam lebih awal dari waktu yang ditetapkan. "Saya bilang ke Bapak, saya berterima kasih ke Bapak. Selama ini, saya berat mengatakannya, maklum saya ini orang Minang, dan ayah-ibu saya berat melepas saya untuk orang Bugis. Jadikan sajalah yang dibonceng di kampus itu," Ida mengenang ucapannya saat itu.

Dilamar
JK yang tidak menyangka pembicaraan mengarah ke sana, langsung tertegun. Ia menanyakan siapa yang mengabarkan hal tersebut, namun Ida menolak memberitahukannya. Ia menambahkan, bersyukur JK akhirnya sudah menemukan penggantinya dan meminta hubungan mereka tetap terjaga sebagai saudara.

Ida berpesan agar JK tidak melupakannya, dan sebagai saudara, pintu rumahnya selalu terbuka bagi JK. Ia mengajak JK bersalaman, namun JK menolaknya, dan mengatakan Ida salah paham. "Saya tidak suka sama orang itu, dan saya betul-betul sudah salah. Saya cuma ingin memanas-manasi Ida," Ida menirukan ucapan JK yang mencoba meyakinkannya.

Namun, Ida bersikeras menjadi saudara saja. Terus terang, ia merasa cemburu saat itu, tetapi sama sekali tidak memperlihatkan kecemburuannya. Ia tetap tenang seperti biasa. JK pun berlalu dengan lunglai. Saudara-saudara Ida yang menyaksikan adegan itu, merasa kasihan kepada pria yang baik dan akrab dengan mereka. Teman-teman JK yang menunggunya di sudut rumah Ida pun terdiam melihat kesedihan di wajah JK.

Malam itu, mereka menghabiskan waktu duduk-duduk di tepi Pantai Losari.
Tak seorang pun berhasrat mengobrol. "Sampai subuh ia baru pulang ke rumah. Dirumahnya, adiknya memutar gramofon yang mendendangkan Patah Hati (lagu terkenal Rachmat Kartolo, Red). Wah, Bapak bilang ke saya, ia tambah lemas saat itu," kata Ida.

Tetapi, JK tak berlarut kehilangan semangat. Ia pergi ke rumah paman Ida dan menanyakan kemungkinan bisa melamar Ida. Paman Ida malah menyarankan JK mengajukan lamaran langsung ke orangtua Ida.

Dalam keadaan seperti itu, JK yang menyibukkan diri berorganisasi, malah mendengar Ida dijodohkan dengan pria sesukunya, yang tengah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. JK panik. Ia harus mendengar langsung dari mulut Ida. Dalam perjalanan ke Gowa bersama teman-teman satu organisasinya,untuk mengantar pupuk bagi petani di sekitar daerah itu, ia memutuskan mendatangi Ida. Ia meminta teman-temannya yang berada di truk penuh pupuk menunggunya di dekat kantor bank.

JK masuk ke tempat kerja Ida dan meminta izin ke pimpinan Ida untuk berbicara 30 menit. Ida yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Pimpinan BNI 1946 Cabang Sarinah, diizinkan meninggalkan tugasnya. Di mobil, dalam perjalanan ke Gowa itulah, JK menanyakan kabar itu. Ida membenarkannya. "Saya memang dijodohkan dan orangnya gagah sekali. Ia sekarang bersekolah di Amerika," ujar Ida.

"Jadi, kamu terima tidak? Ia gagah dan saya tidak?"
"Saya tidak terima perjodohan itu," ujar Ida singkat.
"Lalu bagaimana saya ini? Kamu terima saya ya?!" JK mendesak.
"Kita lihat sajalah nanti," Ida menjawab, pelan.

Semangat JK tumbuh kembali. Beberapa hari kemudian, ia melamar Ida. Orangtua Ida tidak begitu saja menerimanya, karena mereka telah menyiapkan jodoh untuk putrinya. Namun, sebagai orang yang berpikiran modern, mereka menyerahkan hal itu ke anaknya.

"Saya bilang, terserah Emak dan Ayah. Kalau seandainya diterima,alhamdulillah. Kalau seandainya tidak, ya tidak apa-apa juga. Orangtua saya berpikir, 'oh, Ida mau'. Dan lamaran itu pun diterima," kata Ida.

Mereka bertunangan pada 1966. Kedua belah pihak keluarga memutuskan agar mereka menuntaskan kuliah terlebih dulu sebelum menikah. Setahun kemudian, mereka menikah.

indo community

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback