(thoughtful) SUARA PEMBARUAN DAILY
----------------------------------------------------------------------------
oleh Mudji Sutrisno SJ
Polisi tidur yang dibuat dengan gundukan aspal di jalan kecil semakin meruyak dibuat enam tahunan ini, bersamaan dengan makin macetnya jalan protokol Jakarta sehingga orang makin dicari jalan-jalan tikus agar tidak terjebak kemacetan.
Polisi tidur ini mengatakan banyak hal pada kesadaran kita yang sebenarnya. Mengapa? Pertama, ia menjadi cara paksa menghardik para pemakai jalan terutama yang bermobil dan berkendaraan yang diandaikan seharusnya berjalan pelan karena lewat jalan penuh anak-anak.
Polisi tidur itu menghadirkan protes rambu tajam pada pemakai jalan yang diandaikan sadar diri bila lewat pukul 22.00 malam tidak akan kencang dan memperlambat jalan agar tidak mengganggu rumah-rumah di pinggir jalan yang dilalui. Namun pengandaian itu tak ada yang berjalan sehingga perlu dibangun polisi tidur untuk memaksa si pemakai jalan berkendaraan dengan pelan.
Dari polisi tidur ini saja, bisa langsung kita tangkap rusaknya basis hidup sosial berbangsa, yaitu basis hidup bersama yang seharusnya mengandaikan adanya kesadaran untuk tahu aturan. Karena sepanjang jalan itu, misalnya,banyak anak dan banyak tetangga yang membutuhkan istirahat bila malam tiba.
Bila kesadaran tahu sendiri itu tidak ada, lalu dibutuhkan pemaksa dari luar untuk menyadarkannya, polisi tidur. Bila inner law (batin sadar) tidak ada maka dibuat outer law atau coercive law untuk menyadarkan si pelaku.
Kedua, fenomena polisi tidur mengungkapkan bahwa kita sudah makin tidak bisa mengandalkan trust atau kepercayaan dari kesadaran masing-masing warga. Setiap warga seharusnya dapat dipercaya untuk menimbang sendiri secara dewasa risiko kencang-kencang ngebut di jalan kampung ketika banyak sesamanya sedang main-main (anak) dan yang lain sedang jalan dan berhak juga atas ruang (space) untuk berjalan kaki.
Dengan kata lain, ruang luas jalan publik telah dirampas oleh pengendara-pengendara egois dengan memperluas ruangnya sendiri lewat ketidakpedulian pemakai jalan lain atau penghuni sepanjang jalan. Akibatnya, publik yang marah terpaksa membuat polisi tidur makin tinggi; itu sebagai ekspresi pelanggaran terhadap ketenangan publik yang seharusnya secara normal normatif dihargai.
Semakin jengkel terhadap pelanggaran,semakin diperpendek pula jarak antara polisi tidur yang satu dengan yang lain sehingga Anda yang lewat dengan mobil dipaksa bertegak-tegak dan amat tidak nyaman.
Pecahan Kecil
Cerminan fenomena polisi tidur sebenarnya pecahan kecil dari cermin besar retak bangsa ini dalam hidup bersama atau sosialitasnya. Ketika tingkatan paling dasar sebagai fundamen atau basis hidup bersama yaitu etika atau moralitas kehendak baik.
Di sini hanya karena pendidikan ditanamkan dan dibatinkanlah dari agama-agama, kebijaksanaan lokal, adat, ajaran kepatuhan serta moral baik buruk bersosialitas dalam etika self regulitation atau menguasai diri dari dalam, dari batin sadar sendiri dan tahu sendiri batas-batas wilayah pribadi dan wilayah publik atau orang lain.
Bila basis ethics yang merupakan "internal self regulitation" atau dari nuraniku dan batinku aku sadar untuk menghormati wilayah orang lain atau publik, ternyata selama 40 tahun ini terabaikan pendidikannya, apakah kita heran bila saat ini orang kacau dalam menenggang rasa dan hormat untuk yang lain?
Dalam empat dekade ini, bagian basis mendasar yaitu "ethics" tidak dirawat,tetapi juga terjadinya berbagai jurang, yaitu jurang beda edukasi nilai,jurang kaya-miskin, jurang elite dan rakyat apalagi jurang antara contoh teladan dan omongan; serta tidak ada guru keteladanan karena hal-hal yang batin sudah direduksi jadi materi dan yang berjiwa sudah dihargai sempit dalam nilai tukar uang.
Herankah bila ini merupakan harga yang amat mahal yang harus kita bayar, yaitu tidak ada lagi internal self regulation sebagai nurani moral untuk mengambil keputusan baik untuk diri sendiri maupun sesama?
Karena itu, konsekuensi logis di bangunan lebih atas dari "ethics" adalah diperlipatgandakannya aturan-aturan hukum dan hukum-hukum positif atau law karena asumsi bahwa kesemrawutan dan demoralisasi di tingkat mendasar pasti bisa diatasi bila dibuat aturan-aturan hukum yang pasti, cermat dan jelas.
Namun apa yang terjadi? Justru semakin banyak regulasi paksaan (coercive means) lewat hukum dengan enak saja pelanggaran dilanjutkan dan celah-celah hukum ideal hukum itulah yang diterobos secara kreatif. Dengan kata lain,kita terjebak dalam pembuatan terus hukum-hukum tetapi tidak membereskan akar permasalahan hidup bersama di tingkat basisnya, yaitu moralitasnya.
Hukum Diskriminatif
Jebakan lingkaran setan itu akan makin mengeras karena masyarakat publik dalam membaca praksis konsistensi perilaku dibuat frustasi total lantaran hukum-hukum yang diciptakan itu berlaku diskriminatif.
Artinya, untuk yang berkuasa dan punya fulus serta uang, hukum bisa dibeli sementara untuk masyarakat banyak diterapkan. Paradoks paling spektakuler tragis adalah hukuman penjara untuk pencuri sandal bolong sementara sampai detik ini tak satu pun koruptor kelas kakap ditahan bahkan sudah diputus pengadilan tetapi penahanan bisa tidak langsung dilaksanakan.
Persoalannya bukan sekadar kerancuan superfisial kepentingan politik dan hukum tetapi harus diselami lebih dalam ke dataran basis ethics dan di atas dasar moralitas dibangunlah hubungan positif.
Bila bangunan mendasar krisis lalu dicoba ditambal sulam dengan bangunan diatasnya, yaitu hukum positif (law) yang diperketat tidak kunjung menyelesaikan rimba hidup bersama di mana yang kuatlah yang menang maka satu tahap langkah lagi terwujudlah hidup bersama yang hanya tertib (secara paksa); dan pasti (dengan pemaksaan teror dan penakutan) dalam rezim otoriter di mana "FORCE": kekuatan pemaksaan untuk tertib sosial menjadi diktatornya. Di sini kekuasaan keras akan memaksa kita menjadi manusia baik dengan pemaksaan dari luar.
Herankah kita dalam membaca sejarah-sejarah peradaban bangsa-bangsa lain,bila demoralisasi sudah anarkis akut parah, dan semua produk hukum sudah diperjualbelikan di sanalah menjadi tanah subur lahirnya rezim-rezim otoriter fasis, diktator yang atas nama kepastian hukum, atas nama agama,atas nama demokrasi atau apa pun akan memakai kekerasan kekuatan senjata,pemaksa untuk memerintah. Dari tahun 1980-an di Amerika Latin dan 1970-an di Afrika, kekuatan senjata.
Maka, akhir tulisan ini sebenarnya mengajak untuk melihat dari fenomena polisi tidur ke persoalan serius bahkan amat serius manakala krisis kita tidak segera kita selesaikan secara mendasar. Sebab cerminan main hakim sendiri mewacanakan bahwa baik kita maupun sesama sudah menjadi hakim karena tidak percaya lagi pada hakim! Yang tercuat kasat mata menyimpang makna persoalan. Sebab menurut orang bijak bernama Tacitus: "makin korup suatu negara, makin banyak hukumnya."
Penulis adalah dosen STF ''Driyarkara'' Jakarta.
Fatin Shidqia Lubis - Aku Memilih Setia
11 years ago
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback