Pages

Tuesday, November 17, 2009

BI : Bantu Istri

(thoughtful) Penulis: GedePrama

Salah seorang mantan direktur BI yang pernah sama-sama menjadi pembicara diseminar yang diadakan Infobank, pernah mengejutkan saya. Pasalnya, beliau mencantumkan jumlah isterinya ada dua dalam daftar riwayat hidup yang dibacakan moderator, dan dibenarkan oleh yang bersangkutan di depan umum.


Kontan saja saya yang ada di sebelahnya, sejumlah wartawan yang hadir serta hadirin lainnya bertanya penuh keheranan. "Bagaimana mungkin seorang mantan pejabat teras BI berani memiliki dua istri?", demikianlah kira-kira pertanyaan yang mengganjal di kepala.

Akan tetapi, pertanyaan mengganjal ini tidak bertahan lama. Sebab, selang beberapa menit setelah moderator membacakan daftar riwayat hidup, rekan tadi memerinci siapa-siapa saja istrinya. Istri pertama tentu saja yang legal, konstitusional serta dipamerkan sejak dulu.

Istri kedua, ikut kemanapun sang suami pergi. Ia bernama Siti Nurani. Alias, sang hati nurani. Sayangnya, masih menurut penuturan sang mantan (mondar mandir tanpa jabatan), isteri terakhir ini baru ketemu setelah pensiun.

Setiap kali ada pembicaraan tentang independensi BI, cerita setengah humor ini terngiang lagi dalam ingatan saya. Beberapa pertanyaan sebenarnya masih mengganjal, kenapa ketemu "istri" kedua baru setelah pensiun?



Apakah semua direktur dan mantan direktur BI baru mendengar bisikan sang nurani setelah pensiun? Apakah itu berarti, sangat sedikit kebijakan BI selama ini yang bertumpu pada nurani yang bersih dan bening? Dan masih ada lagi pertanyaan lain yang mengganjal.

Rasa ingin tahu yang usil ini - sebagaimana disiratkan oleh pertanyaan-pertanyaan di atas - tentu saja tidak akan saya dalami dan lanjutkan bila menyangkut direksi di luar BI.

Sebagaimana sering dikemukakan oleh banyak rekan ekonom, lembaga perbankan - lebih-lebih BI dengan seluruh otoritasnya, bukanlah sembarang lembaga. Ia adalah salah satu "mesin" perekonomian yang amat menentukan.

Terutama karena melalui perbankan saving ditransformasikan menjadi investment. Wajah dan nasib perekonomian kini dan juga nanti sangat ditentukan oleh apa yang terjadi dan apa yang dilakukan lembaga perbankan.

Bisa dibayangkan, kalau lembaga dengan peran yang demikian menentukan,kemudian keropos, atau dibangun di atas fondasi kebijakan yang miskin hati nurani?

Masih belum hilang dari ingatan publik, kalau proses recruitment di BI dari dulu hingga sekarang, sangat menggarisbawahi faktor kepintaran. Demikian pentingnya faktor terakhir ini, sampai-sampai hanya mereka yang berindeks prestasi mengagumkan saja yang boleh punya pengalaman ditesting sebagai calon pegawai BI.

Akan tetapi, mendengar cerita rekan mantan direktur BI di atas, sekaligus menyaksikan "nasib malang" BI di tengah krisis ekonomi dan politik terakhir, saya dan juga beberapa rekan yang tahu "kepintaran" orang-orang BI, hanya bisa bengong kebingungan.

Memang, kepintaran dan kearifan adalah dua hal yang tidak sama. Kepintaran lebih berhubungan dengan kecanggihan otak. Kearifan lebih terkait dengan sensitivitas terhadap sang nurani.

Namun, dengan pengalaman BI yang demikian lama dan panjang. Telah mengarungi demikian banyak badai, adakah semacam sinyal-sinyal kelembagaan yang membuat organisasi BI peka dan rentan akan kebersihan dan kejernihan nurani?

Terus terang, ingin sekali saya menjawab "ada" terhadap pertanyaan terakhir. Namun, menyaksikan babak belurnya kredibilitas dunia perbankan kita, yang juga mencerminkan kredibilitas BI, sulit sekali untuk tidak menyimpulkan bahwa BI sebagai organisasi sudah "tuli" akan bisikan-bisikan jernih sang nurani, serta ditinggalkan oleh kemajuan masyarakat.

Masyarakat yang sudah melek informasi, tinggi pendidikannya, tahu hak-hak demokrasi, serta sejumlah atribut kemajuan lainnya, hanya direspon dengan manajemen museum yang hanya terdiri dari tumpukan kebijakan lama dan usang.

Disebut lama, karena keadaan baru direspons dengan kebijakan masa lampau. Lihat saja, adakah hal baru dari cara BI menangani krisis kepercayaan terhadap dunia perbankan?

Disebut usang, karena tidak ada satupun terlihat langkah yang menunjukkan bahwa mereka berada di depan dalam membuka jalan kemajuan. Bahkan, dalam banyak kasus, keterlambatan-keterlambatan dalam mengantisipasi keadaan membuat organisasi BI terpaksa diamputasi. Berdirinya BPPN adalah bentuk amputasi yang sangat memalukan dan menyedihkan.

Di tengah keraguan-keraguan ini, sangat sulit bagi saya untuk memberikan kontribusi intelektual terhadap topik independensi Bank Indonesia.

Sebagaimana banyak dibahas dalam dunia keilmuan, independensi dan obyektivitas memang bukan barang mudah. Lebih dari itu, saya meyakini tidak ada satupun manusia yang seratus persen independen dan obyektif.

Demikian juga dengan lembaga. Akan tetapi, ada manusia dan lembaga yang lari ke hati nurani di tengah semesta relativitas ini, ada juga yang memanfaatkan relativitas terakhir untuk berjalan semau gue mementingkan diri sendiri.

Untuk mengklasifikasikan di mana seseorang atau sebuah lembaga berdiri dalam kerangka terakhir, sekali lagi, ini juga relatif. Sesuatu yang hanya bisa dijawab secara penuh oleh yang bersangkutan. Dalam kejernihan dan kebeningan nurani tentunya.

Menyangkut nurani terakhir, seorang sahabat lama yang sudah lama tak jumpa,tiba-tiba muncul di salah satu lapangan golf. Merasa sama-sama "gila" karena sama-sama bermain golf (golongan orang-orang lupa fikiran), saya bertanya tidak sabar tentang profesinya.

Dengan tuntas ia menyebut profesi Dirut BI. Tentu saja saya tidak percaya karena BI dipimpin Gubernur bukan Dirut. Rupanya, mirip dengan cerita mantan direksi BI di awal artikel ini,ia juga setengah bercanda.

Menurut rekan ini, Dirut BI kepanjangannya dirumah terus bantu istri. Alias pengangguran akibat PHK. Lagi-lagi saya bertanya: istri yang mana? Sebuah pertanyaan yang juga berlaku pada pemimpin BI yang sedang in power.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback