Pages

Saturday, October 3, 2009

SENTIMENTAL JOURNEY

Kompas, 4 November 2007
Parodi: "SENTIMENTAL JOURNEY"
Samuel Mulia, penulis mode dan gaya hidup

---------------------------------

Duduk di bagian belakang di dalam sebuah mobil besar, saya menikmati perjalanan ke Bandung. Mobil besar yang panas karena pendingin ruangannya bekerja setengah hati, dan guncangan yang tak bedanya dengan truk masih membuat saya mampu menggunakan kata menikmati untuk melukiskan perjalanan akhir pekan minggu lalu itu.

Perjalanan yang membutuhkan waktu dua jam setengah itu cukup membosankan, apalagi kalau pergi dengan angkutan umum seperti itu, di mana manusia didalamnya tak satu pun saya kenal.

Setelah beberapa jam perjalanan, saya disuguhi pemandangan sawah nan hijau yang sebenarnya sudah beberapa kali saya lihat saat saya bepergian ke kota hujan itu. Namun, entah mengapa, hari itu saya melihatnya dengan perasaan mendalam dan yang menerbangkan lamunan saya ke masa kecil dahulu.

Pemandangan itu menggambarkan sawah yang sedang menghijau, beberapa petani sedang melakukan aktivitas, dan beberapa rumah kecil di tengah sawah. Saya teringat akan lukisan yang pernah saya lihat di rumah makan padang atau lukisan-lukisan yang dihasilkan dari pelukis tak ternama. Suasana pedesaan yang menenangkan batin, yang sederhana, yang tak tergesa-gesa. Sebuah suasana yang sekarang jarang bisa saya nikmati.

Blast from the past
Pemandangan itu juga melambungkan kenangan lama di sekolah dasar dulu ketika saat pertama saya mengenal buku belajar membaca dengan tiga tokohnya, yaitu Hasan, Tuti, dan Sudin yang sampai hari ini melekat erat di kepala saya, seperti juga saya tak pernah lupa saat pertama kali keperjakaan saya hilang melayang.

Buku pelajaran membaca itu juga menyuguhkan sebuah suasana kampung yang damai,yang sejahtera, yang tak membersitkan rasa permusuhan. Dan saat saya melintasi perjalanan itu perasaan rindu ke masa kecil dahulu menyergap begitu saja. Merindukan suasana bermain layangan dengan teman sekampung, merindukan berjalan di tengah sawah dengan kaki dan tangan bersimbah lumpur.

Kemudian saya mengingat kembali saat guru melukis saya mengajak saya belajar bersama beberapa teman di tengah sawah di belakang rumahnya. Duduk di dangau dan mencoba melukiskan alam di kanvas putih, bercita-cita mengalahkan Antonio Blanco dan Picasso. Di tempat itulah kami merasa gembira. Melukis alam dengan rasa bahagia.

Di dangau itu juga kami melihat seorang bapak sedang menikmati makan siangnya, disapu angin semilir yang hangat. Entah ia kepanasan atau tidak, saya tak tahu. Yang jelas ia tak membutuhkan pendingin dangaunya itu, seperti saya sangat membutuhkan pendingin di dalam mobil yang bergoyang seperti truk itu.

Suasana persawahan dalam perjalanan ke Kota Bandung itu membuat saya bertanya-tanya, sedemikian cepatnyakah masa bahagia itu berlalu? Kalaupun seperti kata pepatah tak ada pesta yang tak akan pernah usai, maka saya hanya berangan-angan agar pesta yang satu ini jangan usai terlalu dini. Pada kenyataannya pesta itu sudah usai saat saya tak pernah lagi punya waktu melihat ke masa penuh sukacita itu.

Kalau saja saya bisa mengulangnya kembali dan saya akan memilih kembali pada suasana sentimental seperti pemandangan yang disuguhkan dalam perjalanan itu dan bukan saat saya dipermalukan kepala sekolah bahwa saya ini bodoh seperti ayam tak punya otak,

maka saya hanya akan memilih suasana yang sangat saya rindukan,yang tak menyakitkan hati saya, berjalan bersama teman di pematang sawah, mandi di kali di belakang rumah yang cukup luas dengan pohon mangganya yang besar, dan yang mampu membuat ibu saya menjerit melihat anaknya tiba di rumah dalam keadaan basah kuyup.

Obat mujarab
Saya merindukan bermain hujan bersama adik saya, tertawa, dan saling mendorong menikmati air yang dicurahkan Tuhan setahun sekali itu. Kami tak takut petir yang menyambar dan suara geledek yang memekakkan telinga.

Masa di mana kesusahan hidup tak perlu dipikirkan, masa depan pun seperti tak penting rasanya. Masa dimana saya tak pernah berpikir saya ini bisa berbeda pendapat dengan adik saya ketika kami mulai besar dan memiliki pemikiran di jalan berbeda.

Suasana yang sederhana itu sungguh nikmat diingat kembali. Saat saya menulis parodi ini, beberapa kali saya berhenti. Membiarkan diri saya melayang ke masa bahagia itu. Kadang saya tersenyum sendiri dengan rasa rindu yang dalam.

Setelah lama dan terbiasa dengan hiruk pikuknya kota besar, terbiasa dengan berteriak dan tak punya toleransi, maka duduk di belakang mobil umum itu sebuah kenikmatan
yang tiada tara.

Lama, lama sekali saya tak pernah punya waktu untuk melihat kembali ke masa bahagia itu. Saya berpikir, masa depan yang penting, masa lalu sudah tinggal untuk masa lalu, tak berguna untuk dinikmati kembali, apalagi kalau masa itu menyakitkan.

Inilah pertama kalinya saya bisa membebaskan diri selama dua jam perjalanan, menggunakan mesin waktu ke masa lalu yang membahagiakan itu, yang seperti sebuah obat mujarab buat batin saya yang sekarang ini mungkin sudah seperti patchwork, carut-marut.

Masa lalu itu memampukan saya berkaca kembali. Membandingkan keadaan saya yang dahulu dan yang sekarang ini. Bukan soal perbedaan tinggi dan berat badan, bukan persoalan dahulu tak punya baju dan sepatu bermerek, tetapi melihat perbedaan seberapa besar kebahagiaan yang dahulu dan sekarang.

Kebahagiaan macam apa yang saya peroleh dahulu dan sekarang? Apa definisi kebahagiaan saya dahulu sudah berubah sekarang ini? Seberapa jauh saya sudah berubah, dari manusia yang sederhana menjadi manusia yang penuh kepura-puraan dan tipu muslihat. Gambaran masa lalu itu seperti sengatan setrum yang membuat saya bisa membandingkan secara signifikan, kualitas hidup, dan batin saya.
Dahulu dan sekarang ini.

Saya pikir, saya harus menyediakan waktu sesering mungkin untuk sebuah perjalanan sentimental semacam ini. Bukan hanya untuk kerinduan semata, tetapi untuk senantiasa mengingatkan diri saya sendiri seberapa jauh saya sudah berjalan dan apakah jalan yang saya tempuh itu benar adanya.

Tentu perjalanan sentimental ini tak perlu berakhir dengan senantiasa duduk di belakang angkutan umum, bergoyang seperti truk dan kegerahan karena pendingin ruangan yang sakit hati.

Kilas Parodi
Coba sediakan waktu untuk melihat album masa kecil Anda atau apa pun yang bisa membawa Anda lagi pada masa dimana belum ada busway.
  1. Kalau Anda sekarang ini menjadi pejabat, dan penjahat juga (dan yang tahu Anda sendiri), coba melihat lagi album masa lalu Anda, apakah menjadi pejabat dan atau penjahat sudah ada di benak Anda sejak masa kecil dulu.
  2. Kalau Anda seorang jdenderal, mau itu kancil atau tidak, apakah Anda berjuang seperti saat Anda masih muda dahulu? Kalau dahulu ada penjajah dan Anda berjuang melawan penjajah, apakah foto-foto perjuangan Anda sekarang sudah berdebu?
    Lupakah Anda penjajah sekarang bentuknya berbeda, dan apakah perjuangan Anda tak surut bahkan padam seperti senter yang habis baterainya melawan penjajah?
  3. Kalau Anda seorang wanita, coba lihat masa muda Anda dahulu, ketika rambut Anda masih dikucir dua, ketika ayah Anda menggendong Anda, apakah sejak itu Anda sudah punya cita-cita menjadi penganggu suami orang? Apakah peristiwa digendong itu membuat Anda kemudian merasa nyaman dan mencari gendongan di tempat yang tidak senonoh sekarang ini?
  4. Kalau Anda seorang pria, coba melihat kembali ke foto-foto lama saat Anda bermain sepakbola, atau berfoto bersama saat mendaki gunung, apakah masa lalu itu tetap bersama Anda, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Atau sekarang kesetiakawanan itu berubah menjadi bersatu kita rugi bercerai semakin untung?
    Termasuk melihat mengapa Anda mampu menyakitkan pasangan Anda dengan menjadi tidak setia dalam perkawinan yang Anda sendiri putuskan untuk melakukannya.
  5. Kalau Anda melihat kembali masa lalu melalui album itu dan melihat hidup Anda yang sederhana, ayah dan ibu Anda yang bersahaja, dan sekarang Anda menjadi kaya raya dan semuanya tak bersahaja, apakah apa yang Anda dapatkan sekarang ini merupakan sebuah kompensasi karena Anda tak mau bersahaja seperti ayah Anda dahulu? Kalau ya, itu tak masalah. Yang masalah adalah bagaimana caranya Anda menjadi kaya raya sekarang ini.
  6. Kalau masa lalu Anda tak bahagia, masa kecil Anda penuh luka, cobalah menilai apakah gara-gara itu Anda jadi senang membuat dan melihat orang terluka dan Anda menjadi manusia yang penuh iri hati dan mudah tersinggung?
  7. Kalau sudah selesai melihat album lama, coba Anda evaluasi apakah Anda yang dahulu berbeda dengan yang sekarang. Apakah Anda berubah atau tak berubah? Kalau berubah, apakah Anda berubah jadi domba, apa jadi serigala?


    http://www.kompas.co.id/ver1/Kesehatan/0711/04/062918.htm

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback