Pages

Sunday, June 14, 2009

TANGAN TANGAN IBU

(thoughtful story) by Janie Emaus
Sebagai remaja kita hidup dalam dunia yang berbeda dari ibu kita, sebuah dunia dimana para ibu seakan duduk mengawasi dari tepi.Tentu saja, hampir tiap orang mempunyai dan mengalami, itu hal2 tidak mengenakkan yang tidak bisa dihindari.

Hari ini, ketika aku sendiri mendekati dan mencapai tepian itu, aku dengan seorang putri remajaku sendiri, aku memandang ibu melalui mata yang berbeda. Kadangkala aku begitu berharap aku bisa menghentikan tahun2 dan menyetop proses penuaannya, menghentikannya dari terus meng-ulang2 hal yang sama.

Kami sedang duduk dimeja makanku ketika matahari membentuk suatu mosaic sinar diubin lantai. Putriku, Anna, duduk disamping ibuku. "Kapan Rick akan datang?", kata ibuku, menanyakan suamiku. "Aku tak tahu, Ma," jawabku dengan sabar. "Dia akan datang makan malam."

Aku menarik napas panjang dan bangkit dari meja. Ini paling sedikit kesepuluh kalinya ia menanyakan itu dalam tempo menit yang sama. Selagi ibuku dan putriku bermain Monopoli, aku menyibukkan diri menyiapkan salad. "Jangan kau masukkan bawang samasekali," kata ibu. "Kau tahu betapa ayah benci brambang." "Iya, Ma," jawabku, sambil mengembalikan brambang kedalam lemari es.

Aku sikat bersih sebatang wortel dan me-motong2nya keukuran kecil2. Aku mulai mengiriskan pisau kedalam wortel dengan lebih banyak tenaga daripada yang diperlukan. Sepotong jatuh kelantai. "Jangan masukkan sepotong bawang pun kedalam salad." ibu mengingatkan aku. "Kau tahu betapa ayah membenci brambang."

Sekali ini aku tidak bisa menjawab. Aku hanya terus melanjutkan mengiris. Memotong. Menangis. Ah, seandainya aku bisa memotong, menghilangkan tahun2 itu. Mencincang penuaan dari wajah dan tangan2 ibu. Kembali kemasa hari2 sekolah menengahku, disaat ibu pindah dari ruangan keruangan, meninggalkan jejak wewangian apapun yang ia pakai saat itu.

Ibuku dulu begitu cantik. Sekarangpun ia masih. Sesungguhnya, ibuku masih sama dan tak berubah sedikitpun, hanya ia menjadi sedikit pelupa. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa hanya itu saja, dan apabila ia betul2 berkonsentrasi, ia tidak akan meng-ulang2 begitu sering.

Tak ada yang tidak beres dengannya - tidak pada ibuku. Aku mengiris ujung pangkal ketimun dan menggosokkannya pada bagian tangkainya untuk menghilangkan rasa pahit. Getah putih mulai keluar dari sekeliling sisinya.

Alangkah senangnya apabila segala urusan dan situasi kurang mengenakkan bisa diobati dengan cara begini gampang? Potong dan gosok. Ini sebuah kiat yang kupelajari dari ibu,bersama satu triliun hal2 lainnya: memasak,menjahit, berkencan,tertawa, berpikir.

Aku belajar bagaimana untuk tumbuh dewasa dan kapan untuk tetap tinggal tinggal muda. Aku belajar seni untuk memilah diantara emosi2. Dan aku belajar bahwa bila ibuku hadir, aku tak pernah harus takut. Jadi mengapa aku perlu takut sekarang?

Aku amati tangan2 ibuku. Kukunya bukan lagi warna merah menyala, melainkan warna merah muda sekali, hampir2 tak berwarna. Dan ketika mengamatinya, aku sadar aku bukannya melihat tangan2 melainkan merasakan ketika mereka itu membentuk masa remajaku.

Tangan2 yang menyiapkan dan membungkus ribuan kali makan siangku dan menghapuskan sejuta air mata dari pipiku. Tangan2 yang menyelipkan kepercayaan diri ke- dalam tiap hari kehidupanku.

Aku berbalik dan melemparkan ketimun itu kedalam wadah. Lalu tiba2 aku terhentak. Tangan2ku telah tumbuh menjadi serupa tangan2 ibuku. Tangan2 yang telah memasak dan mengolah makanan2 yang mentah, menyopir ratusan mil ketempat antar-jemput-mobil anak, yang menggenggami jari2 putriku yang ketakutan pada hari pertamanya kesekolah, dan yang mengeringkan air mata dari wajahnya.

Aku tumbuh dengan hati lapang tenteram. Aku bisa merasakan ibu menciumi aku selamat malam, memeriksa apakah jendela sudah terkunci, lalu meniupkan kecupan lagi disela pintu saat keluar. Lalu aku jadi ibuku sendiri, meniupkan ciuman yang sama kepada Anna dari telapak tangan yang sama. Diluar semuanya hening. Bayangan2 jatuh diantara pepohonan, terbentuk menyerupai potongan2 gambar puzzle.

Suatu hari putriku akan berada ditempatku, dan aku akan beristirahat ditempat dimana ibuku kini sedang duduk. Akankah, saat itu, aku ingat bagaimana rasanya menjadi ibu sekali gus jadi seorang anak? Akankah aku bertanya terlalu banyak satu kali? Aku berjalan mendekat dan duduk diantara ibu dan cucunya.

"Mana Rick?" tanya ibuku, disandarkan tangannya dimeja disamping tanganku. Celah kosong diantara kami menjadi lebih sempit daripada saat aku masih remaja,hampir2 tak tampak. Dan saat itulah aku tahu ia masih ingat.

Boleh saja ia mengulang diri satu kali lebih banyak. Tetapi ia ingat, [ia masih punya daya ingat]. "Ahh, dia bakal kesini kok," kataku dengan sebuah senyum. Ibuku senyum kembali, dengan salah satu raut muka dimana lesung pipinya ikut menentukan bentuk wajahnya, mirip seperti dan menyerupai putriku. (JM)
********************************************
Shared by Joe Gatuslao

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback