(thoughtful story) Sent by Tina Alvarez
Author: Max Lucado,
Pria tua itu berjalan menelusuri pantai Florida. Matahari yang sedang tenggelam seperti sebuah bola oranye dicakrawala. Ombak berdebur mengais pasir. Bau khas air laut menyengat udara . Pantai itu kosong. Tidak ada sinar matahari untuk menghangati para pencari matahari. Tidak juga cukup cahaya lagi bagi nelayan. Jadi, selain beberapa pelari dan orang yang jalan2, pria itu cuma seorang diri.
Sebuah ember ia tenteng dalam tangannya yang terlihat kurus. Sebuah ember terisi udang. Itu bukan untuk dia. Bukan pula untuk ikan. Itu untuk burung2 camar laut. Ia berjalan ke arah sebuah dermaga terpencil bermandikan sinar keemasan dari matahari yang sedang turun itu. Ia melangkah keluar menuju ujung dermaga itu. Saatnya telah tiba untuk upacara mingguan. Ia berdiri dan menunggu.
Sebentar kemudian langit dipenuhi sekelompok besar titik2 yang ber-dansa2. Keheningan sore hari itu hilang terganti bunyi ramainya kicauan burung2. Mereka seakan memenuhi langit dan menutupi tempat2 tambatan.
Mereka sedang berziarah menemui orang tua ini. Selama setengah jam atau sekitarnya, orang yang berambut lebat,punggung-agak-terbungkuk ini, akan berdiri didermaga dikelilingi oleh burung2 lautan,sampai embernya kosong.
Tetapi meski makanan sudah habis, teman2nya yang berbulu itu masih tinggal. Mereka seakan tinggal melekat tertarik pada hal lain selain sekedar makanan saja. Mereka hinggap ditopinya. Mereka berjalan didermaga. Dan mereka menikmati berbagi suatu saat kebersamaan. Pria tua didermaga itu tidak bisa melewatkan seminggu tanpa mengucapkan "terima kasih."
Namanya ialah Eddie Rickenbacker. Sekiranya anda hidup dalam Oktober 1942, anda mungkin ingat pada hari saat ia diumumkan hilang disamudra. Ia ditugaskan dalam sebuah misi menghantarkan sebuah pesan pada Jendral Douglas MacArthur.
Dengan anak buah yang dipilihnya sendiri, ia terbang melewati Pasifik Selatan dalam sebuah pesawat B-17 yang lebih dikenal sebagai "Benteng Terbang". Entah kenapa, disuatu tempat mereka tersesat, bahan bakar habis pula, dan pesawatnya jatuh.
Seluruh anggota ABK menyelamatkan diri lewat rakit penyelamat. Mereka mati2an berjuang melawan cuaca, gelombang air laut, ikan2 hiu, dan teriknya matahari. Tapi, terutama,mereka memerangi rasa lapar. Setelah delapan hari, ransum persediaan makanan pun habislah. Sudah betul2 tak ada pilihan lainnya. Dibutuhkan mujijat untuk menyelamatkan mereka.
Dan sebuah mujijat benar2 terjadi! Seusai kebaktian bersama suatu sore,orang2 itu berdoa dan mencoba untuk istirahat. Ketika Rickenbacker hampir tertidur dengan topinya yang menutupi matanya, sesuatu mendarat dikepalanya.
Belakangan ia berkata,ia tahu itu adalah seekor burung camar-laut. Ia tidak tahu darimana ia kok bisa tahu; pokoknya ia tahu. Camar itu berarti makanan......kalau bisa ditangkap ...... Dan ia berhasil.
Dagingnya mereka makan. Usus dan jerohannya dipakai sebagai umpan ikan. Dan demikianlah mereka semua bertahan hidup. Apa yang dikerjakan si burung camar itu ditengah samudra raya, ratusan mil dari daratan? Hanya Allah yang tahu.
Tapi apapun juga alasannya, Rickenbacker sudah amat bersyukur. Karena itu, setiap Jum'at sore kapten tua ini berjalan kedermaga, embernya terisi penuh dengan udang and hatinya terisi penuh juga dengan puji syukur penuh terima kasih.
Kitapun akan amat bijak untuk berbuat sama. Kita juga punya banyak kesamaan dengan Rickenbacker. Kita, juga, telah diselamatkan oleh seorang Tamu Yang Mengorbankan Diri. Kita,sama-sama, telah ditolong oleh yang Esa yang datang dari teramat jauh sekali yang cuma Allah saja yang tahu asalNya.
Dan kita, sama seperti kapten itu, mempunyai setiap alasan untuk menatap kelangit....... dan bersyukur penuh sembah sujud. (JM)
Resent by Joe Gatuslao -- Bacolod City,Philippines
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback