Pages

Wednesday, June 3, 2009

Matahari Terbenam Tanpa Senyum

Ditulis oleh: Gede Prama

Ada sebuah kegiatan murah meriah yang kerap saya lakukan dulu ketika masih tinggal di kota Denpasar Bali, yakni menunggui matahari. Kalau waktu yang tersedia di pagi hari, maka Sanurlah tempatnya. Di sore hari, Kutalah lokasinya. Yang jelas, mata hari terbit di pagi hari, maupun matahari terbenam di sore hari bagi saya sama indahnya.

Sinarnya yang kemerah-merahan. Gerakannya yang pelan dan perlahan. Cincin atau lingkaran yang mengelilingi matahari, semuanya itu menjadi sebuah berkah Tuhan yang layak dinikmati. Rugi besarlah mereka yang tidak pernah menikmati matahari.

Belasan tahun setelah semua itu berlalu, di Jakarta yang pantainya tidak sebersih dan seindah pantai Bali, ada perasaan kehilangan yang mendalam terhadap keindahan matahari. Hari-hari yang dulunya selalu di awali dengan senyuman matahari pagi, diakhiri dengan redupnya pelan-pelan senyuman matahari sore, sekarang diganti dengan hari-hari yang teramat berbeda. Di pagi hari, kehidupan saya dimulai dengan berderingnya alarm tanda harus bangun. Di malam hari, ia diakhiri dengan badan yang lelah dan letih, lantas tidur.

Isinya kehidupan memang berganti dari hari ke hari, tahun ke tahun. Tetapi, tidak ada matahari tenggelam hari itu yang saya biarkan tenggelam tanpa senyuman. Entah senyuman pada anak sendiri atau anak mertua. Senyuman pada orang-orang yang saya temui. Senyuman pada kehidupan. Di rumah, bahkan kerap saya tersenyum pada pohon, sungai, rumput, burung - sebuah kebiasaan yang bisa membuat orang mengira kalau saya ini gila.

Kenapa senyuman teramat penting dalam hidup saya, karena ia tidak hanya berguna pada orang atau mahluk yang melihat senyuman saya, ia malah lebih berguna pada pemilik senyuman. Kalau panca indera berfungsi dasar sebagai jembatan antara manusia dan alam semesta, senyuman memiliki fungsi dasar yang lain.

Senyuman, paling tidak menurut saya, berfungsi sebagai jembatan antara kita dengan orang dan mahluk lain, dan yang lebih penting lagi menjadi jembatan antara kita dengan sang hati. Makanya, dalam banyak kesempatan saya ungkapkan ke banyak orang, salah satu pintu menuju pada hati bernama senyuman. Mungkin malah menjadi salah satu pintu yang yang paling lebar dan longgar. Ia terbuka pada siapa saja yang rajin menabur senyuman. Lebih-lebih kalau senyuman itu ditabur dengan tangan-tangan keihklasan dan ketulusan. Ibarat menabur benih bunga yang sehat di lahan yang subur, ia akan tumbuh, berkembang, berbunga tiada henti, seperti matahari yang menghiasi bumi setiap hari.

Coba rasakan sendiri di dalam hati masing-masing. Bedakan antara kondisi hati ketika kita stres, depresi atau menangis. Dan bandingkan dengan kondisi hati ketika kita tersenyum. Bukankah bedanya amat teramat berbeda ? Dalam keadaan stres dan depresi, semua ingatan tentang hati plus seluruh kemuliaannya, seperti lenyap begitu saja. Dalam senyuman yang ikhlas dan tulus, apa lagi ditambah dengan rasa syukur yang mendalam, hati seperti sedang bernyanyi.

Kalau digambarkan secara visual, di sekeliling hati yang dibungkus muka yang penuh senyuman ada ribuan bunga indah melayang-layang. Lengkap dengan kupu-kupunya yang penuh warna. Tidak hanya pemilik hati yang penuh suka cita, alam dan kehidupan juga ikut tertawa gembira. Dalam tataran renungan yang lebih dalam, dengan senyuman kita sedang ikut memperbaiki sang hidup dan kehidupan.

Dengan latar belakang seperti ini, kalau ada orang yang teramat miskin dengan senyumannya, ia layak untuk merenungkan kembali sifat pelitnya akan senyuman. Apapun alasannya - dari anggapan bahwa senyumnya tidak menarik, orang lain tidak membalas senyuman kita, takut dicurigai, dst - senyuman bukanlah kekayaan yang tepat kalau disimpan sendiri.

Ibarat mobil yang rusak mengkarat kalau tidak pernah dipergunakan, senyuman juga demikian. Tanpa digunakan, ia akan merusak hubungan kita dengan orang lain, membuat pintu hati tertutup rapat, dan membuat sang kehidupan seperti besi yang penuh karat : kotor, berdebu, kurang bermanfaat.

Dalam cermin renungan yang berwajah begini, banyak sekali manfaatnya kalau kita berani mendidik diri untuk tersenyum. Mulanya memang kelihatan dan terasa memaksa. Ada perasaan dan penampilan sedang tidak menjadi diri sendiri pada awalnya. Akan tetapi, sebagaimana karet gelang yang kita tarik cukup sering secara perlahan, ketika mulai ditarik ia melawan kencang, kemudian lama-lama menjadi longgar dan tidak melawan.

Anda bisa memulainya dengan cara Anda sendiri. Bisa memulainya di depan cermin, di depan anak-anak di rumah bersama burung, pohon dan sungai (dengan catatan tidak dilihat orang lain). Pipi dan bibir ini memang menolak dan melawan pada awalnya. Demikian juga komentar orang lain saat saya baru belajar berbicara sambil tersenyum di depan publik. Ketika baru mulai dilihat aneh. Tetapi begitu ia menjadi biasa, tidak ada gangguan dan hambatan yang berarti.

Tidak sedikit tenaga, biaya dan hambatan dari orang lain yang melelahkan yang telah dibayarkan untuk ini. Namun, tetap terus mencoba memperbaiki kuantitas dan kualitas senyuman. Sebab, kalau ada matahari di hari ini yang terbenam tanpa senyuman pada sang kehidupan, itu berarti kita sedang melakukan perusakan pada alam, kehidupan. Dalam bentuknya yang lebih menakutkan, kehidupan tanpa senyuman adalah sejenis penghianatan.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback