Pages

Monday, May 4, 2009

Tanda Cintanya

(nice story) (Patricia Forbes - Chicken Soup for the Couple's Soul)

Tak pernah terpikir olehku bahwa tiket pesawat terbang kami akan berarti tiket pergi-pulang untukku dan satu kali jalan untuk Don. Kami dalam perjalanan ke Houston untuk operasi bedah jantung, operasi Don yang ketiga. Secara umum kondisi Don sehat dan bugar, dan umurnya baru enam puluh satu. Dokternya yakin bahwa dia akan selamat melewati operasi penggantian katup jantung. Banyak pasien lain yang selamat melewati dua atau lebih operasi jantung. Don juga akan selamat.

Hari operasi tiba. Hari yang sangat penting. Enam jam setelah dia dioperasi,dokter keluar untuk menjelaskan kepadaku bahwa mereka tak bisa melepas Don dari mesin jantung-paru. Jantungnya tak mau berdetak lagi. Bilik kiri buatan dimasukkan sebagai pengganti. Setelah dua hari digunakan, mesin implan itu harus dikeluarkan. Don koma selama lima hari,hidupnya bergantung pada alat-alat bantu yang tersedia.

Pada pagi hari ketika para dokter menyerah dan mengatakan bahwa kami mungkin kalah dalam pertempuran itu, aku menjenguk Don pada waktu yang sama seperti biasa, menggenggam tangannya, dan mengatakan betapa aku sangat mencintainya. Kubisikkan bahwa aku tahu dia sedang berjuang untuk kembali kealam sadar, bahwa aku merelakan dia melakukan apa yang harus dilakukannya. "Aku selalu mencintaimu," bisikku. "Aku ingin kau tahu bahwa kalau kau harus pergi, aku akan baik-baik saja." Malam itu dia meninggal.

Aku pulang ke Denver - ditemani saudara laki-lakiku yang menyayangiku. Anak-anak datang untuk menghadiri pemakaman, mereka memberiku dukungan yang penuh cinta. Tetapi, aku tetap merasa sangat kehilangan. Aku menemukan Don lagi setelah tiga puluh tahun berpisah.

Setelah selesai kuliah, kami melanjutkan hidup kami masing-masing; aku di Houston, Don di Denver. aku bercerai. Suatu hari aku menemukan sepucuk surat dan foto pacarku ketika kuliah dulu dan aku terdorong untuk menyuratinya. Temuan itu bagaikan tegur sapa "apa kabar selang tiga puluh tahun." Aku menemukan alamatnya di buku telepon Denver lalu menyuratinya. Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Dia membalas dan menceritakan bahwa istrinya meninggal dua bulan sebelum datangnya suratku. Kami bersurat-suratan sampai akhirnya memutuskan untuk bertemu lagi. Reuni itu sangat mengesankan.

Kami saling jatuh cinta, hubungan kami santai dan nyaman seperti sekian tahun lalu. Kami menikah bulan April, dua tahun setelah bertemu lagi. Aku pindah ke Denver. Kami melewatkan enam tahun yang tenang dan indah bersama-sama. Kami berencana untuk melewatkan tahun demi tahun bersama-sama.

Satu hari sebelum pemakamannya, aku duduk di beranda belakang rumahku, merasa bahwa hidupku pun sudah berakhir. Lebih dari segalanya, aku ingin mendapat kepastian bahwa sekarang Don dalam keadaan baik, bahwa dia tidak menderita lagi, bahwa dia sudah menemukan kedamaian, dan bahwa rohnya akan selalu mendampingiku. "Tunjukkan kepadaku," aku memohon. "Berilah aku sebuah tanda."

Musim panas tahun itu Don menanam sepetak mawar untukku, mawar kuning. Dia selalu menyebutku "mawar kuning-ku dari Texas." Tanaman itu tidak tumbuh seperti yang kami harapkan. Sudah tiga bulan tak satu kuncup bunga pun muncul di batangnya. Sekarang, pandangku teralih ke petak mawar itu.
Aku kaget, tak percaya melihat apa yang kulihat, aku bangkit dan berjalan mendekat agar bisa melihat lebih baik. Ada satu batang penuh kuncup-kuncup segar yang mulai merekah.

Ada enam kuncup mawar kuning yang utuh sempurna, satu untuk setiap tahun yang kami nikmati bersama. Mataku berkaca-kaca, aku berbisik, "Terima kasih."

Sekuntum mawar kuning yang indah sempurna tergenggam di tangan Don ketika esok harinya dia dimakamkan.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback