(thoughtful story)
Ketika anakku, joey, berumur sebelas tahun, mendadak ia terkena panic disorder yang kemudian berkembang menjadi agoraphobia. Serangan serangan panik yang dialaminya sangat hebat, sampai sampai selama hampir setahun penuh ia terus mengurung diri di kamarnya. Sementara itu suamiku dan aku dengan bingung mencari pengobatan untuknya.
Akhirnya, setelah sebelas bulan seperti hidup di neraka,kami menemukan psikiater yang memberikan resep Prozac, obat yang memberikan hasil yang sungguh luar biasa. Suamiku dan aku sangat bersyukur bahwa Tuhan telah mengembalikan anak kami dari dunia mimpi buruk yang menghantuinya selama ini.
Selama masa itu kami juga mengunjungi sekian banyak dokter untuk mencari tahu penyebab masalah joey, dan kami menemukan bahwa selama ini la mengalami kesulitan menangkap pelajaran. Selama bertahun-tahun ia bersekolah, tak seorang pun menyadari kenyataan ini.
Kami diberitahu bahwa hal inilah yang merupakan salah satu sebab, atau mungkin sumber penyebab, serangan kepanikan itu. Sekarang, setelah joey sembuh dari panic disorder tersebut, kami mesti mencarikan sekolah yang khusus menerima anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Ternyata itu tidak mudah. Setelah melihat catatan kesehatannya, tak ada yang mau menerima joey.
Semua sekolah yang khusus menerima anak-anak yang mengalami kesulitan belalar mengatakan bahwa murid murid mereka memiliki masalah dalam menerima pelajaran,bukan masalah emosional. Anak kami tidak cocok masuk di situ, kata mereka. Mereka tidak mempunyai sarana untuk menangani anak seperti joey.
Semua psikolog yang kudatangi mengatakan bahwa masalah emosional yang timbul pada anak-anak semacam joey diakibatkan oleh ketidak mampuan mereka menerima pelajaran. Tapi ketika aku menyampaikan hal itu pada para pejabat sekolah yang kudatangi, mereka tidak mau mendengar. joey ditolak di setiap sekolah.
Ada satu sekolah khusus yang sangat kuminati untuk joey, karena sekolah itu mempunyai reputasi yang sangat bagus, dan dekat dengan rumah kami. Aku sudah berusaha keras memasukkan joey ke sekolah ini, tapi mereka selalu menolakku. "Tolong beri kesempatan pada anakku," pintaku. Tapi tak ada yang peduli, dan aku semakin putus asa.
Suatu malam, kebetulan aku menghadiri sebuah acara amal. Aku duduk di samping seorang wanita yang lebih tua, bernama Barbara. Aku kenal dia, meski tidak akrab. Aku tahu ia seorang tokoh masyarakat yang terkemuka, sangat kaya dan berpengaruh. Sekonyong-konyong, sebelum aku sempat berpikir atau mencegah diriku sendiri, tahu-tahu aku sudah menumpahkan seluruh permasalahanku tentang joey pada wanita ini.
Bahkan sambil berbicara pun aku masih merasakan betapa tidak pantas perbuatanku ini. "Kenapa kau menceritakan masalahmu pada wanita inl?" aku memarahi diriku sendiri dalam hati, sambil terus saja menyampaikan kesulitan-kesulitanku. Tapi, entah kenapa aku tak bisa berhenti. Dan aku terus bicara, sampai aku selesai menceritakan detail-detail perjuanganku untuk memasukkan joey ke sekolah khusus yang kuincar itu. Selesai bercerita, aku terperangah akan diriku sendiri.
Apa yang telah kulakukan ini? Tapi aku terheran-heran karena Barbara ternyata tidak menunjukkan sikap mengambil jarak ataupun memandangku dengan kesal. Aku bahkan sangat terperanjat melihat matanya berkaca-kaca ketika ia menepuk-nepuk tanganku untuk menghibur.
"Sayang," katanya dengan hangat, "kau telah menceritakan masalahmu pada orang yang tepat. Kebetulan aku tinggal bersebelahan dengan pendiri dan direktur sekolah itu, dan kebetulan juga aku adalah salah satu penyumbang terbesar mereka. Aku malah sudah sering kali mengadakan pesta untuk mencari dana bagi sekolah ini, dan telah mendapatkan banyak sumbangan untuk sekolah ini. Anggap saja anakmu sudah menjadi murid di sekolah itu saat ini. Aku berjanji. Kau bisa memegang janjiku."
Aku serasa tak percaya akan keberuntunganku. Sungguh suatu mukjizat bahwa aku duduk di samping Barbara. Dan sesuai dengan janjinya, ia menggunakan kemampuannya yang persuasif dan pengaruhnya untuk membuat anakku diterima disekolah itu untuk tahun pelajaran berikutnya. joey berhasil dengan gemilang, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, ia menjadi juara.
Aku merasa sangat berutang budi pada Barbara, maka aku tetap menjaga hubungan baik dengannya, mengiriminya hadiah dan kartu. Menjelang setiap hari raya aku selalu meneleponnya dan di antara kami terjalin persahabatan. Selama masa itu aku mengetahui dari orang orang lain bahwa Barbara sendiri banyak mendapat masalah dengan kedua anaknya.
Yang sulung, seorang anak lelaki, adalah pencandu obat bius yang belum lama ini menghilang entah ke mana; yang bungsu, anak perempuan, agak terbelakang dan banyak mengalami masalah dalarn berbagai hal. Aku sangat bersimpati pada Barbara, apalagi ia sering kali menanyakan perkembangan anakku, dan tampaknya la benar-benar senang mendengar bahwa joey mendapat kemajuan pesat.
Persahabatan kami terus berkernbang, sampai sekitar satu tahun... kemudian suami Barbara meninggal secara mendadak. Aku berangkat ke upacara pemakamannya. Untuk pertama kali aku akan bertemu dengan keluarganya. Ketika aku turut antre di barisan yang maju perlahan lahan untuk menyampaikan ucapan belasungkawa pada keluarga itu, sekonyong-konyong aku tertegun melihat sosok yang serasa sudah kukenal duduk di samping Barbara.
"Siapa wanita muda itu, yang duduk di samping Barbara?" tanyaku pada wanita di belakangku. "Oh, Itu putri satu-satunya, Nancy," sahut wanita itu. "Yang itu... yang agak terbelakang." Aku terkesiap,dan lenganku langsung merinding. Sekarang semuanya mendadak menjadi jelas. Sekarang aku tahu pasti bahwa Barbara memang ditakdirkan untuk menjadi perantara yang akan menolong anakku.
Dua puluh lima tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di sebuah SMA swasta,seorang gadis yang agak terbelakang-namanya aku sudah lupa-masuk ke kelas kami. Sekolah kami sebenarnya bukan sekolah untuk murid yang keadaannya demikian,tapi orangtua gadis itu kaya dan mereka berhasil membujuk pihak sekolah untuk memberi kesempatan pada gadis itu, agar gadis itu mendapat pendidikan biasa secara urnurn. Kekayaan dan pengaruh mereka bisa, melenyapkan semua rintangan dan gadis itu pun diterima, meski dengan keraguan besar.
Namun hari-hari di sekolah itu tidaklah mudah bagi gadis ini. la tidak dipandang sebelah mata pun. Semua orang boleh dikatakan menghindarinya... semua orang, kecuali aku. Sejak dulu aku selalu bersimpati pada pihak yang lebih lemah, dan aku selalu berusaha untuk mendekati mereka. Begitu pula yang kulakukan terhadap gadis ini.
Dalam perjalanan wisuda SMA ke Washington D.C., tak ada yang mau sekamar dengan gadis ini di hotel. Aku menawarkan diri untuk sekamar dengannya, dan meskipun pengalaman itu tidak menyenangkan, aku senang telah melakukannya. Setelah lulus,seisi kelas berpencar dan mengambil jalan masing-masing. Beberapa temanku tak pernah kedengaran beritanya lagi, beberapa telah kulupakan. Termasuk... Nancy.
Dan sekarang ternyata Nancy-lah yang duduk di samping Barbara. Nancy yang telah lama terlupakan, yang ternyata anak perempuan Barbara. Selama di SMA aku belum pernah bertemu atau berbicara dengan ibu Nancy, dan belum pernah ada kesempatan yang memungkinkan kami berkenalan. Namun rupanya hidup kami saling berkaitan erat, dan takdir kami saling bersimpangan. Saat barisan orang di depanku semakin sedikit dan aku semakin dekat pada Barbara dan Nancy, mataku berkaca-kaca.
Dua puluh lima tahun yang lalu aku telah menolong anak perempuan Barbara. Dua puluh lima tahun kemudian, Barbara membalas apa yang telah kulakukan bagi anaknya. Kini ganti dialah yang menolong putraku. Mungkin ingatan manusia terlalu pendek, tapi untunglah ingatan Tuhan sangat panjang.
-Blanche Purcell*
Kebajikan atau perbuatan baik yang kita lakukan tidak lenyap begitu saja ke ruang hampa. Pada akhirnya selalu ada kemungkinan kita akan mendapatkan balasannya. Kadang-kadang balasan itu datang dengan cepat, dan kita bisa langsung melihat hubungan antara perbuatan kita dan balasan yang kita terima.
Tapi ada perbuatan perbuatan yang baru berpuluh-puluh tahun kemudian diberi balasan, namun ketika balasan itu tiba sering kali kita terperanjat melihat betapa tepat waktunya. Tentu saja kebajikan itu sendiri sudah memberikan kepuasan pada yang melakukan, dan kita berbuat kebaikan tentunya bukan dengan keinginan untuk mendapat balasan.
Tapi tetap sangat membahagiakan kalau sesekali kita tahu bahwa Tuhan mengangguk senang melihat perbuatan kita; anggukan yang menyatakan bahwa kita telah melakukan apa yang benar, dan bahwa perbuatan perbuatan kita dicatat oleh alam semesta yang selalu ingat.
(taken from Small Miracles By Yitta Halberstam & Judith Leventhal)
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback