Pages

Tuesday, May 12, 2009

Cara JITU Meraup Kenalan Baru!

Berkenalan itu tidak gampang. Salah strategi, justru bisa runyam akibatnya. Berikut jurus berkenalan secara aman menyenangkan. Selasa, pukul 19.20. Helmi (25) memarkir mobilnya di Hotel Hiton, Jakarta. Manajer pemasaran sebuah perusahaan makanan instan ini agak gelisah.

Sepuluh menit lagi acara di Grand Ballroom akan dibuka. Inilah jamuan makan malamnya yang pertama. Wajar jika sarjana ekonomi alumnus PTN di Semarang ini agak nervous. Maklum, belum genap sebulan jabatan itu diembannya. Tentu tak banyak yang dia kenal dalam pertemuan asosiasi antarmanajer pemasaran itu. Soal table-manner sih ia sudah paham.

Tapi soal etika berkomunikasi... Ketika keluar mobil, Helmi berpapasan dengan seorang pria. Pria berkumis dan berdasi di depannya itu mengangguk sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Agak ragu Helmi membalas. Makium, ia belum mengenal pria itu.

Apa yang dilakukan pria itu sebenarnya memperkenalkan diri. Helmi tak perlu gugup. Apa yang dilakukan pria itu pun benar. Menurut Indayati Oetomo, international director John Robert Powers, "Di tempat parkir kita tak perlu melakukan perkenalan dengan cara formal. Cukup melambaikan tangan atau menganggukkan kepala."

Sedangkan jika berada di lift, tambah Indayati, kita cukup menyebut nama tanpa harus berjabat tangan, kbususnya jika di dalam lift terdapat banyak orang. Empat Langkah Rahasia Menapaki tangga ke tempat pertemuan, langkah Helmi kian berat. Seluruh wajah yang ada di sana terasa asing. Sebenarnya, ia tak perlu gentar untuk membuka komunikasi dengan orang yang baru dikenal Ada empat langkah yang disarankan Dr. Lillian Glass dalam bukunya Confident Conversation sebelum kita berkenalan.

Langkah-langkah itu:

  1. Tersenyumlah. Jika Anda kurang suka pada cara Anda tersenyum, lihatlah ke cermin, dan carilah bentuk senyum yang paling pas. Lemaskan otot-otot wajah yang membentuk senyum itu. Ekspresikan ketulusan hati lewat senyuman.
  2. Kontak wajah. Arahkan seluruh wajah, bukan hanya mata Anda. Selain matanya, tataplah juga setiap bagian wajahnya (kening, rambut, hidung,dagu, dan sebagainya). Saat berbicara, sapu pandangan Anda ke seluruh wajahnya lima detik, lalu ke matanya tiga detik, ke setiap bagian wajahnya tiga detik dengan interval 2 - 3 kali.
  3. Jabat tangan. Bersiaplah untuk sewaktu-waktu berjabat tangan. Genggaman yang penuh, bertenaga, dan hangat, lebih impresif ketimbang genggaman lemah dan ogah-ogahan. Hal itu juga mencerminkan rasa percaya diri yang besar.
  4. Ucapkan "Halo" dengan hangat. Tunjukkan antusiasme, tapi kontrollah suara, jangan terlalu keras.

Ketika Helmi mulai terbenam dalam kelompok para manajer itu, ia masih juga merasa canggung. Padahal, jika saja ia telah melakukan saran Dr. Lilian,maka tinggal maju selangkah lagi. Perhatikan pula nasihat Indayati Oetomo, "Jika, standing party, kita boleh berkenalan sambil benjabat tangan atau mendatangi orang yang diajak berkenalan (lebih proaktif terhadap orang lain).

Sebaliknya, bila berkenalan di meja makan, sebaiknya berdiri dan tidak dalam keadaan mulut penuh atau tangan kotor." Untunglah, jamuan malam itu berbentuk standing party. Helmi bisa lebih leluasa. Tapi ia perlu mempertimbangkan faktor tempat, karena mempengaruhi kualitas perkenalan.

"Tempat bising membuat kita memperbesar intonasi dan volume, hal ini dapat mempengaruhi penerimaan lawan bicara kita. Atau juga mempengaruhi konsentrasi keduanya, misalnya di mal. Jadi, efektivitas komunikasi juga dipengaruhi kenyamanan tempat," ujar Indayati Oetomo.

Menginjak Sepatu Lawan
Sebelum "berburu" dan menentukan "mangsa" Helmi tak boleh gegabah langsung main "terkam". Menurut Indayati, sebelum membuka komunikasi dengan orang yang sama sekali tak dikenal, "Kita harus memiliki sikap positif, artinya tidak berprasangka negatif, agar tidak mempengaruhi daya tangkap dan persepsi kita saat melakukan komunikasi."

Hal yang juga penting, imbau Indayati, "Kita hendaknya mencari tahu dulu bagaimana kira-kira kepribadian lawan bicara kita. Hal ini dapat dilakukan apabila emosi kita terkontrol baik dalam memberi kesempatan lawan berbicara tentang dirinya melalui pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan."

Kemudian, setelah memahami "skenario" itu, barulah Helmi bisa memanfaatkan jurus yang ditawarkan Lillian Glass, yang mengajari Dustin Hoffman hingga memperoleh suara "wanita" dan bahasa tubuh dalam peranannya di film Tootsie, "Setelah tersenyum, memandang penuh, mengulurkan tangan, serta mengucapkan ?halo? dengan penuh percaya diri, selanjutnya berilah penjelasan singkat tentang siapa Anda. Hindari kesan arogan, atau merendahkan lawan bicara.

Disarankan, menyebut lengkap tempat pekerjaan serta posisi Anda di kantor itu, ketimbang Anda hanya menyebut jenis profesi Anda." Namun, menurut adat ketimuran, pandai-pandailah membaca situasi, jangan sampai terkesan menyombongkan diri. Yang tersulit adalah memulai percakapan. Lillian menyebut ucapan pembuka sebagai "pemecah batu".

"Suasana dingin dan kaku harus dicairkan, dengan pilihan topik yang positif. Hal-hal aktual dalam pemberitaan koran, radio, atau televisi bisa menjadi pembuka jalan. Tapi, jangan pilih topik yang terlalu berat atau terlalu spesifik. Apalagi yang hanya diminati oleh segelintir orang.

Cuaca bisa juga jadi pilihan." Jika tengah menikmati hidangan, mungkin bisa dimulai dari kualitas rasa hidangan, atau memancing apresiasi cita rasanya, misalnya, "Tampaknya Anda menyukai steak-nya." Agar lebih "masuk" ke dalam diri lawan, Indayati Oetomo menganggap perlu sekali kita menempatkan "kaki kita pada sepatu lawan".

Maksudnya?
"Komunikasi yang efektif akan mudah dihasilkan apabila kita dapat menyatu dengan kepribadian lawan bicara (empati), sehingga secara tak langsung kita akan dapat membuat lawan bicara menyetujui topik yang kita komunikasikan."

Caranya, latihlah diri Anda menjadi pendengar yang baik bagi lawan bicara, serta latihlah diri membuat analisis yang tepat melalui feedback (bertanya kembali).

Mengembangkan percakapan
Pembicaraan akan tetap menarik, apabila dilakukan dua arah. Jadi, tidak hanya membicarakan diri sendiri atau mendominasi. "Hendaknya tidak bersifat pribadi dan sisipkanlah sedikit humor. Jadi,tidak terkesan terlalu tegang," saran Indayati.

Helmi agaknya telah bisa "menguasai" perkenalan. Ia mengunyah saran Lillian untuk menjadi pengamat yang baik. "Lewat kontak mata atau kontak wajah, pantau terus apakah ucapan Anda membuat gerak tubuhnya berubah.

Jika antusiasme bicaranya menurun, itu pertanda ia bosan atau tersinggung. Segeralah pindah topik. Bisa juga Anda mengamati penampilannya, simak aksesori yang menjadi aksentuasi penampilannya. Ini bisa menjadi jembatan untuk bergeser kemasalah fashion atau mode aktual.

Namun, Indayati Oetomo mengingatkan adanya hal-hal yang tabu dibicarakan pada kenalan baru. Antara lain, "Bertanya tentang status, hal-hal pribadi,usia, rasialis, politik, dan kepemilikan orang lain. Karena bisa menyebabkan selera makan jadi turun."

Saran Lillian Glass - pelatih aktris tunawicara pemenang Oscar, Marlee Matlin, saat bintang film Children of a Lesser God itu harus berbicara pertama kalinya di depan publik - oleh Helmi ternyata langsung dipraktikkan, yakni jurus memberikan komentar yang personal.

"Lo, Anda berasal dan Kota Manado? Ah, buburnya bikin saya kangen. Saya pernah menikmati ayam rica-rica di kawasan Air Madidi. Pedasnya mengesankan sekali."

Menutup Perkenalan
Betapapun asyiknya pembicaraan itu mengalir, Helmi menyadari, ia harus memburu kenalan baru lainnya. Apalagi durasi jamuan makan malam ini terbatas. Tapi, bagaimana mengakhirinya?

Ia pun teringat advis Lillian Glass, yang tentunya senada dengan nasihat lndayati Oetomo. Jika Anda sudah memulai percakapan yang amat menarik,akhirilah dengan cara yang tidak melukai perasaan lawan bicara. Misal, "Ah, menyenangkan sekali mendapat teman mengobrol seperti Anda. Mungkin kita bisa melanjutkannya di lain waktu. Saya akan call Anda suatu saat, OK?"

Lalu, jabat erat tangannya disusul tukar-menukar kartu nama. Itu tentu akan memberi kesan akhir yang indah. Pukul 22.00 jamuan selesai. Helmi melangkah ringan ke pelataran parkir dengan hati membunga. Ia mengobral senyum dan lambaian tangan ke siapa saja yang ditemui, persis pria berkumis tadi. Helmi serasa menjadi manajer senior, dengan segepok kartu nama di kantungnya. (Intisari)


-----------------------------------------------------------------------

Indo community

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback