Pages

Wednesday, May 20, 2009

Bobby, Aku Tersenyum

(nice story) (Chicken soup for the teenage soul II)
Ketika aku berusia sepuluh tahun, sekolahku tutup, dan. aku dipindahkan ke sekolah lain di kota lain yang dekat jaraknya. Di setiap kelas, guru akan mengatur murid-murid duduk menurut abjad nama. jadi, aku selalu duduk di samping murid yang itu-itu juga. Namanya Bobby, dan ia sangat mudah bergaul, sementara aku sangat pernalu. Aku sulit berteman, tapi Bobby berhasil mengalahkan rasa maluku sehingga pada akhirnya kami jadi berteman.

Tahun-tahun berlalu, dan kami berdua mengalami banyak pengalaman bersekolah-cinta pertama, kencan ganda, permainan. sepak bola pada jumat malam, pesta, dan dansa. Bobby adalah temanku. Orang kepercayaanku. Tidak jadi soal bahwa kami sangat berbeda-Bobby yang populer,ganteng,bintang sepak bola yang percaya diri yang punya pacar cantik; sementara itu, aku yang gembrot, gadis remaja yang kuper dan tak percaya diri. Tapi nyatanya kami bisa berteman.

Pada suatu pagi di musim semi pada tahun terakhir kami di SMU, aku membuka lokerku dan betapa terkejutnya aku karena ada setangkai bunga. cantik di dalamnya. Aku melihat ke sekelilingku, mencari siapa gerangan yang memberiku bunga. itu, tapi tak ada yang berdiri menunggu pernyataan terima kasih dariku.

Aku tahu, Gerry, temanku di kelas sejarah, naksir aku. Apakah ia yang memberiku hunga? Saat aku berdiri dan termenung, temanku Tami lewat.

  • "Bunganya bagus," katanya.
  • "Iya, memang bagus. Ditinggalkan di lokerku, tanpa kartu. Tapi sepertinya aku tahu dari siapa,' kataku. "Aku tak berminat berkencan dengannya, tapi bagaimana caranya memberitahu ia tanpa menyinggung perasaannya?"
  • Tami berkata, "Oke, kalau kau tidak berminat pergi dengannya, bilang sama dia bahwa aku berminat. Ia kan sangat memesona!"
  • "Tapi, Tami," kataku, "kau kan tahu bahwa aku dan Gerry sama sekali berbeda? Tidak mungkin serasi."
  • Mendengar kata-kataku, Tami tertawa dan berkata, "Bukan Gerry yang memberimu bunga, tapi Bobby."
  • "Bobby? Bobby Matthews?"

Lalu Tami bercerita. Tadi pagi, ia berpapasan dengan Bobby di pelataran parkir sekolah. Dilihatnya Bobby membawa bunga, dan karena penasaran, ia bertanya untuk siapa bunga itu. Jawabnya hanyalah untuk seseorang yang istimewa dan dimaksudkan untuk membuat harinya ceria.

Aku terharu oleh cerita Tami, tapi berpendapat bahwa bunga itu dimaksudkan untuk diberikan padaku secara anonim. Lalu, pagi itu kubawa bunga tersebut ke dalam kelas, dan kupasang dibangkuku. Bobby melihatnya. dan. berkata sambil lalu,

  • "Bunganya bagus."
  • Aku tersenyum dan berkata, "Iya, cantik sekali."
  • Beberapa menit kemudian, waktu kami berdiri dan mengucapkan Sumpah Kesetiaan, aku berbisik kepadanya, "Trims, " lalu meneruskan pengucapan sumpah tersebut.
  • Saat kami duduk kembali, Bobby bertanya, "Trims untuk apa?"
  • Aku tersenyum. "Untuk bunganya."
  • Mula-mula Bobby berpura-pura heran, tapi ketika memenyadari aku mengetahui rahasianya, ia bertanya, "Tahu darimana?"

Aku hanya tersenyum dan balik bertanya mengapa ia memberikan bunga itu kepadaku.

  • Hanya sekejap ia ragu, lalu menjawab, "Aku memberikannya kepadamu sebab aku ingin kau tahu bahwa kau memang istimewa."

Sekarang, saat aku mengenang kembali masa tujuh belas tahun persahabatan kami, kurasa aku paling mencintai Bobby pada saat itu. Bunga pemberiannya itu tampak kurang bermakna dibandingkan dengan tindak kebaikannya yang tak terduga dan murni. Kebaikannya itu sunggguh sangat berarti bagiku saat itu--dan juga sekarang.

Sebagaimana yang diharapkan Bobby, aku memang merasa istimewa-bukan hanya pada hari itu, tetapi juga hari-hari berikutnya. Untuk mengutip Mark Twain, orang bisa hidup sebulan menikmati pujian. Hal itu memang benar. Aku pernah mengalaminya. Sewaktu akhirnya bunga itu layu dan mati, aku menyimpannya di antara lembaran buku.

Bertahun-tahun setelah itu, aku dan Bobby terus berteman baik, dan meskipun jalan hidup kami berbeda arah, kami tetap saling kontak. Ketika Bobby berusia dua puluh lima tahun, ia menderita kanker tingkat lanjut. Beberapa waktu sebelum ulang tahunnya yang kedua puluh tujuh, ia meninggal.

Sejak itu, aku tak ingat berapa kali aku mengenang hari di musim semi itu, yang terjadi di masa lalu. Aku masih menyimpan bunga kering dalam buku itu, dan jika aku mendengar kata-kata klise "Ingatlah dengan senyuman", aku yakin kata-kataitu digubah oleh orang yang mengerti benar makna persahabatan, dan kenangan indah yang abadi tentang tanda kebaikan. Bobby, aku tersenyum.

E Keenan
_______________________________________________
If we want a love message to be heard, it has to be sent out.
To keep a lamp burning, we have to keep putting oil in it.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback