Pages

Thursday, May 14, 2009

Bertukar Peran

Malam itu malam Sabtu, dan aku baru pulang dari mendaki salah satu Red Rocks di Sedona. Malam itu dingin, bulan sudah tinggi, dan aku tak sabar ingin segera naik ke tempat tidurku yang hangat. Penasihat akademikku,Bunny, menghampiriku saat aku berjalan ke kamar asramaku. Ia membawaku ke rumahnya dan di sana ia memberitahu bahwa ibuku mengalami kecelakaan yang parah, tertabrak mobil, dan telah dibawa ke ruang ICU di rumah sakit terdekat dalam keadaan kritis.

Waktu aku tiba di rumah sakit, nenekku menarikku ke samping dan mengatakan aku tak boleh menangis di depan ibuku. Seorang perawat membuka kunci pintu yang menuju bangsal besar yang berisi mesin di mana-mana. Bau obat yang menyengat membuat mual perutku yang sudah mulai tak nyaman. Kamar ibuku tepat di sebelah tempat jaga perawat.

Saat aku masuk ke kamar itu, aku melihatnya berbaring miring,membelakangiku, dan tampak bantal empuk di antara kakinya yang dibalut. Aku berusaha untuk keluar lagi, tapi tak bisa. Aku perlahan berjalan kesisi tempat tidur dan berkata "hai" dengan suara yang tenang, menekan keinginanku untuk berseru.

Kondisi tubuhnya yang seperti mayat membuatku terpana. Wajahnya yang bengkak tampak seakan habis dipompa dan ditendangi seperti bola sepak,matanya dikelilingi lingkaran memar yang gelap, dan ada selang yang memasuki lehernya dan lengannya.

Dengan lembut aku memegang tangan ibuku yang bengkak dan dingin, aku mencoba tetap tenang. Ia terus menatapku dan memutar matanya ke belakang sambil membenturkan kepalanya ke tempat tidur. Ia mencoba memberitahu bahwa ia sedang sangat kesakitan. Aku berpaling darinya, mencoba menyembunyikan air mata yang bergulir di wajahku. Akhirnya aku harus meninggalkannya sebentar karena aku tak dapat menahan kesedihanku. Saat itulah terpikir olehku bahwa aku mungkin bisa kehilangan ibuku.

Aku menemaninya sepanjang hari; akhirnya dokter mengeluarkan respirator dari lehernya beberapa lama. Ia mampu membisikkan beberapa kata, tapi aku tak tahu harus membalas dengan apa. Aku ingin menjerit, tapi aku tahu itu tak boleh. Aku pulang dan menangis sampai tertidur.

Sejak malam itu, hidupku benar-benar berubah. Hingga saat itu, aku beruntung bisa menjadi seorang anak, hanya harus menghadapi melodrama kehidupan remaja yang dilebih-lebihkan. Konsepku tentang krisis sekarang sudah berubah selamanya. Seraya ibuku berupaya untuk tetap hidup dan kemudian belajar berjalan lagi, prioritas dalarn hidupku berubah drastis. Ibuku membutuhkanku. Cobaan dan keluhan kehidupan sehari-hariku di sekolah, yang tampak begitu penting sebelumnya, sekarang tampak tak penting lagi. Aku dan ibuku telah menghadapi kematian bersama, dan kehidupan memiliki makna baru bagi kami berdua.

Setelah seminggu bergantung pada kehidupan di ICU, kondisi ibuku cukup membaik sehingga boleh tidak memakai respirator lagi dan dipindahkan kekamar biasa. Ia akhirnya tak lagi dalam bahaya, tapi karena kakinya sudah remuk, masih diragukan apakah ia bisa berjalan lagi. Aku bersyukur ia masih hidup. Aku menjenguk ibuku di rumah sakit sesering mungkin selama dua bulan berikutnya. Akhirnya, sejenis kamar rumah sakit disiapkan di ruang keluarga di rumah kami, yang membuatku lega dan bahagia karena ibu dibolehkan pulang.

Kepulangan ibuku adalah rahmat bagi kami semua, tapi ini berarti tanggung jawab baru untukku. Memang ada perawat yang menjenguknya, tapi sebagian besar akulah yang harus merawatnya. Aku memberinya makan,memandikannya, dan ketika akhirnya ia mampu menggunakan toilet, aku membantunya ke kamar mandi. Terpikir olehku bahwa aku kurang-lebih memainkan peran ibu bagi ibuku sendiri.

Tidak selalu menyenangkan, tapi enak rasanya ada di sana saat ibuku benar-benar membutuhkanku. Bagian tersulit bagiku adalah mencoba untuk selalu ceria, untuk menyemangati ibuku saat ia frustrasi akibat rasa sakit dan ketidakmampuannya melakukan hal-hal kecil untuk dirinya sendiri. Aku selalu tersenyum pada saat sebenarnya aku menekan air mata dalam hatiku.

Ketergantungan ibuku padaku mengubah hubungan kami. Di masa lalu, kami sering mengalami ketegangan dalam hubungan ibu dan anak. Kecelakaan itu melontarkan kami ke dalam hubungan yang saling bergantung. Untuk memperoleh ibuku kembali, aku harus membantunya memperoleh kembali kekuatannya dan kemampuan untuk kembali menjalani hidup mandiri. Ia harus menerima pertolonganku sekaligus kenyataan bahwa aku bukan lagi anak-anak. Kami menjadi sahabat karib. Kami benar-benar saling mendengarkan, dan sungguh-sungguh menikmati melewatkan waktu bersama.

Sudah lebih dari dua tahun sejak kecelakaan yang dialami ibuku. Meskipun hatiku hancur melihatnya mengalami sakit fisik dan emosi yang masih terus dialaminya, aku telah tumbuh dewasa dalam masa itu melebihi tahun-tahun sebelumnya. Menjadi tokoh ibu untuk ibuku sendiri mengajariku banyak tentang pengasuhan: rasa cemas, rasa melindungi, dan terutama manisnya pengabdian dan cinta tanpa pamrih.

Adi Amar

(chicken soup for the teenage soul II)

_______________________________________________
If we want a love message to be heard, it has to be sent out.
To keep a lamp burning, we have to keep putting oil in it.
***********************************************

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback