Pages

Monday, May 4, 2009

Alam semesta membalas kita sebanyak pernberian kita pada orang lain

(nice story).
Perangkat kursi makan kami sudah sangat perlu diganti. Setelah sekian lama dimanfaatkan anak-anak untuk bermain, kursi-kursi itu rusak berat-sama sekali tidak ada sisa-sisa keindahannya dulu. Bantalan-bantalan kursinya sudah robek dan isinya berhamburan. Sungguh tak sedap dipandang mata, dan aku merasa malu setiap kali ada tamu datang ke rumah.

Pada bulan Februari 1996 aku memperoleh sedikit uang dan aku memutuskan untuk membeli perangkat kursi makan yang baru. Kujelajahi toko-toko di lingkungan dekat rumahku yang telah direkornendasikan teman temanku yang lebih tahu. Akhirnya aku menemukan seperangkat kursi yang mengena di hati. Aku langsung jatuh cinta pada modelnya yang halus, ramping, sudut sudut kursinya yang tajam dan tegas, serta lapisan hitam-putih Formica-nya.

Bagiku membeli perangkat kursi makan merupakan peristiwa penting, dan aku sangat senang telah menemukan perangkat yang kusukai. Tapi kebahagiaanku langsung redup begitu tahu harganya. $680 . Lebih mahal daripada dana yang telah kutetapkan.selera Anda bagus sekali!" Si pemilik toko memujiku. "anda memilih salah satu model kami yang paling populer." Aku mendesah. Biasa. Ingin barang mahal, tapi dananya kurang.

Aku benar-benar tak ingin mengeluarkan uang sebanyak itu, tapi perangkat kursi ini sangat mengodaku. Aku berdiri menimbang-nimbang, sampai akhimya bagian diriku yang praktis mengambil keputusan. Dengan menyesal kukatakan pada si pemilik toko, "Maaf, tapi aku tak bisa membayar semahal itu. Sekali lagi terima kasih." Sambil keluar aku memandang perangkat kursi idamanku itu untuk terakhir kali.

Minggu berikutnya aku menelepon seorang teman yang sangat pintar mencari barang-barang berharga ekonomis. la memberiku sejumlah daftar toko mebel di wilayahku yang menjual model-model yang lebih murah. Dengan membawa daftar itu,aku berangkat untuk berburu kursi lagi.

Hari itu cuaca mendung dan kelabu, membuat orang jadi patah semangat dan mengurangi kegembiraanku untuk berburu barang murah sekalipun. Namun aku bertekad untuk menyelesaikan urusanku, jadi aku berangkat ke toko pertama didalam daftar. Tapi rupanya temanku salah memberi informasi. Sernua barang ditoko itu harganya di atas seribu dolar. Sambil mengucapkan terima kasih dengan malu pada si pemilik toko, aku cepat-cepat keluar. Saat itu hujan turun lebat,dan aku lari ke mobilku yang diparkir satu blok jauhnya.

Pada saat itulah aku melihat dia. Seorang wanita berumur yang berjalan tertatih-tatih di tengah hujan lebat, hanya mengenakan gaun katun tipis dan sepatu kets, tanpa payung, jas hujan, ataupun topi hujan untuk melindunginya dari siraman air yang dahsyat. la tampak pucat dan lemah. Aku serasa mengenaInya samar-samar, dan aku tidak jadi ke mobilku, melainkan menghampirinya.

Setelah lebih dekat, baru aku tahu siapa dia. la seorang wanita miskin yang setiap tahun dikirim oleh sebuah yayasan amal ke toko pakaian milikku untuk menerima sumbangan pakaian. Aku sudah membuat kesepakatan dengan yayasan ini bahwa aku akan memberikan pakaian gratis pada orang-orang miskin di sekitar lingkunganku yang dikirim oleh yayasan tersebut. Wanita itu datang setahun sekali ke tempatku, tapi aku belum pernah bertemu dengannya diluar tokoku.

"Linda," kataku dengan cemas, "kenapa kau keluar dalam hujan lebat seperti ini?"
la mulai terisak. "Ayo Kuantar kau ke tempat tujuanmu," kataku sambil menariknya ke mobilku.

"Ada apa?" tanyaku setelah kami berada di dalam mobil. Wanita itu mulai meratap dengan sangat menyedihkan. la menumpahkan seluruh kemalangannya, dan aku merasa terpukul mendengar kisahnya. la punya seorang anak perempuan yang terbelakang dan anak ini menikah dengan laki-laki yang juga terbelakang. Tanpa disangka,mereka bisa membangun kehidupan yang bahagia dan memiliki dua anak yang normal.

Tapi sayangnya, karena kecacatan mereka, keduanya tidak bisa mencari nafkah untuk menunjang hidup mereka yang sederhana. Kadang-kadang mereka mendapat pekerjaan sementara dan sedikit bantuan dari pemerintah, tapi jumlahnya tidak cukup untuk hidup.

Orangtua si suami sudah meninggal, dan Linda sendiri hidup dari uang tunjangan. Karena tak sanggup membayar sewa, anak perempuannya terancam dikeluarkan dari rumahnya. Si pemilik rumah sudah memperingatkan bahwa kalau hari ini ia tidak menerima uang sewa itu, sang anak dan keluarganya akan diusir, padahal mereka tidak punya tempat lain untuk tinggal.

Di dompetku ada uang tiga ratus dolar. Sementara Linda menangis sedih dimobilku, kuambil seratus dolar dari dompetku dan kuberikan padanya. La memandangi uang itu dengan terperanjat, lalu menciumku, dan mengucapkan terima kasih dengan amat sangat, tapi ia masih terus menangis. Aku diarn sebentar, lalu mengambil seratus dolar lagi dan menyerahkannya padanya.

Sekali lagi ia menyatakan terima kasihnya, tapi air matanya masih terus mengalir. Aku ragu-ragu, tapi Ialu berpikir, "Ah, sudahlah. Apa artinya seperangkat kursi dibandingkan nasib sebuah keluarga yang akan diusir?" Maka kuberikan padanya lembaran seratus dolarku yang terakhir, lalu kuantar dia ke kantor yayasan sosial yang mungkin bisa membantunya.

Sesudahnya, sambil bermobil aku merasa telah melakukan hal yang tepat. Aku bangga telah melakukan itu. Tapi setelah dekat dengan tempat tujuanku-toko mebel kedua yang ada dalarn daftarku-aku mulai ragu dan perasaanku berkecamuk. Mungkin aku rnemang bodoh, mudah merasa iba. Mungkin seharusnya aku cukup mernberinya seratus dolar?

Mungkin yayasan sosial yang didirikan oleh orang-orang yang jelaslebih kaya dariku itu bisa membantu sepenuhnya membayarkan sewa rumah anak Linda, dan aku tidak perlu berkorban seperti itu. Setibanya di toko tersebut,aku tidak yakin lagi bahwa tindakanku memberikan uang tiga ratus dolar itu bisa dibenarkan atau perlu dilakukan.

Namun begitu masuk ke dalarn toko, pikiran tentangnuang itu langsung sirna,karena perhatianku tertuju pada perangkat kursi yang kuimpikan. Perangkat itu berdiri di tengah ruang pamer, persis sama dengan yang kuidamkan minggu sebelumnya. "Maaf," kataku dengan penuh sernangat pada penjual yang mendekatiku, "berapa harga perangkat kursi di sana itu, yang putih dengan tepi Formica hitam?"

"Oh, yang itu!" katanya. 'Anda punya selera yang lagus. Memang indah sekali, bukan?"

"Ya, berapa harganya?" tanyaku dengan ketegangan yang semakin memuncak. "Yah," sahut si penjual perlahanan, "perangkat kursi itu sebenarnya mahal, tapi ...model itu tidak akan dibuat lagi, jadi kurasa tidak apa kalau kami menjual kursi contoh itu pada Anda. Harga aslinya jauh lebih mahal, tapi untuk Anda saya berikan... tiga ratus delapan puluh dolar!" Tepat tiga ratus dolar lebih murah daripada harga kursi yang kulihat minggu sebelumnya.

Selama sekian detik aku memejamkan mata untuk mensyukuri berkat Tuhan yang merestui perbuatanku tadi, dan juga untuk... perangkat kursi idamanku ini!

-Yitta Halberstam Mandelbaum

catatan :
Alam semesta membalas kita sebanyak pernberian kita pada orang lain.

(taken from Small Miracles)
________________________________________________
Search for love, for it is the most important ingredient of life.
Without it, your life will echo emptiness.
With it, your life will vibrate with warmth and meaning.
Even during any hardship, love will shine through.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback