Pages

Monday, April 6, 2009

Cahaya Bintang, Terang Bintang

(nice story) (from chicken soup for the teenage soul II)

ketika berusia lima tahun, aku tergila-gila pada mainan kakak perempuanku. Tidak jadi soal bahwa aku sendiri mempunyai segudang boneka dan mainan sendiri.
Hartanya yang khas "gadis besar" lebih menarik dan memikat. Sama halnya ketika aku berusia sepuluh tahun dan ia sudah dua belas tahun; anting-antingnya dan alat rias yang mulai dicobanya sangat menarik perhatianku, sementara kegemaranku menangkap serangga seakan tinggal kenangan masa lalu yang memudar.

Hal ini terus berlangsung tahun demi tahun dan selalu dapat diterima kakakku,kecuali lecet-lecet dan ancaman untuk "memotong rambut" yang mengerikan saat aku sedang tidur. Ibuku selalu mengingatkannya, pada waktu aku masuk MP dan memakal jepit barunya, sebenarnya aku memuji gaya penampilannya. Kata Ibu, sewaktu aku memakai bajunya saat masuk SMU, kakakku tertawa dan mengingatkanku bahwa la selalu lebih keren dibandingkan dengan diriku.

Aku selalu berpendapat bahwa kakakku memiliki selera tinggi, lebih-lebih saat ia mulai kedatangan tamu teman teman telakinya. Aku menyaksikan tak putus-putusnya anak lelaki usia enam belas tahun yang menjelajahi rumahku, makan dengan lahap di dapur, atau main basket di jalan ke garasi.

Baru belakangan lni aku sadar bahwa anak lelaki ternyata tidaklah "sekonyol" seperti yang semula kuduga, dan bahwa mereka ternyata tidak terlalu rese. Namun,anak lelaki kelas sembilan yang, seusia denganku, yang selama berbulan-bulan membuat aku dan teman-temanku cekikikan saat Pertandingan football, tiba-tiba saja terlihat sangat muda. Mereka tidak bisa mengemudikan mobil dan tidak mengenakan jaket tim utama sekolah. Teman-teman kakakku bertubuh tinggi, kocak,dan meskipun kakakku selalu ingin segera menyingkirkanku, mereka selalu baik padaku pada saat kakak menyuruhku keluar ruangan.

Sekali-sekali aku beruntung saat mereka datang ketika kakakku tak ada di rumah.
Salah seorang di antaranya ngobrol lama denganku sebelum akhirnya pergi untuk melakukan kegiatan yang biasa dilakukan anak lelaki usia enam belas tahun (masih merupakan misteri bagiku). la bicara denganku sebagaimana ia bicara dengan orang lain, tidak bicara seperti kepada anak kecil, adik temannya... dan ia selalu memelukku untuk pamit sebelum pergi.

Tidaklah mengherankan kalau tidak lama kemudian aku pun terbuai olehnya.
Teman-temanku mengatakan tak mungkin aku bisa pacaran dengan anak kelas sebelas.
Kakakku tampaknya khawatir kalau-kalau aku akan patah hati. Tapi, kita tentu tak bisa menentukan kepada siapa kita jatuh cinta, baik orang itu lebih tua atau lebih muda daripada kita, lebih tinggi atau lebih pendek, sangat berbeda atau sama dengan kita. Aku begitu dikuasai perasaan saat aku bersamanya, dan aku sadar bahwa sudah teriambot untuk berpikir wajar-aku telah jatuh cinta.

Bukannya aku tidak tahu bahwa mungkin saja aku ditotak.Aku sadar bahwa aku mengambil risiko dengan mempertaruhkan perasaan dan harga diriku. Kalau aku tidak menyerahkan hatiku
kepadanya, ada kemungkinan ia . membuatku patah hati... tapi ada juga kemungkinan la menerimaku.

Suatu malam sebelum ia pulang, kami duduk di teras depan rumah, ngobrol sambil menyaksikan bintang bermunculan di langit. la menatapku dengan serius dan bertanya apakah aku percaya pada bintang pembawa keberuntungan. Aku heran dengan pertanyaannya, tapi tetap bersikap serius dan berkata bahwa selama ini tak pernah memikirkan bintang seperti itu.

"Oke, sekarang sudah waktunya kau memikirkannya,"katanya sainbil menunjuk kelangit. "AYO, pilih satu dan ucapkan apa yang paling kauinginkan." Aku menatap ke langit, memilih satu bintang yang paling terang. Kupejamkan mataku rapat-rapat, dan walaupun serasa ada berjuta kupu kupu menggelepar dalam perutku, aku mengucapkan harapan agar dilimpahi keberanian. Kubuka rnataku dan tarnpak ia tersenyum menyaksikan betapa bersemangatnya aku mengucapkan harapan dalam hatiku. la bertanya apa harapanku "Keberanian? dan ketika aku menjawab , ia tampak bingung. Keberanian? Keberanian untuk apa?" tanyanya.

Aku menarik napas panjang dan menjawab, "Untuk melakukan ini." Dan aku menciumnya dengan penuh semangat. Sungguh suatu keberanian yang tak kusangka kumiliki, kekuatan yang ada jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, yang mengambil alih akal sehatku.

Waktu aku selesai menciumnya, kulihat pandangan tercengang di wajahnya, yang berubah menjadi senyuman, lalu menjadi tawa. Setelah memikirkan sesuatu untuk diucapkan, yang bagiku terasa berjam-jam, ia meraih tanganku dan berkata, "Eh,kita memang sama-sama beruntung malam ini. Ternyata harapan kita berdua terkabul."

Kelly Garnett
________________________________________________

Indo community

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback