Pages

Wednesday, April 22, 2009

Ah Ha Ha Ha

(thoughtful) Oleh : Gede Prama

Entah siapa yang memulainya, yang jelas hampir setiap orang yang pernah belajar di perguruan tinggi pernah dihadapkan pada buku tebal yang diyakini lengkap. Bahkan ada kesan kuat, semakin tebal sebuah buku, itu berarti semakin lengkap isinya. Karya Stoner (manajemen), Philip Kotler (Marketing), Michael Porter (strategi) hanyalah sebagian contoh buku-buku tebal yang diamini karena kelengkapannya.

Tulisan ini memang bukan 'lawan' buku-buku tebal di atas. Ini hanya salah satu keberpihakan saya pada kejernihan. Sebuah keberpihakan yang banyak ditinggalkan oleh sebagian orang yang menekuni dunia ide. Jujur harus diakui, semesta ide adalah sebuah semesta yang demikian luas dan dahsyat. Secanggih apapun teknologi peneropongan (baca : metodologi), ia tetap tidak berdaya jika diberi tugas untuk menangkap seluruh nuansa.

Sejarah hidup pemikir-pemikir jempolan bahkan bertutur, tidak ada diantara mereka yang berani meng-claim bahwa mereka sudah sampai pada gambar yang lengkap dan komprehensif. Einstein di Fisika bahkan berakhir dengan teori relativitasnya. Sebuah teori yang justru memperkukuh keyakinan, bahwa semesta ide itu undescribale secara absolut.

Freud dengan teori The Interpration of Dream-nya meninggalkan sejumlah pertanyaan terbuka. Karl Marx yang pernah demikian dikenal dengan dialektikanya, belakangan banyak dihujat. Krishnamurti dengan seluruh obsesinya akan kebebasan the knower, sama saja meninggalkan jurang-jurang ide yang belum bisa dimasuki. Foucault, Derrida, Lyotard,Feyerabend dan tokoh- tokoh posmodern lainnya yang mencoba mendekonstruksi semua ini, juga meninggalkan lobang-lobang besar pengetahuan yang belum tertelusuri.

Digabung menjadi satu, semesta ide memang terlalu luas untuk ditangkap oleh satu teropong pengetahuan yang manapun. Setiap usaha dan nafsu untuk menangkapnya secara lengkap, bahkan kerap menghadirkan perangkap. Buktinya, lihat saja apa yang dihasilkan sekolah dengan seluruh kelengkapannya.

Kalau betul pendidikan ala sekolah adalah jawaban dari semua persoalan, bagaimana ia menerangkan gejala seperti lumpuhnya jaringan komputer dunia, yang disebabkan oleh virus kiriman hackers, dan kemudian penyelamatan justru datang dari sejumlah anak muda berumur belasan tahun ?

Bank Dunia dan IMF yang menjadi gudangnya manusia manusia bergelar doktor, justru terkecoh dengan kesimpulannya tentang keajaiban ekonomi Asia beberapa tahun lalu. Kita semua yang sudah demikian fasih dengan bahasa-bahasa sekolahan, sekarang ini dibuat demikian membingungkan oleh kecenderungan yang serba 'e'.

Manajemen apa lagi. Ketika saya masih menjadi murid sekolah manajemen, ada banyak manfaatnya membaca teori yang telah berlalu dua puluh tahun lebih. Dan dizaman yang serba 'e' ini, teori manajemen berumur puluhan tahun yang mana yang masih layak untuk dipelajari ? Bahayanya, dalam keadaan seperti ini, masih saja tersisa sekolah manajemen atau praktisi manajemen yang mengisi kurikulum dan kepalanya dengan tumpukan teori busuk dari masa lalu.

Beberapa waktu lalu, karena mau mencari referensi baru dunia manajemen, saya datang ke salah satu perpustakaan sekolah manajemen terkemuka. Alangkah terkejutnya saya mengetahui bahwa anak-anak muda dengan kepala yang masih segar-segar, diisi dengan teori manajemen yang pada zaman saya dulu saja sudah berbau busuk. Bermodalkan ketebalan dan kelengkapannya, buku-buku dan teori ini menjadi bahan ocehan amat meyakinkan di sekolah manajemen tadi.

Di tengah keterkejutan seperti ini, saya sempat mengingat apa yang pernah disebut Jacques Lacan (lawan dialog Freud yang amat meyakinkan) sebagai theory without end. Dalam rangkuman Malcon Bowie : ' Theory, for Lacan, does not make anything happen, or get things done, or make certain things matter more than others. The More complete a theory is, the more powerless it becomes'. Ini memang pengertian tentang teori yang agak unik. Dan di zaman yang serba unik dan mengejutkan ini, kita sedang memerlukan perspektif yang serupa.

Lebih-lebih, bila kecenderungan terakhir ini digabungkan dengan karakteristik semesta ide yang sejak dulu memang bersifat multi perspektif. Maka masuklah kita ke dalam dunia ideas without end. Di mana ketebalan dan kelengkapan tidak lagi menjadi pemegang monopoli kebenaran.

Satu spirit dengan Howard Gardner yang telah lama mengembangkan The Theory of Multiple Intelligences, saya juga meyakini setiap bentuk monopoli kebenaran dari thick theory yang manapun, tidak hanya memerangkap, tetapi juga keluar dari fundamen. Bagaimana tidak keluar dari fundamen, disamping memperkosa segala bentuk fresh mind, juga mengingkari hakekat multi perspektif dari semesta pengetahuan.

Mendengar penjelasan gendheng seperti ini, seorang rekan dosen sebuah perguruan tinggi terkemuka bertanya ke saya, apa yang dilakukan kalau saya harus mengajar manajemen ? Saya akan tanya ke audiens, apakah manajemen termasuk serangkaian hal yang sudah siap di kepala yang berisi, atau mirip dengan air yang dituangkan ke dalam kepala kosong ?. Bila kelas sudah terbagi dua, saya minta mereka berdiskusi sampai waktunya habis. Dan kalau mereka kebingungan menyimpulkannya,terus bertanya ke saya, sambil keluar meninggalkan ruangan saya hanya berucap : ah ha ha ha ha ha ha.

______________________________________________________________________________
Disappointments are like road humps,
they slow you down a bit but you enjoy the smooth road afterwards.
Don't stay on the humps too long. Move on!

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback