Pages

Tuesday, March 31, 2009

Terselamatkan

(true story) A child called "it" (1)


5 Maret 1973, Daly City, California – Aku terlambat. Aku harus menyelesaikan pekerjaan mencuci peralatan makan secepatnya, kalau tidak aku tidak dapat jatah sarapan, dan karena semalam aku tidak makan, jadi sekarang aku harus makan sesuatu. Ibu mondar-mandir sambil berteriak kepada saudara-saudara lelakiku. Aku bisa mendengar langkah langkahnya yang berat menuju dapur. Cepat-cepat aku membilas lagi. Tapi terlambat. Ibu menarikku dengan kasar.

Plak! Ibu memukul mukaku, dan aku terjatuh.

Aku tahu lebih baik aku menjatuhkan diri daripada tetap berdiri dan dipukul lagi.

Kalau aku tetap berdiri, Ibu akan menganggap itu sebagai sikap membantah, dan itu artinya beberapa pukulan lagi atau, yang paling kutakutkan, tidak diberi makan.

Baru kemudian aku berdiri pelan-pelan sambil memiringkan mukaku agar tidak menatapnya, sementara Ibu berteriak di telingaku.

Aku menunjukkan sikap ketakutan, sambil terus-menerus mengangguk seakan memahami arti ancaman-ancaman yang keluar dari mulumya.

"Ya, ya," kataku dalam hati,"asalkan aku boleh makan.

Pukul aku lagi, asalkan aku dapat makanan karena aku harus makan.

" Satu pukulan lagi menyentakkan kepalaku hingga membentur pinggiran dinding.

Aku meneteskan air mata sebagai tanda tak tahan menerima cemoohan Ibu.

Ibu lalu keluar dari dapur, tampaknya ia puas akan perlakuannya terhadapku.

Aku menghitung langkah-langkahnya untuk memastikan bahwa ia benar-benar sudah jauh dari dapur, dan aku pun menarik napas lega. Sandiwaraku berhasil. Ibu boleh memukuliku sesuka hatinya, tapi aku tak membiarkannya mengalahkan tekadku untukbertahan hidup.

Kuselesaikan mencuci peralatan makan, yang meniadi salah satu tugasku sehari-hari.

Sebagai upahnya, aku mendapat sarapan - sisa-sisa yang ada dimangkuk sereal salah satu kakakku.

Pagi ini sereal Lucky Charms. Cuma ada sedikit sisa sereal dan susu di mangkuk itu, tapi aku harus cepat-cepat menghabiskannya sebelum Ibu berubah pikiran. Itu pernah terjadi.

Ibu senang sekali menggunakan makanan sebagai senjata.

Dia senang cepat-cepat membuang sisa makanan ke dalam keranjang sampah, sebab dia tahu aku akan mengais-ngaisnya untuk dimakan. Ibu tahu hampir semua siasatku.

Tak lama kemudian aku sudah berada di dalam station wagon tua kami.

Karena banyak sekali tugas rumah yang harus kuselesaikan, aku jadi terburu-buru berangkat sekolah. Biasanya aku lari ke sekolah, dan sampai di sana persis pelajaran dimulai sehingga aku tak sempat mencuri makanan dari bekal makan siang, anak-anak lain.

Sampai di depan sekolah, Ibu membiarkan kakak sulungku langsung masuk kesekolah, tapi aku ditahannya dulu untuk mendengarkan rencananya besok.

Dia mau mengirim aku ke rumah kakaknya. Dia bilang Paman Dan akan "mengasuhku".

Itu ancaman, jadi aku pura-pura takut. Aku tahu betul pamanku itu tidak akan memperlakukan aku seperti Ibu memperlakukan aku, meskipun pamanku itu memang galak.

Station wagon belum betul-betul berhenti, tapi aku sudah menghambur keluar.

Ibu berteriak, memanggilku kembali. Aku lupa membawa kotak kusam tempat bekal makan siangku, yang sudah tiga tahun ini menunya itu-itu juga - dua tangkup roti isi selai kacang ditambah beberapa potong wortel.

Aku ingin langsung berlari lagi,tapi Ibu berkata, Bilang pada mereka... Bilang pada mereka kau terantuk pintu".


Lalu ia mengatakan sesuatu yang amat jarang ia katakan padaku, "Semoga harimu menyenangkan".

Kulihat kedua matanya yang merah. Ia masih agak mabuk, sisa semalam.

Dulu matanya bagus, rambutnya sekarang acak-acakan tak terurus.

Ia tidak memakai riasan wajah, seperti biasanya.

Ia tahu ia gemuk. Ya, begitulah penampilan ibu.

Karena terlambat banyak, aku harus melapor ke ruang tata usaha.

Ibu sekretaris di ruang itu menyambutku dengan senyuman.

Tak lama kemudian, perawat sekolah muncul dan mengajakku masuk ke ruang kerjanya, Ialu kami melakukan hal hal yang sudah biasa kami lakukan.

Pertama, ia memeriksa muka dan lenganku.

  • 'Bagian atas matamu kenapa?" ia bertanya.
    Agak canggung, aku menunduk sambil menjawab, '0h, itu terbentur pintu... Tidak sengaja'.

Perawat sekolah itu tersenyum lagi, lalu mengambil clipboard dari atas lemah arsip.

Ia membalik selembar atau dua lembar kertas lalu menunduk dan menunjukkan padaku tulisan di halaman kertas itu.

  • "Coba lihat ini", katanya. 'Kau mengatakan hal yang sama hari Senin kemarin. Kau ingat?

Cepat-cepat aku ganti ceritaku,

  • "Aku sedang main bisbol, lalu pemukulnya mengenai aku. Tidak sengaja, kok".

Tak sengaja. Aku harus selalu berkata begitu.

Tapi perawat sekolah itu rupanya lebih tahu.

Dengan caranya, ia selalu berhasil membuatku mengatakan keiadian sebenamya.

Pada akhimya aku selalu mengaku sambil terisak, meskipun aku selalu merasa harus melindungi Ibu.

Perawat sekolah itu berkata bahwa aku akan baik-baik saja, Ialu menyuruhku membuka baju.

Ini sudah kami lakukan sejak tahun lalu, jadi sekarang aku menurut saja.

Lubang-lubang di baju lengan panjangku lebih banyak daripada lubang-lubang di keju Swis.

Selama dua tahun ini itulah satu-satunya baju yang kupakai.

Ibu menyuruhku memakai baju itu setiap hari.

Begitulah caranya menghina aku.

Celana yang kupakai sama jeleknya.

Sepatuku berlubang di bagian ujung depan,sampai-sampai aku bisa mengeluarkan dan menggerak-gerakkan jempol kakiku dari salah satu lubang lubang itu.

Lalu aku berdiri hanya dengan mengenakan pakaian dalam, sementara perawat sekolah mencatat luka dan memar di sekujur tubuhku pada clipboard-nya.

Ia menghitung sejumlah tanda seperti garis miring di wajahku dengan saksama, jangan-jangan ada yang terlewat. dan belum ia catat. la teliti betul.

Selanjutnya, perawat itu membuka mulutku untuk memeriksa gigi-gigiku yang patah atau copot akibat terbentur pinggiran bak pencuci piring.

Ia menuliskan beberapa catatan lagi di kertas clipboard-nya.

Kemudian ia memeriksa lagi seluruh tubuhku, lalu berhenti di luka sobek yang sudah lama dibagian perutku. "Yang itu," katanya dengan nada suara agak tertahan, luka akibat tusukan oleh ibumu, bukan? "

"Ya, Bu", jawabku. "Astaga!" aku tersentak dalam hati, "aku melakukan kesalahan... lagi".

Perawat itu tentulah menangkap kekhawatiran rnelalui sorot mataku.

Ia meletakkan clipboard-nya, Ialu memelukku.

"Aduh nyamannya," kataku dalam hati, "la begitu hangat".

Aku tak mau melepaskannya.

Aku mau seterusnya dipeluk begini.

Kupejamkan mataku kuat kuat.

Rasanya begitu aman, tak terjadi apa pun.

Ia mengusap kepalaku.

Aku tersentak oleh rasa sakit pada luka bengkak akibat pukulan ibuku pagi tadi.

Perawat itu melepaskan pelukannya dan keluar dari ruangan.

Cepat-cepat aku mengenakan kembali pakaianku.

Perawat itu tidak tahu bagaimana cepatnya aku mengenakan pakaian, dan aku memang selalu harus mengerjakan segala sesuatu secepat mungkin.

Tak lama kemudian perawat itu masuk kembali ke ruangan bersama kepala sekolah,Mr. Hansen, dan dua orang guruku, Miss Woods serta Mr. Ziegler. Mr. Hansen tahu siapa aku.

Akulah murid di sekolah ini yang paling sering dipanggil menghadapnya.

Ia mencermati kertas laporan, sementara perawat itu melaporkan secara lisan semua temuan barunya. Mr. Hansen menyentuh daguku, membuatku menengadah langsung padanya.

Aku takut melihat langsung ke matanya-itulah kebiasaanku setiap kali berhadapan dengan Ibu.

Selain itu, aku pun tidak mau memberitahukan apa-apa kepadanya.

Pernah sekali, kalau tidak salah tahun lalu,Mr. Hansen memanggil Ibu untuk minta penjelasannya tentang luka-luka memar di sekujur tubuhku. Waktu itu Mr. Hansen belum tahu apa yang sebenamya terjadi. ia hanya tahu bahwa aku anak bermasalah yang sering mencuri makanan.

Esok harinya,saat aku masuk sekolah, Mr. Hansen melihat sendiri akibat pukulan-pukulan Ibu.
Ia tidak pemah lagi memanggil Ibu ke sekolah.

Dengan suara agak keras Mr. Hansen berkata bahwa ia tidak bisa lagi menerima perlakuan Ibu terhadapku.

Takut setengah mati aku mendengar ucapannya itu.

"Dia mau memanggil Ibu lagi!", aku menjerit tanpa mengeluarkan suara.

Aku terduduk ke lantai dan menangis. Badanku gemetar dan menggeliat-geliat tak karuan, aku mengoceh seperti bayi, memohon supaya Mr. Hansen tidak menelepon Ibu.

Aku seperti anjing yang melolong sedih bercampur takut, "Ampun. Jangan, jangan hari ini!

Ini kan hari jumat. Ibu akan memukuli aku terus sampai Senin pagi dan tidak memberiku makan...

Mr. Hansen berjanji tidak akan memanggil Ibu, lalu ia menyuruhku masuk kelas.
Sudah terlambat untuk melaporkan kehadiran dan mengisi daftar hadir di sekolah,jadi aku cepat cepat ke kelas bahasa Inggris Mrs. Woodworth.

Hari ini ada tes spelling serentak di semua negara bagian dan ibu kotanya.

Aku tidak siap. Dulu aku murid pandai, tapi sejak beberapa bulan belakangan ini aku menyerah, aku merasa tidak punya alasan lagi untuk melakukan sesuatu dalam hidup ini, termasuk mengalihkan kesedihanku pada tugas-tugas sekolah.

Begitu masuk kelas, semua murid menutup hidung dan serentak mengeluarkan suara seperti mendesah. Guru pengganti, seorang perempuan yang lebih muda daripada Mrs. Woodworth, mengibaskan tangan di depan wajahnya.

Ia belum terbiasa dengan bau badanku. Ia memberikan kertas tesku sambil menjaga jarak supaya tidak terlalu dekat denganku.

Belum lagi aku duduk di tempat dudukku di belakang,dekat jendela yang terbuka, aku dipanggil kembali ke ruang kepala sekolah.

Semua murid di kelas itu serentak berseru "Huuuu. ke arahku-penolakan oleh murid-murid kelas lima.

Aku lari, dan dalam sekejap sampai di ruang tata usaha.

Tenggorokanku perih akibat "permainan" yang kemarin dimainkan Ibu terhadapku.

Sekretaris di ruang tata usaha mengajakku ke ruang guru.

Begitu ia membuka pintu ruang guru, sejenak aku heran akan apa yang kulihat. Di ruangan itu duduk di sekeliling sebuah meja Mr. Ziegler-yang setiap hari melakukan absensi murid, lalu Miss Moss-guru rmtematika, lalu perawat sekolah, Mr. Hansen, dan seorang polisi.

Rasanya, kakiku tak mau digerakkan. Aku bingung, mau lari atau menunggu sampai langit-langit di ruangan itu ambruk. Mr. Hansen melambaikan tangannya,menyuruhku masuk, sementara sekretaris tadi menutup pintu.

Aku duduk di ujung meja dan langsung menjelaskan bahwa aku tidak mencuri apa-apa... hari ini.

Semua yang ada di ruangan itu, yang tadinya terlihat tegang, langsung tersenyum
mendengar perkataanku. Sama sekali aku tak tahu bahwa mereka akan mempertaruhkan pekerjaan mereka demi menyelamatkan diriku.

Pak polisi di ruangan itu memberitahuku mengapa Mr. Hansen memanggilnya.

Rasanya badanku mengerut di kursi yang kududuki.

Pak polisi meminta aku menceritakan tentang Ibu. Aku menggeleng, tidak mau.

Sudah terlalu banyak orang tahu rahasia tentang Ibu, dan aku yakin Ibu pasti akan tahu itu.

Ada suara lembut yang membuatku nyaman. Rasanya itu suara Miss Moss. la menghiburku.

Tdak apa-apa,katanya. Aku menarik napas panjang. Sambil meremas-remas jemari tanganku sendiri, dengan agak segan kuceritakan juga apa saja yang pernah terjadi antara aku dan Ibu.

Perawat sekolah menyuruhku berdiri, lalu memperlihatkan luka memanjang di bagian dadaku kepada Pak Polisi.

Cepat-cepat kutambahkan bahwa itu tidak disengaja-Ibu tidak pernah sengaja menusukku.

Aku menangis. Kukeluarkan apa yang selama ini kupendam, bahwa Ibu menghukumku karena aku nakal. Rasanya kemudian aku ingin sendirian. Aku tak mau orang-orang itu ada di sekelilingku.
Aku merasa begitu lemah. Setelah bertahun-tahun begini, aku tahu tak seorang pun bisa melakukan sesuatu yang dapat mengubah keadaanku.

Beberapa menit kemudian aku diperbolehkan duduk di luar ruang guru.

Semua orang dewasa yang ada di ruangan di luar ruang guru memandangiku dan bersikap ramah.
Aku resah di tempat dudukku, karena melihat sekretaris mengetik berlembar lembar kertas.

Rasanya sangat lama, sampai akhirnya Mr. Hansen memanggilku masuk kembali ke ruang guru.

Miss Woods dan Mr. Ziegler meninggalkan ruang guru.

Mereka terlihat gembira bercampur khawatir.

Miss Woods berlutut di depanku dan mendekapku, seakan-akan aku terbungkus dalam dekapannya.

Rasanya tak mungkin aku bisa melupakan bau wangi rambutnya.

Ia melepaskan dekapannya, langsung pergi,karena ia tak ingin aku rnelihatnya menangis.

Aku malah jadi betul-betul khawatir.

Mr. Hansen memberiku nampan berisi makan siang dari kantin.

"Astaga! Sudah waktunya makan siang lagi?", kataku dalam hati.

Kulahap makan siang itu begitu cepatnya sampai-sampai aku hampir tidak tahu rasanya.

Kecepatan makanku pasti masuk rekor.

Tak lama setelah itu, kepala sekolah masuk lagi ke ruangan, membawa sekotak kue.

Ia mengingatkan supaya aku makan pelan-pelan saja.

Aku tak tahu sedang ada apa ini.

Salah satu dugaanku adalah ayahku, yang sudah berpisah dari Ibu, datang untuk mengambilku.

Aku berkhayal. Aku tahu ayahku tak mungkin datang.

Pak Polisi menanyakan alamat dan nomor telepon rumahku.

"Apa kataku!", aku berkata dalam hati. "Masuk neraka lagi!

Aku akan mendapat hukuman lagi dari Ibu! "

Pak Polisi masih menambahkan sesuatu pada catatannya, sementara Mr. Hansen dan perawat sekolah memperhatikan yang ditulis Pak Polisi.

Tak lama kemudian Pak Polisi menutup buku catatannya dan berkata pada Mr. Hansen bahwa informasi yang ia butuhkan sudah cukup.

Aku menengadah, memandang kepala sekolahku. Wajahnya berkeringat.

Aku merasakan perutku mulai mulas. Aku mau ke kamar mandi, mau,muntah.

Mr. Hansen membuka pintu, lalu aku melihat guru-guru yang sedang istirahat makan siang memandangiku. Malu sekali rasanya.

"Mereka tahu," kataku pada diri sendiri.

"Mereka tahu yang sebenamya mengenai Ibu; yang sebenar-benamya. "
Mereka perlu tahu bahwa aku bukan anak nakal. Aku kepingin sekali disukai orang,dicintai.

Aku tidak mau ke aula. Mr. Ziegler menggandeng Miss Woods. Miss Woods sedang menangis.

Aku mendengarnya ia terisak. Sekali lagi ia memelukku, lalu cepat-cepat melepaskannya.

Mr. Ziegler menjabat tanganku. Jadilah anak baik,katanya.

"Ya, Pak. Saya coba", cuma itu jawabanku.

Perawat sekolah berdiri diam di samping Mr. Hansen. Mereka semua mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Aku tahu sekarang, aku akan dimasukkan ke dalam peniara. "Baguslah", kataku dalam hati. Paling tidak Ibu tidak bisa memukuliku kalau aku di penjara".

Aku dan Pak Polisi berjalan ke luar gedung, melewati kantin. Aku melihat beberapa teman sekelasku sedang bermain bola. Beberapa di antara mereka berhenti bermain, lalu berteriak-teriak, 'David ditangkapi David ditangkap!

" Pak Polisi mengusap pundakku sambil berkata padaku supaya tenang-tenang saja.

Saat mobil Pak Polisi membawaku pergi meninggalkan Thomas Edison Elementary School, aku sempat melihat beberapa mund yang terbengong-bengong memandang kepergianku.
Sebelum pergi tadi, My. Ziegler berkata padaku bahwa, ia pasti memberitahu murid murid lain tentang yang sebenarnya - yang sebenar-benarnya. Aku rela berkorban apa pun untuk berada di kelas lagi pada saat mereka tahu bahwa aku tidak seburuk dugaan orang.

Beberapa menit kemudian kami sampai di kantor polisi Daly City.

Aku merasa seakan-akan Ibu ada di situ. Aku tidak mau turun dari mobil.

Pak Polisi membukakan pintu dan dengan lembut menggandeng lenganku, berjalan menuju gedung kantor. Aku tidak melihat orang lain di ruang kantor itu.

Pak Polisi duduk di sebuah kursi, di pojok ruangan, lalu di situ ia mengetik pada beberapa lembar kertas. Aku mengawasi Pak Polisi itu terus-menerus sambil memakan kueku pelan-pelan.

Kue-kue itu kumakan pelan-pelan supaya aku bisa berlama-lama menikmatinya.

Aku tidak tahu kapan aku bisa makan lagi. jam satu siang lewat.

Pak Polisi sudah selesai mengerjakan ketikannya.

Sekali lagi ia menanyakan nomor telepon rumahku.

"Kenapa?" aku bertanya dengan sedih campur khawatir.
"Aku harus menelepon ibumu, David, " jawabnya lembut.

"Jangan!" kataku tegas. 'Kembalikan aku ke sekolah.

Seharusnya Bapak tahu ibuku tidak boleh tahu apa yang telah kukatakan! "

Dengan beberapa kue, Pak Polisi bisa menenangkan diriku lagi, lalu memutar nomor telepon 7-5-6-2-4-6-0. Aku memperhatikan Lingkaran angka-angka di telepon itu berputar.

Aku berdiri dari kursiku, berjalan mendekati Pak Polisi yang sedang memutar nomor telepon, badanku tegang ketika mencoba mendengar dering telepon di ujung sana. Ibu menjawab telepon itu.

Suaranya membuatku takut. Dengan lambaian tangan, Pak Polisi menyuruhku menjauh.

Ia mengambil napas dalam, sebelum berkata, "Mrs. PeIzer, saya Opsir Smith dari kantor polisi Daly City. Anak Anda,David, tidak akan pulang ke rumah hari ini.

Ia berada dalam perlindungan San Mateo Juvenile Department.

Kalau ada yang ingin Anda tanyakan, silakan hubungi departemen tersebut".

Pak Polisi meletakkan gagang telepon, lalu tersenyum. "Tidak sulit, bukan?" katanya padaku.

Tapi dari raut wajahnya aku bisa bilang bahwa Pak Polisi itu sendirilah yang lebih membutuhkan kata yang menenangkan itu, bukan aku.

Beberapa kilometer kemudian, kami sudah berada di jalan raya 280, menuju batas wilayah Daly City. Aku menengok ke arah sebelah kananku dan nielihat sebuah papan besar bertuliskan "THE MOST BEAUTIFUL HIGHWAY IN THE WORLD".

Pak Polisi tersenyum clan merasa lega saat kami melewati batas kota.

"David Pelzer", katanya, "kau bebas".

"Apa?" tanyaku, sambil menggenggam erat satu-satunya simpanan makananku.

"Aku tidak mengerti. Bukankah Pak Polisi mau memasukkan aku ke penjara?"

Ia tersenyum lagi, lalu, dengan lembut meremas bahuku.

"Tidak, David. Kau tidak usah khawatir sama sekali, percayalah.

Ibumu takkan pernah menyakitimu lagi. "

Aku bersandar ke kursi mobil. Pantulan sinar matahari mengenai mataku.

Aku memalingkan wajahku dari sinar itu, dan pada saat itu air mata mengalir di pipiku.

"Aku bebas?"
________________________________________________
Search for love, for it is the most important ingredient of life.
Without it, your life will echo emptiness.
With it, your life will vibrate with warmth and meaning.
Even during any hardship, love will shine through.

Indo community

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback