Pages

Sunday, March 29, 2009

Nilai Sepuluh Tina

(Tom Krause - Chicken Soup for the Unsinkable Soul)

Usianya tujuh belas tahun dan selalu menebar senyum cerahnya. Ini mungkin bukan sesuatu yang luar biasa andaikata Tina bukan penderita cerebral palsy, suatu kondisi yang menyebabkan otot-ototnya kaku, dan sebagian besar, tidak dapat dikendalikan. Karena ia juga mengalami kesulitan dalam bicara, senyum cerah ini menunjukkan kepribadiannya yang sejati - seorang anak teladan. Ia hampir selalu menggunakan alat bantu berjalan untuk menerobos hiruk pikuknya lorong-lorong sekolah.

pada umumnya orang tidak mengajaknya bicara. Mengapa? Entahlah. Mungkin karena ia kelihatan berbeda dan kebanyakan siswa lain tidak tahu cara mendekatinya. Tina biasanya memecahkan kebekuan dengan orang yang

ditemuinya di lorong (terutama anak laki-laki) dengan sapaan "Hai." Tugas untuk hari itu adalah menghafal sebuah puisi tiga bait "Jangan Putus Asa." Aku hanya memberi bobot sepuluh untuk tugas ini karena terbayang olehku bahwa kebanyakan muridku tidak akan berhasil melaksanakannya. Ketika aku masih bersekolah dan seorang guru memberi pekerjaan rumah bernilai sepuluh, aku sendiri menganggapnya tidak terlalu penting. Maka aku tidak berharap banyak dari para remaja masa kini.

Tina ada dalam kelas ini, dan aku menemukan sesuatu pada wajahnya yang berbeda dari senyum cerahnya yang biasa. Ia tampak cemas. 'Tidak usah cemas, Tina,' kataku kepada diri sendiri, 'nilainya hanya sepuluh.'

Hari pemeriksaan tugas itu akhirnya tiba dan sebagaimana telah kuduga, satu demi satu siswaku gagal menghafal puisi itu. "Maaf, Pak Krause," merupakan jawaban yang diberikan oleh kebanyakan dari mereka.

"Lagipula, nilainya hanya sepuluh... bukan?" Akhirnya, dengan frustrasi dan setengah bergurau, aku menyatakan bahwa siswa berikutnya yang tidak berhasil menghafal puisi itu dengan sempurna harus tiarap di lantai dan melakukan push-up sepuluh kali. Ini cara pendisiplinan yang tersisa dari pengalamanku sebagai guru olahraga di masa lampau.

Yang sangat mengejutkan, ternyata siswa berikutnya adalah Tina. Tina menggunakan alat bantu berjalannya untuk melangkah ke depan kelas dan, setelah dengan susah payah menenangkan diri, ia mulai menghafal puisi. Ia hampir sampai ke akhir bait pertama ketika ia membuat kesalahan. Sebelum aku sempat berkata, ia telah melemparkan alat bantu berjalannya ke samping, kemudian tiarap ke lantai dan melakukan push-up. Aku terkejut setengah mati dan ingin berkata, "Tina, saya hanya bergurau!"

Akan tetapi, ia telah merangkak mengambil alat bantu berjalannya, kemudian berdiri lagi dan meneruskan puisinya. Ia menyelesaikan ketiga bait puisi itu dengan sempurna. Salah satu dari hanya beberapa siswa yang berhasil melakukannya.

Ketika selesai, seorang temannya angkat bicara dan bertanya, "Tina, mengapa kau melakukannya? Bukankah nilainya hanya sepuluh?" Tina memerlukan sedikit waktu sebelum bisa menjawab, "Karena aku ingin seperti kalian - normal."

Keheningan menyelimuti seluruh ruangan sampai ketika seorang siswa lain berkata, "Tina, kami tidak normal - kami anak-anak biasa yang sering salah."

"Aku tahu," jawab Tina dengan senyum lebar menghias wajahnya. Tina memperoleh nilai sepuluhnya hari itu. Ia juga mendapatkan rasa sayang dan hormat dari teman-teman kelasnya. Baginya, itu jauh lebih berharga dibanding nilai yang hanya sepuluh itu.

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback