Peristiwa traumatis seperti perang, perkosaan, kematian tragis akibat kekerasan yang terjadi pada orang-orang tercinta, bencana alam, dan sebagainya, bias menyisakan gangguan stres pascatrauma.
Gejalanya mulai dari sakit kepala, sakit perut, cemas, hingga ketakutan yang tak bisa disembuhkan dengan obat.
Apa yang Anda rasakan ketika mengetahui isteri melahirkan bayi mungil yang menawan dan telah lama ditunggu-tunggu? Bahagia, itu sudah pasti. Keinginan untuk segera menimang dan menggendong si buah hati biasanya juga memenuhi hati ayah baru itu.
Namun, tidak demikian dengan Bhakti, sebutlah namanya begitu. Pria yang beberapa tahun lalu pernah bertugas di medan konflik itu, sampai puterinya berusia delapan bulan tidak pernah berani memeluk apalagi menggendongnya.
Menurut sang isteri, setiap kali mendengar suara tangis puterinya, Bhakti selalu gelisah dan tampak ketakutan. Ia pun tidak pernah sanggup mendengar suara tangis bayi lain yang kebetulan terdengar.
Sementara itu, dalam diri Bhakti juga terselip perasaan bersalah karena sesungguhnya ia sangat ingin menjadi ayah yang baik bagi puterinya. Ia juga ingin seperti ayah-ayah lain bermain bersama anaknya, tapi hal seperti itu belum bisa dilakukannya. Apa masalahnya?
"Menurut psikiater yang merawatnya, suami saya menderita gangguan stress pascatrauma," ujar isteri Bhakti. Suami tercintanya sejak beberapa bulan lalu akhirnya menjalani konseling dengan psikiater dari instansi di mana suaminya bertugas.
Masalah yang menimpa Bhakti itu dimulai ketika di daerah konflik ia sempat menyaksikan seorang bayi sedang menangis di samping mayat ibunya. Ingin sekali ia menolong bayi itu, tapi entah kenapa Bhakti hanya bisa terpana menyaksikan adegan mengenaskan tersebut.
Bayangan mengenai peristiwa itu sudah tiga tahunan ini selalu menghantuinya,sehingga tangis puterinya sendiri pun selalu diasosiasikannya dengan tangis bayi di medan konflik itu. Dan hal itu sangat menggelisahkannya.
Bisa Tertunda
Gangguan stres pascatrauma merupakan keadaan depresi, cemas, dan 'mati rasa' yang mengikuti berbagai peristiwa traumatis yang terjadi akibat perang, perkosaan, bencana alam, kematian akibat kekerasan yang menimpa orang tercinta,dan sebagainya.
Gangguan pascatrauma itu menurut buku Psychology yang ditulis Wortman, Loftus,dan Weaver bisa dialami segera setelah peristiwa traumatis terjadi, bisa juga dialami secara tertunda sampai beberapa tahun sesudahnya. Korban biasanya mengeluh tegang, insomnia (sulit tidur), sulit berkonsentrasi, dan ia merasa ada yang mengatur hidupnya, bahkan yang bersangkutan kehilangan makna hidup.
Situasi yang memicu bangkitnya trauma tersebut, misalnya mendengar tangis bayi seperti pada kasus Bhakti, dapat meningkatkan gejala yang muncul. Dan stress pascatrauma ini bisa menetap pada korban.
Para wanita yang mengalami perkosaan biasanya juga mengalami berbagai trauma yang berat. Segera setelah perkosaan terjadi, gejala stres pascatrauma seperti kecemasan yang tinggi, sakit perut, sakit kepala, insomnia, gugup, dan berbagai tanda ketegangan yang lain, muncul pada korban.
Gejala seperti itu menurut penelitian Barbara Rothbaum terhadap 100 korban perkosaan, bisa berlangsung lama bisa pula berakhir segera. Sampai sebulan setelah peristiwa traumatis itu, dua pertiga dari korban yang diteliti masih mengalami gangguan stres pascatrauma, dan pada tiga bulan setelah serangan perkosaan, lebih dari separuh korban yang diteliti masih mengalami gejala itu.
Dipengaruhi Karakter
Adakah faktor-faktor yang berhubungan dengan menetapnya gejala gangguan pascatrauma itu pada korban? Tentu, kata Wortman dan kawan-kawan, yaitu beratnya trauma yang menimpa korban. Jika korban merasakan trauma itu tidak terlalu berat baginya, maka ia bias segera menerima keadaan dan gangguan stres pascatrauma segera menyingkir darinya. Tidak demikian jika korban merasakan trauma itu teramat berat baginya,maka gangguan stres pascatrauma akan menetap lama padanya.
Faktor lain yang juga diketahui berperan terhadap menetapnya gangguan stress pascatrauma pada korban, adalah karakteristik orang itu sendiri. Orang yang sebelum mengalami trauma memang tergolong memiliki sifat atau karakter sulit menyesuaikan diri, dapat dipastikan stres pascatrauma akan berkembang subur pada korban jenis ini.
Lain halnya jika korban memiliki karakter mudah menyesuaikan diri dengan keadaan. Menghadapi peristiwa traumatis ini ia akan lebih mudah untuk memahami dan menerima kenyataan buruk itu.
Menurut penelitian Mikulincer & Salomon, orang yang reaksinya emosional,misalnya suka menyangkal, mengkhayal (wishful tinking), atau mengumbar emosi,akan lebih mudah mengalami stres pascatrauma dibanding orang yang reaksinya lebih analitis dan berusaha mengidentifikasi masalah untuk segera mendapat pertolongan.
Pertolongan Ahli
Satu hal yang sangat menonjol pada orang-orang yang mengalami gangguan stress pascatrauma, khususnya dengan gejala kecemasan, adalah memiliki persepsi yang tidak rasional mengenai ancaman.
Wajar jika setiap orang akan bereaksi terhadap ancaman dan bahaya. Yang membedakan dengan orang yang mengalami gangguan kecemasan adalah persepsi tentang ancaman atau bahaya itu. Sesuatu situasi yang biasa-biasa saja bagi orang yang normal, oleh penderita gangguan kecemasan akan dianggap sebagai ancaman atau bahaya yang besar.
Apa tindakan paling tepat jika kita memiliki anggota keluarga yang mengalami stres pascatrauma? Satu-satunya jalan adalah segera mengajaknya untuk mendapatkan pertolongan ahli, psikolog, atau psikiater, seperti yang dilakukan Bhakti. Gejala-gejala fisik seperti sakit kepala, sakit perut, sulit tidur, dan sebagainya itu tidak akan sembuh hanya dengan obat.
Indo community
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback