Pages

Tuesday, March 31, 2009

Hidupnya Sarat Cobaan

true story

Ajeng, Jadi Relawan Meski Usia Divonis Tak Panjang ...
=======================================================================
Sejak kecil, gadis berusia 20 tahun ini mengidap marfan syndrome.

Dokter menyatakan, usianya tak panjang.

Cobaan berikutnya, kakak tertuanya jadi pecandu narkoba hingga meninggal.

Di sisa hidupnya ia jadi relawan antinarkoba.

Demikian ungkapan Wahyu Ajeng Suminar.

Aku adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Saat lahir di Surabaya, aku tumbuh seperti bayi pada umumnya, sehat dan montok. Namun, setelah beberapa tahun, tubuhku tidak seperti bayi pada umumnya, pertumbuhan tulangku begitu cepat bertambah. Keanehan lainnya, aku masih ingat ketika masih berusia 5 tahun, tubuhku begitu lentur seperti gadis plastik yang ada di sirkus.

Bukan itu saja bersamaan dengan itu pandangan mataku juga semakin tidak sempurna. Kalau melihat di alam bebas, maksimal jarak pandangku Cuma sejauh 3 meter. Sebaliknya kalau untuk membaca, aku baru bisa membaca dalam jarak 3 centimeter. Akibatnya, bibirku selalu berwarna hitam. Kenapa?

Saat usia lima tahun itu aku, kan, sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar. Nah, karena membaca terlalu dekat, bibirku sampai nempel ke tinta buku itu.

Sudah begitu, untuk bisa membaca dengan jelas, aku harus rela berpanas-panas di halaman rumah. Sebab, kalau tidak mendapat sinar matahari yang cukup, aku tak mampu melihat huruf-huruf tulisan.

JADI JURU BICARA
Kondisiku yang tidak semestinya tentu saja membuat orang tuaku curiga.
Mereka segera membawaku ke RSUD Dr. Soetomo.
Setelah diperiksa dokter, barulah diketahui, aku mengidap penyakit marfan syndrome.

Penyakit ini sangat langka di dunia dan sampai saat ini belum ada obatnya.

Orang tua begitu cemas saat dokter memprediksi usiaku tak akan panjang.
Sebab, pertumbuhan tulang yang menjulur begitu cepat, secara otomatis akan menarik otot dan saraf organ lain. Di antaranya jantung maupun mata.

Memang umur manusia ditentukan Tuhan, tapi ujaran dokter tak sepenuhnya salah.

Kenyataannya, seiring bertambahnya umur, jantungku sering sakit.
Bahkan, sekarang aku sudah tidak bisa melihat sama sekali.

Semua ini akibat saraf-saraf mata putus karena tertarik bersamaan dengan pertumbuhan tulang yang begitu cepat.

Sekarang dengan tinggi badanku 174 cm, menurut dokter masih akan bertambah.

Apalagi sampai saat ini aku masih belum menstruasi.

Beberapa waktu lalu, seorang dokter yang menanganiku berniat memberi obat agar aku cepat menstruasi. Maksudnya supaya pertumbuhan tulangku agak terhambat.

Rencana itu dibatalkan karena khawatir pemberian obat akan memicu kerusakan pada jantungku.

Akibat pertumbuhanku yang tak sempurna itu, aku tak pernah mengenyam pendidikan formal.

Aku pernah sekolah di Yayasana Pendidikan Anak Buta (YPAB), tapi cuma berlangsung tiga bulan karena aku sakit. Kendati demikian, aku tak patah semangat. Di rumah aku selalu belajar sendiri.
Setiap koran, majalah, atau apa saja, selalu kubaca.

Kendati tak pernah sekolah formal, prestasiku tak kalah dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Bahkan, setiap kali mengikuti cerdas cermat Taman Pendidikan Al Quran (TPA) mulai dari tingkat RT sampai Kodya Surabaya, aku yang ditunjuk sebagai juru bicara. Beberapa kali aku sempat meraih juara.

Ya, aku memang memiliki kelainan bawaan. Namun, semua itu tak mengurangi keceriaanku. Aku melewati masa kanak-kanak dengan ceria bersama teman-teman sebaya.

PECANDU NARKOBA
Keceriaan di waktu kanak-kanak terputus ketika tahun 1993, kakak pertama bernama Surya, terlibat narkoba.
Kala itu, ia tengah kuliah di Bandung. Kecurigaan keluarga bermula ketika ia sering minta Ibu, Wijayaning Wahyuni (49), mengirimi uang.
Agar Ibu mau kirim uang, ia selalu berdalih dengan berbagai macam cara.

Saat pulang ke Surabaya, Mas Surya dicecar Ibu, kenapa ia sering sekali minta uang.

Akhirnya, ia mengaku terus terang sebagai pecandu narkoba jenis putau.

Yang sangat mengejutkan, ia tergolong pecandu berat.
Bayangkan, ia sehari bisa menghabiskan uang Rp 450 ribu untuk membeli barang haram itu.

Sejak itu, kuliahnya di desain dan fotografi berhenti. Kehidupan keluarga kami pun benar-benar suram. Sebab, meski keluarga sudah tahu kelakuannya, Mas Surya tetap tak sembuh.

Bahkan, kalau ia sedang kecanduan, ia memaksa Ibu memberinya uang untuk beli putau.

Bila Ibu tidak memberi, Mas Surya siap dengan sebilah pisau untuk menghabisi Ibu.

Bahkan, Ibu dikejar-kejar di jalanan kampung dengan pisau terhunus, itu sudah pemandangan biasa. Karena pengetahuan kami tentang pecandu narkoba amat terbatas, kami sekeluarga bingung harus bagaimana memperlakukannya.

Yang semakin membuatku terpukul, di saat bersamaan kehidupan rumah tanggaku mengalami keretakan. Akhirnya, ayah dan Ibu memilih cerai.
Namun, retaknya rumah tangga mereka, tak juga menyadarkan Mas Surya.
Tetap saja ia memaksa Ibu memberinya uang.

Ibu yang hanya seorang diri bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan asuransi, tentu dibuat kelabakan. Oleh karena tak punya uang lagi, semua barang yang ada di rumah terpaksa dijual satu per satu.
Bahkan, sampai barang yang tak berharga. Mulai dari kain jarit, remote control, meja kursi, barang pecah belah, sampai pagar rumah dijual kepada tukang loak!

Semua itu, masih juga tak menyadarkan Mas Surya. Dengan sangat terpaksa karena jiwanya diancam Mas Surya, Ibu sampai menjual rumah, satu-satunya barang berharga yang tersisa. Sejak itu pula kehidupan keluarga kami semakin parah. Entah sudah berapa kali pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain.

KAKAK TERCINTA TIADA
Hancurnya kehidupan keluargaku membuat sakitku semakin parah.

Dulu kondisiku sempat membaik bahkan penglihatanku cukup jelas setelah mengonsumsi obat Cina. Namun, setelah melihat ulah Mas Surya,kesehatanku kembali memburuk.

Setelah tak kuat dengan siksaan jiwa dan raga, pada tahun 2001, aku bersama Ibu pindah tempat tinggal tanpa sepengetahuan Mas Surya.

Tapi, entah bagaimana caranya, dia tahu alamat kami.

Aku dan Ibu terus saja berusaha menjauh darinya.

Sampai akhirnya September 2002, kami dapat kabar Mas Surya dirawat di Rumah Sakit Tambak Rejo, Surabaya. Dokter mengatakan, Mas Surya sakit tifus.

Sebagai Ibu, tentu beliau tak tega melihat anaknya terbaring lemas dirumah sakit sendirian.

Namun, di sisi lain, Ibu takut Mas Surya mengancam seperti yang sudah-sudah.

Lalu, atas bantuan ustaz, diaturlah pertemuan itu.

Sungguh mengharukan suasana saat itu.

Mas Surya rupanya sudah bertobat.

Dia bersujud minta maaf kepada Ibu atas perbuatannya.

Ibu jadi terharu. Apalagi melihat kondisi Mas Surya yang sangat memprihatinkan.

Tubuhnya ibarat tinggal tulang. Ibu jadi curiga, benarkah Mas Surya sakit tifus.

Selanjutnya, Ibu membawanya ke RSUD Dr.Soetomo.

Sungguh mengejutkan, hasil laboratorium menunjukkan Mas Surya mengidap HIV AIDS.

Tentu saja itu merupakan pukulan hebat bagi kami.
Seluruh keluarga kami menangis bersama.

Ketiadaan biaya membuat kami membawa Mas Surya pulang ke tempat dia kos.
Kondisinya pun semakin memburuk. Mau tak mau, kami kembali membawanya ke RS.

Akhirnya, pada bulan November 2002, Mas Surya meninggal dunia di RSUD Dr. Soetomo, setelah dirawat beberapa hari. Ibu ikhlas menerima kenyataan itu.

Apalagi, menurut Ibu, saat meninggal wajah Mas Surya terlihat bersih dan ganteng.

Kepergian Mas Surya merupakan pukulan berat bagiku.

Aku merasakan betapa kejamnya narkoba.

Yang dirusak bukan hanya pemakai, tapi seluruh keluarga juga ikut terkena imbasnya.

Di tengah kepedihan, aku berpikir keras untuk mencari cara yang bisa kulakukan untuk memerangi narkoba ini. Apa?

SELALU GUYON TERUS
Pada tanggal 17 Maret 2003, tepat di hari ulang tahunku yang ke-18, aku punya ide untuk membuat kelompok Drug Free Family (DFF) yakni suatu kelompok keluarga bebas narkoba.
Kelompok itu kuluncurkan tepat 17 Maret 2003, Aku membentuk komunitas yang tak lain adalah teman-temanku sendiri. Tahap awal, aku membuat pamflet tentang narkoba kusebar di Univeritas Airlangga. Kemudian aku mendatangi Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Kepolisian,Sekolah-Sekolah, talk show di radio juga dengar pendapat dengan komisi E DPRD Surabaya tentang narkoba.

Soal dana untuk membuat kegiatan, selain dari donatur aku harus mengeluarkan dari kantong pribadi. Selama ini aku juga bekerja di Multi Level Marketing (MLM ) yang memasarkan produk obat-obatan dan makanan tambahan. Beberapa waktu yang lalu aku juga sempat menjadi juara karya tulis yang diselenggarakan oleh sebuah produk kosmetik. Hadiah berupa handphone yang cukup mewah itu kujual. Kemudian uangnya kugunakan untuk membiayai kegiatanku.

Terus terang saja, tak masalah bagiku harus mengeluarkan materi. Aku ingin sisa hidupku ini bisa kusumbang kan kepada masyarakat agar terbebas dari narkoba. Sudah cukup aku dan keluargaku saja yang menjadi korban keganasan narkoba, yang lain jangan sampai.

Kembali ke soal penyakitku, dokter yang merawatku sampai heran melihatku bisa bertahan hingga sekarang. Sebab, secara medis hampir tidak mungkin.
Aku pun tidak kecil hati meski divonis umurku tidak panjang.

Aku terima dengan tabah dan rasa optimis yang tinggi.

Aku yakin, Tuhan menakdirkan sesuatu pada umatnya pasti punya maksud dan tujuan.

Termasuk ketika Tuhan menggariskan aku menjadi seperti ini, atau menggariskan hidup Mas Surya meninggal karena narkoba.

Karena aku sudah tak mampu melihat dengan baik, sehari-hari aku tak bisa lepas dari peran ibu.

Ibu ibarat menjadi sekretaris pribadiku. Ia menjadi juru tulis dari setiap ide-ideku.

Beliau juga membalas SMS soal urusan kerja atau yang berkaitan dengan DFF.

Bahkan, hubunganku dengan Ibu ibarat seperti sahabat saja. Setiap hari,kami selalu curhat dan saling menguatkan mental masing-masing. Maklumlah untuk saat ini kondisi ekonomi juga kurang bagus. Maklum, Ibu sebagai seorang single parent harus banting tulang bekerja menghidupi keluarga.

Dalam keadaan kesulitan, aku bersama Ibu nyaris tak pernah murung.

Setiap hari kami selalu guyon terus. Bahkan, para tetangga di tempat kami tinggal di kawasan Jalan Karangmenjangan, heran melihatnya. Ya,dalam kondisi sesulit apa pun aku masih ingin melakukan sesuatu yang berguna. (Tabloid Nova)

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback