Pages

Friday, November 4, 2011

Karen Corkern Babb - Chicken Soup for the Couple's Soul


Kamar rumah sakit, tenang dan remang-remang, bagiku terlihat  tidak nyata. Waktu berlalu lamban, sepertinya aku sedang menonton  tablo yang dimainkan di dalam gedung teater yang gelap.  Sayangnya, yang kulihat itu nyata - saudara-saudaraku dan aku sendiri, tenggelam dalam pikiran masing-masing, duduk membisu memandang ibu kami yang  duduk di samping tempat tidur Ayah, menggenggam tangannya, dan berbisik  lembut kepadanya meskipun Ayah tidak sadar. 
Ayah kami, setelah  bertahun-tahun dengan sabar menahan penderitaan karena penyakit yang tak  bisa disembuhkan,sekarang sampai di akhir perjuangannya. Pagi-pagi  tadi, Ayah kehilangan kesadaran. Koma. Kami tahu, saat ajalnya sudah dekat.
Ibu berhenti bicara kepada Ayah, kulihat dia memandangi  cincin-cincin dijarinya sambil tersenyum lembut. Aku juga tersenyum, karena tahu Ibu pasti membayangkan ritual yang mereka mainkan selama empat puluh tahun menikah dengan Ayah. Ibu, yang enerjik dan tak bisa  diam, selalu keliru memasang cincin pertunangan dan cincin kawinnya.  Ayah,yang tenang dan sabar, selalu meraih tangan Ibu dan dengan lembut  serta hati-hati membetulkan letak kedua cincin itu. Meskipun sangat  perasa dan penuh cinta, sulit bagi Ayah untuk mengucapkan kata-kata  "aku cinta padamu",karenanya dia mengungkapkan cintanya  lewat hal-hal kecil,seperti itu, selama bertahun-tahun.
Setelah diam beberapa lama,Ibu berpaling kepada kami dan berkata lirih dengan  suara sedih, "Aku tahu ayah kalian akan segera meninggalkan kita, tetapi  tiba-tiba dia tidak sadar hingga aku tak sempat mengucapkan pesan  terakhir,bahwa aku mencintainya sampai kapan pun."
Aku menunduk. Aku ingin berdoa,memohon mujizat agar kedua orangtuaku bisa  mengungkapkan cinta mereka untuk terakhir kalinya, tetapi hatiku sesak dan  kata-kata tak mau terucap. Sekarang kami hanya bisa menunggu. Malam semakin  larut,satu per satu kami terlena, kamar semakin sunyi.
 Tiba-tiba, kami tersentak bangun. Ibu menangis. Takut bahwa yang terburuk telah terjadi, kami bangkit berdiri untuk menghiburnya.  Tapi, alangkah kagetnya kami melihat Ibu ternyata menangis bahagia. Kami ikuti arah pandangannya, dia masih menggenggam tangan Ayah, dan  entah bagaimana tadi, tangan Ayah yang satunya telah bergeser sedikit  dan kini tertumpang di tangan Ibu.
Ibu tersenyum sambil menangis dan berkata, "Sesaat tadi dia memandangku. " Ibu  berhenti bicara, memandang tangannya lagi. "Lalu," bisiknya dengan  suara parau penuh perasaan, "dia membetulkan letak kedua cincinku."
Ayah meninggal satu jam kemudian. Tetapi Tuhan dalam kebijaksanaanNya yang  abadi, maha mengetahui apa keinginan kita sebelum kita sempat  berdoa memohon kepadaNya. Doa kami dikabulkan dengan cara yang akan selalu kami syukuri dan kami kenang sepanjang hidup kami. Ibu  sudah menerima pesan terakhir dari Ayah.
Peace & Love
Rachel

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback