(thoughtful)
Sekali waktu saya berdua dengan seorang teman makan bakmi di suatu warteg di Gotanda, suatu kawasan di pinggiran kota Megapolitan Tokyo. Karena tidak bisa berbahasa Jepang kami pesan mie pakai bahasa Tarzan saja. Ketika bakmie disajikan, maka ngajubilah besar mangkuknya; seperti wajan.
Aku berkata kepada temanku: "Waduh, mangkuknya besar sekali!" Temanku menyikut aku dan berbisik: "Jangan keras-keras ngomongnya, soalnya kata "mangkuk" itu mirip kata yang konotasinya porno (nama onderdil) dalam bahasa Jepang."
Aku terdiam dan tidak bertanya-tanya lebih jauh. Minta ampun besarnya, bagaimana menghabisinya? Kulirik kiri kanan dan kulihat ibu-ibu pada menyeruput bakmie masing-masing dengan lahapnya dan dengan suara seruput yang keras. Konon, hal itu bukanlah tabu malahan sebaliknya "suara terindah" sebagai semacam ungkapan pujian atas kelezatan masakan bagi si pemilik warung.
Kupikir, ya ampun!
Bagaimana mungkin mereka mampu makan sebanyak itu, ke mana mereka mengisinya? Lalu kupikir juga, ah bayi sebesar 3.000 gram saja muat, masakan bakmie 300 gram tidak muat? Kembali aku memaksakan diri untuk makan sebanyak mungkin dari porsiku sendiri.
Tetapi akhirnya aku terpaksa angkat tangan dan tampaknya isi mangkuk aku tak banyak berbeda dengan saat pertama mangkuk itu disodorkan ke depan saja. Setelah selesai si pemilik warung agaknya "sedikit terbengong" melihat mangkukku yang isinya masih utuh.
Dan temanku itu terpaksa sedikit ber basa-basi dan ber-"gomen nasai" menjelaskan barangkali aku "lagi sakit perut atau bagaimana", supaya dianya tidak tersinggung karena bakminya dianggap tidak enak.
Kali yang lain saya dengan teman lain makan bakmie di daerah Sayangan di Palembang. Mangkuknya juga sangat besar dan kira-kira 2 kali lebih besar dari porsi normal di Jakarta. Setengah mati juga menghabisinya dan akhirnya juga ternyata tidak berhasil aku menghabiskannya.
Kali lain lagi sebagai anggota bakmi-filia saya makan Mie Ahok di Jakarta dan ternyata porsinya pas tetapi bakminya agak keras dan kaku. Aku kurang menyukainya tetapi teman-teman pada suka karena katanya irit, karena "kenyangnya lama."
Lalu apa hubungannya antara semangkuk bakmi dengan soal jodoh dan cinta???
Ada ada saja!
Logikanya begini. Kalau kita Cinta belum tentu kita Cocok. Kalau kita Cocok belum tentu ada rasa Cinta. Begitulah! Kalau belum Jodoh mungkin karena belum ada yang Cocok + Cinta saja. Jadi idealnya: J = (C + C). Jodoh itu: kalau ada Cinta sekaligus Cocok.
Kita membutuhkan jodoh yang cocok. Mungkin kita sudah cinta setengah mati,tetapi si doi ibarat porsi bakmi Gotanda yang jumbo, yang kalau dipaksakan nanti jadinya kedodoran. Kita terlalu mini untuk menampung porsinya yang maksi dan jumbo. Nantinya ada yang "tidak tersalurkan" atau ada yang luber lalu disalurkan ke "tempat lain", termasuk ke "bak sampah" sisa makanan.
Mungkin kali lain kita jatuh cinta lagi kepada yang lain dan porsinya masih sebesar porsi Bakmi Sayangan yang makro dan kita juga masih akan tetap kedodoran. Lain kali ketemu lagi yang rasanya porsinya sudah pas tetapi kualitasnya tidak sesuai dengan selera kita, lama-lama akan tidak cocok juga. Jadi ... begitulah! Sabar saja dan tawakkal!
Nah, Tuhan-lah yang paling tahu SIAPA yang porsinya paling COCOK untuk kita. Jatuh cinta bisa saja terjadi berkali-kali dan tidak sampai jadian atau jadian tetapi tidak langgeng.
Maka Tuhan mungkin belum ngasih jodoh karena DIA yang paling tahu KAPAN waktu yang paling tepat untuk datangnya sang pujaan hati yang PAS dan juga ada SIRRR-nya untuk seseorang. Masakan sangsi kepada Tuhan sih? Kok bisa-bisanya sangsi kepada-Nya?
Indo community
0 comments:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback