Pages

Monday, April 13, 2009

Biarkan Murid Terbiasa Melihat Perbedaan

Pohon ini tidak membedakan

siapa yang boleh menghirup oksigen, menikmati teduh dan buahnya
hidup atau mati inspirasi dunia

Sepenggal sajak penyair Eka Budianta menghiasi prasasti batu di areal belakang sekolah Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda dikawasan Sunggal, delapan kilometer dari pusat Kota Medan, Sumatera Utara. Prasasti itu ditandatangani cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid bersama pemimpin agama Islam, Katolik, Kristen, Buddha, dan Hindu di Sumatera Utara.

Di sampingnya tumbuh sepasang pohon bisbul, satu jenis tanaman yang hanya bisa tumbuh bersama pasangannya. Prasasti itu terletak ditengah bangunan masjid, gereja, klenteng, dan aula yang dipergunakan sebagai tempat ibadah dan aktivitas bersama para siswa.

Halaman belakang kompleks sekolah Sultan Iskandar Muda yang didirikan oleh Sofyan Tan (45), seorang warga keturunan Tionghoa di Medan, merupakan monumen hidup gerakan pembauran yang dilakukan disekolah itu.

Sofyan Tan mengawali proyek pembauran melalui dunia pendidikan 25 tahun lalu; jauh sebelum orang ramai membicarakan gagasan pendidikan multikultural. Tidak heran bila proyek pembauran itu pada awalnya mengundang pertanyaan, kontroversi, yang membuat Sofyan sempat terkucil, bahkan di kalangan komunitas etnisnya sendiri. Ketika ia membangun masjid di kompleks sekolah, Sofyan yang beragama Buddha diisukan berpindah agama menjadi Islam. Ketika ia membangun gereja,ia digunjingkan berpindah ke agama Kristen. Dan ketika ia akhirnya membangun tempat ibadah agama Buddha, Sofyan disebut-sebut "telah bertobat".

Dua puluh lima tahun bukan waktu yang pendek untuk sebuah kerja sosial. Dengan bersusah payah, sepeninggal ayahnya, Sofyan berusaha menyelesaikan pendidikan dokternya di Universitas Methodist Medan. Namun, kesempatan emasnya untuk hidup sejahtera sebagai seorang dokter dilewatkannya. Ia memilih mengabdikan hidupnya untuk pendidikan.

Dengan modal dengkul, ia berutang pada kawan-kawannya—pemasok bahan bangunan—dan bank untuk mendirikan sekolah. Akan tetapi, kebanyakan murid yang masuk sekolah itu berasal dari keluarga yang hidup pas-pasan sehingga sekolah selalu defisit. Ia harus menggali lubang tutup lubang agar sekolah tetap bisa hidup. Selama 25 tahun ia tak bisa hidup tenang karena dibayangi pailit dan tidak bisa membayar utang. Ketika bank pemberi kredit masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), utang sekolah mencapai sekitar Rp 1 miliar. "Mana mungkin saya bisa bayar," kata Sofyan.

Di tengah kecemasan itu, mukjizat pun datang. Sebuah lembaga di Swiss mengulurkan tangan membantu Sofyan, memberikan hibah untuk melunasi seluruh utang sekolah. Tanpa beban utang, sekolah yang kini memiliki lebih dari 1.500 murid—dari TK, SD, SMP, SMA, dan SMK—itu akan mampu bertahan hidup secara ekonomi. Lebih dari itu, gerakan pembauran yang dilakukan Sofyan Tan melalui sekolah makin melembaga.
Tidak hanya dalam interaksi guru, murid, dan pengelola pendidikannya, tetapi melalui materi pendidikan dan sistem yang dibangun sekolah.

Toleransi atas perbedaan
Pendirian tempat ibadah untuk lima agama di pelataran belakang sekolah bukan tanpa tujuan. Toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan merupakan nilai yang dirayakan di sekolah itu. Ketika perdebatan tentang pelajaran agama sesuai keyakinan anak didik memanas, masalah itu tak berimbas ke sekolah-sekolah di lingkungan Yayasan Sultan Iskandar Muda. Sejak sekolah itu berdiri, pelajaran agama sejauh mungkin diberikan sesuai dengan agama yang dianut anak didik.

Setelah tiga tempat ibadah dibangun, pelajaran agama diberikan di dalam tempat ibadah. Bangunan ibadah yang saling berdekatan secara tidak langsung memperkenalkan kepada murid bagaimana pemeluk agama lain beribadah. Tidak seperti di Perancis yang melarang atribut keagamaan dipakai saat anak bersekolah, murid-murid di sekolah-sekolah yang ada di lingkungan Yayasan Sultan Iskandar Muda bebas memakai aksesori simbol keagamaan bila memang itu keyakinannya.

"Biarkan semua murid terbiasa melihat perbedaan. Tuhan pun menciptakan pohon berwarna-warni, dengan rasa buahnya berbeda-beda,masa kita mengharuskan murid berseragam dan menyembunyikan perbedaannya," kata Sofyan.

Elly Yana, guru Matematika SD dan SMP Sultan Iskandar Muda,mengemukakan bahwa siswa selalu dibaurkan dalam aktivitas sekolah,terutama di tingkat SD. Selalu dihindarkan pengelompokan siswa dari etnis yang sama. Tempat duduk selalu diubah supaya murid yang berbeda suku dan agama bisa duduk di bangku yang sama. Selalu ditanamkan untuk tidak menyebut atribut yang merendahkan suku atau agama lain.

Saat perayaan hari-hari besar keagamaan, guru dan siswa yang berbeda keyakinan saling mengucapkan selamat. Untuk murid-murid kelas awal,mereka diberi tugas membuat kartu ucapan hari raya. Sementara untuk siswa kelas VI SD diminta berpidato di depan kelas. Bila menolak akan ditegur. Perilaku yang tidak menghargai perbedaan etnis, agama,atau ras dilarang. Bila aturan itu dilanggar dan anak tidak mau lagi dibimbing, mereka bisa dikeluarkan dari sekolah.

"Kami tidak membeda-bedakan siswa, termasuk status dan anak siapa.
Di sini mereka memiliki derajat yang sama, harus mengikuti peraturan, dan memperoleh pelayanan yang sama. Orang yang tidak mampu membayar pun diterima di sekolah ini, baru kemudian dicarikan beasiswa dari orangtua asuh," kata Mulyono (46), Kepala SMP Sultan Iskandar Muda.

Beasiswa lintas etnis
Sistem pemberian beasiswa juga diarahkan untuk mendorong pembauran.
Siswa keturunan Tionghoa yang tidak mampu dicarikan orangtua asuh pribumi. Siswa dari etnis Jawa dicarikan orangtua asuh keturunan Tionghoa. Siswa dari etnis satu dicarikan orangtua asuh dari etnis yang lain.

Saat ini lebih dari 100 siswa memperoleh beasiswa dengan model ini. Sejak program orangtua asuh dicanangkan di sekolah ini, tercatat 1.247 anak yang terancam putus sekolah telah berhasil diselamatkan.

Program beasiswa ini sekaligus menghilangkan prasangka etnis tertanam puluhan tahun di masyarakat, setidaknya bagi anak dan keluarga anak yang memperoleh beasiswa. Bagi orangtua asuh, mereka berkesempatan mengenal etnis lain lebih dekat dan memberikan kebanggaan dapat membantu orang lain. Sejumlah tokoh nasional,seperti mantan Presiden BJ Habibie, Sarwono Kusumaatmadja, dan seniman Guruh Soekarnoputra ikut terdaftar sebagai orangtua asuh.

Sekolah-sekolah di lingkungan Yayasan Iskandar Muda juga telah mengembangkan materi pembauran dalam kurikulum sekolah. Setiap guru diminta mencoba memasukkan nilai-nilai pembauran dalam mata pelajaran yang diajarkannya. Tidak hanya untuk mata pelajaran bahasa dan ilmu-ilmu sosial, tetapi juga mata pelajaran eksak, seperti Matematika, Kimia, dan Biologi.

Sofyan Tan juga mempunyai strategi agar sekolah pembauran yang dirintisnya terus eksis di masa-masa mendatang. Melalui program orangtua asuh, ia menyekolahkan anak-anak yang pintar dari keluarga tak mampu sampai tingkat perguruan tinggi dan direkrut untuk bekerja di sekolah.

"Umur saya terbatas, tetapi sekolah ini kelak akan dipimpin oleh anak-anak yang pernah memperoleh bantuan dari sekolah dan orangtua asuh. Mereka adalah roh sekolah ini di masa depan. Mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai komitmen pembauran dan peduli terhadap orang-orang miskin," kata Sofyan Tan.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/05/humaniora/1866363.htm

-------------
Salam & Tetap Semangat!

~ Yogha

1 comments:

Sarwa Gunawan said...

Pembauran memang harus dicanangkan sejak belia.
Sekarang ini jamannya Globalisasi bukannya era Primordialisme.
Blog saya:
http://pembauran-sejati.blogspot.com
semoga juga dapat memperkaya wawasan mengenai Pembauran Sejati.

Post a Comment

Terima Kasih Telah Memberikan Waktu dan Komentarnya
Thanks for your feedback